Ulama atau Umala’
*Hermanto Harun, Lc, MHI., Ph.D
Bincang tentang Nahdlatul Ulama agaknya selalu menarik. Bagaimana tidak, organisasi keagamaan yang sering disingkat NU ini, konon, merupakan organisasi keagamaan yang sangat kultural dan memiliki anggota terbanyak disbanding ormas serupa di dunia ini. Walaupun mungkin data riil keanggotaannya masih sangat layak untuk dihitung’ lagi. Tapi, bagaimana-pun NU merupakan suatu fakta sosial dalam realitas keragamannya mengambil warna keberagamaan di tengah masyarakat Indonesia yang memang heterogen.
Secara sederhana, dan filosofi namanya, organisasi NU melambang kanadanya sebuah kebangkitan (nahdhah) kaum ulama, sekaligus juga mengindikasikanadanyasebuahharakah, perjuangan dan militansi para ahli agama dalam memformat masyarakat sesuai aturan-aturan idealitas agama. Sehingga, dipandang perlu menyusun barisan yang `serentak bak galah, serengkuh bakdayung’ dalam desain organisasi yang lebih modern yang bernama NU. Tidak ada yang salah dalam nama NU itu, bahkan cukup bergengsi pada zamannya, mengingat NU lahir disaat umat Islam di seluruh dunia, khususnya di Indonesia, sedang berada dalam cengkraman kolonialisme Barat.
NU terlahir dari rahim nusantara yang sedang terjajah, sehingga logis kalau nama nahdhah mengandung aroma perjuangan. Akan tetapi, sesuai dinami kasejarah yang tidak statis, NU pun berkolaborasi dengan waktu, sehingga ada hal-hal yang harus di cek-up sesuai dengan nafas zaman, agar NU tetap selalu menjadi `rumah’ para ulama yang kemudian selalu mencerahkan stagnasi pengetahuan agama umat dan tetap menjadi perisai yang selalu melindungi umatnya dari segala ancaman bencana moral.
Dalam konteks kekinian, membincang NU menjadi momentum yang tepat (furshah syanihah) untuk mendiagnosa penyakit umat, khususnya masyarakat ‘awam’. NU memiliki kesempatan. dan upaya Strategi untuk mengevaluasi kinerja ulama dalam mengimami umatnya. Sejauh manakah peran ulama,-khususnya ulama NU-dalam membentengi umat dari segala pengaruh keberagamaan? Adakah capaian-capaian yang telah diraih sehingga perlu dioptimalkan, atau terlalu banyak `raport merahnya’ sehingga perlu segera diremedialkan?. Hal ini menjadi sangat urgen, mengingat status ulama merupakan maha guru untuk umatnya. Jika ulamanya kencing berdiri maka umatnya akan kencing berlari.
Dari urgensitas evaluasi kinerja ulama tadi, maka menurut penulis, akan dapat mendeteksi beberapa penyakit umat Jambi yang layak di “UGD” kan, karena terlanjur menjadi penyakit kronis, diantaranya adalah: Pertama. Sangat rendahnya pengetahuan umat tentang agamanya. Minimnya pengetahuan agama ummat khususnya umat Islam Jambi terlihat dan masih banyaknya praktek-praktek kesyirikan, tahayul dan perdukunan yang semuanya itu tak jarang dianggap sebagai ajaran agama. Juga, di pelbagai pelosok desa masih adanya praktik ubudiyah yang berpegang pada tradisi warisan ‘guru dulu’ yang berpatok pada kitab “Perukunan”, sehingga, jika ada pendapat lain dipandang sebagai suatu yang “sesat” seakan menjadi momok yang menakutkan. Asumsi semacam ini terjadi, karena di kalangan NU tradisional, khususnya yang ada di pedesaan, masih sangat alergi dengan pembaharuan.
Hal ini disebabkan oleh sikap mereka yang dinilai pada satu sisi menolak ijtihad dan sisi lain menerima taqlid. Sikap semacam inilah yang oleh Karel A Steenbrink dipandang sebagai penyebab utama mengapa orang beranggapan bahwa NU adalah anti pembaharuan. Menurut Toha Hamim dalam bukunya “Islam dan NU. Di Bawah Tekanan Problematika Kontemporer” bahwa kenyataannya kalangan NU memfungsikan fiqh sebagai referensi ‘primer’ bukan sekunder. Perlu dicatat, bahwa fiqh bukanlah sebuah produk hukum yang monolitik. Fiqh tidak hanya mencerminkan keragaman aliran pemikiran dalam yurisprudensi Islam (mazhab). Tetapi fiqh juga menawarkan varian metode dalam menyajikan pembahasannya. Dengan demikian fiqh hanya sebatas hasil `kreasi’ ijtihad ulama yang sangat mungkin terbatas cakupan dan relevansinya.
Kedua. Adanya akuisisi sebagai kelompok ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah yang seakan memiliki otoritas kebenaran Islam. Sedangkan kelompok atau ormas Islam lain seperti Muhammadiyah, Persis, al-Irsyad dan Ikadi sebagai kelompok “luar” yang bukan ahl sunnah dan masih disangsikan keislamannya. Kekeliruan pemahaman seperti ini harus segera di luruskan, karena akan sangat berbahaya bagi keragaman paham keberagamaan. Pemahaman yang keliru tentang keberagamaan seperti itu akan menggerogoti kemajuan Islam itu sendiri. Hal yang harus ditanamkan dalam masyarakat Islam dalam menghadapi keragaman ini adalah nata ‘awan fi ma ittafaqna wanatasamah fi ikhtalafna (bersinergi terhadap hal yang disepakati dan berlapang dada terhadap perbedaan).
Ketiga. Paradigma dikotomi antara Islam dan politik, ekonomi, sosial dan budaya. Adanya anggapan bahwa Islam hanya berada pada pusaran Masjid, Mushalla, majelis ta’lim dan madrasah merupakan indikasi kuat tentang masih `bercokolnya’ paradigm dikotomik faham keagamaan. Faham ini, telah menggurita di dalam tatanan masyarakat. Sebagai contoh, ketika berpolitik maka jangan sekali membawa-bawa agama. Biasnya, maka produk dan moral politisi dan pemegang kekuasaan sangat jauh dan sentimen agama.
Setidaknya tiga poin penyakit tadi yang tengah menjalar di masyarakat seharusnya menjadi isu penting dan dapat dibahas dan dikaji oleh ulama saat ini. Penyakit di atas, hemat penulis, sangat pantas dan layak untuk diperbincangkan di tengah kerumunan para ulama, selanjutnya dapat diformulasikan dalam beberapa klausul rekomendasi yang kemudian dijabarkan dalam beberapa aturan dalam bernegara. Pekerjaan ini merupakan tugas ulama sebagai manifestasi amar ma ‘ruf nahi mungkar yang telah diintruksikan Allah melalui nabi-Nya. Karena ulama secara etimologi adalah bentuk plural dan kata alim yang juga disebut dengan allamah atau allam yang bermakna orang yang mengamalkan apa yang diketahui.
Dalam Ensiklopedi Islam, depenisi ulama menjadi orang yang tahu atau yang memiliki pengetahuan ilmu agama dan ilmu pengetahuan kealaman yang dengan pengetahuannya tersebut memiliki rasa takut dan tunduk kepada Allah (khasyiatullah). Juga, ulama merupakan pewaris para nabi (QS.alFathir:28) yang harus menabur nilai-nilai kerahmatan dan kebaikan kepada umatnya. Ulama seperti inilah yang disebut dengan kategori ulama al-khair.Yakni ulama kebajikan yang sangat hati-hati di dalam menerapkan ijtihad dan tidak pernah gegabah untuk mengeksploitasi atau menyalahgunakan agama dengan cara mensubordinasikan di bawah kepentingan praktis politik keduniaan. Jika tidak, maka akan menjadi ulama yang pernah diungkapkan oleh Imam al-Ghazali dalam bukunya Ihya ulum al-din sebagai ulama al-Su’ yaitu ulama jahat yang telah mensubordinasikan kepentingan agama di bawah kepentingan keduniaan. Manifestasi pekerjaan ulama al-su’ adalah selalu menjual ayat dengan murah, dan mencarikan justifikasi, rasionalisasi atau pembenaran murahan dengan mengambil dalil-dalil agama maupun logika tertentu agar tujuan politik penguasa dapat dicapai walaupun dengan resiko pembodohan masyarakat, Penulis selalu husnul-zan dengan musyawarah “para ulama”, Penulis meyakini bahwa di dalam musyawarah itu selalu berporos pada kepentingan umat, bukan sekedar sebagai ajang `kumpul makan’ yang pada akhirnya terkontaminasi oleh warna politik penguasa atau calon perenggut kekuasaan. Jika kumpul ulama hanya menjadi alat legitimasi kekuasaan atau sebagai “ayam kampung” yang hanya dimanfaatkan telurnya oleh penguasa, maka yang seperti itu bukan musyawarah ulama, tapi lebih tepatnya disebut kesepakatan umala (kacung-kacung). Semoga agenda `pemulihan’ penyakit ummat dapat diterjemahkan dalam kerja riil para ulama, agar penyakit kronis umat saat ini tidak membawa pada kehancuran moral. Wallahu a’lam
Salam Kalam Literasi
tulisan ini diambil dari buku “Pemangsa Nurani Politik”. karya; H. Hermanto Harun, Lc, MHI., Ph.D
yang berminat disilahkan order. karena stok hampir habis. silahkan hubungi kontak admin kalamliterasi.