Pancasila dan Minangkabau : UAS Berbicara

Berbicara tentang Pancasila, maka otomatis juga akan membahas tentang Tuhan. Sila pertama sangat lantang terdengar bahwa Tuhan itu Maha Esa. Siapa saja yang mencoba untuk menawar konsep ini, maka akan berhadapan dengan umat, khususnya umat beragama di Indonesia.
Jika ada yang mengatakan bahwa umat beragama di Indonesia tidak pancasilais, artinya ia juga mengatakan bahwa mereka tidak ber-Tuhan. Ungkapan seperti itu sungguh telah menyinggung perasaan umat beragama.

Minangkabau

Beberapa waktu yang lalu, mba Puan mengatakan “semoga Sumatra Barat menjadi Provinsi yang mendukung Pancasila”. Pernyataan ini menimbulkan respon yang beragam. Saya pun juga tertarik untuk berkomentar, tidak banyak. Kata ‘semoga’ yang dikeluarkan oleh mba Puan menjadi poin yang menyakitkan, terutama bagi orang-orang Sumbar.

Biasanya, kata ‘semoga’ merupakan ungkapan yang bermuatan positif. Penuh pengharapan. Ketika kita menjenguk orang sakit, akan keluar kalimat-kalimat do’a dan pengharapan. Misalnya, “semoga bapak cepat sembuh”. Maka dapat dipastikan orang yang sedang diberi ucapan itu dalam keadaan sakit.

“semoga orang Minang mendukung Pancasila”. Artinya, orang Minang tidak mendukung Pancasila.

Mendengar itu, Ustadz Abdul Somad (UAS) pun ikut berkomentar. Dulu, tidak dulu-dulu amat, UAS sering berbicara tentang Pancasila. Sekarang, beliau berbicara lagi. Dalam acara ILC yang dipandu oleh bang Karni, UAS memberikan komentar agak panjang.

Sila Pertama “Ketuhanan yang Maha Esa”

Berbicara tentang Ketuhanan yang Maha Esa, UAS pernah mendatangi 6 suku terasing di Riau. Yaitu suku Bonai, Sakai, Akit, Talang Mamak, Hutan dan Suku Laut. Tidak hanya itu, UAS juga pernah sampai ke suku Kubu di jambi. Suku-suku ini bisa dikatakan sebagai suku yang tidak bertuhan. Meski Tuhan dalam versi mereka tetaplah ada. Hanya saja, Tuhan menurut mereka tidak sesuai tuntunan Al-Quran.

Tapi ketika UAS datang ke suku Minangkabau, disana mereka tidak hanya bertuhan, namun juga berdakwah dan merubah orang-orang yang tidak bertuhan menjadi kenal dengan Tuhan. Bahkan sebaran dakwah orang Minangkabau sampai ke pelosok-pelosok di Aceh. Misalnya, di Pulau Simuelue. UAS menziarahi salahsatu makam tua disana. Orang yang dimakamkan itu semasa hidupnya dihibahkan untuk mensyiarkan Islam, dan ia berasal dari Minangkabau.

UAS terus melanjutkan safarinya ke Sulawesi Tengah, Palu. Disana beliau juga menemukan makam tua yang dulunya semasa hidup sebagai penyebar agama Islam yang juga berasal dari Minangkabau. Dan banyak lagi contoh-contoh lainnya. Untuk itu, berbicara soal sila pertama tentang Ketuhanan yang Maha Esa, Orang Minang telah lebih dulu menjadi “Suluh di tengah gelap” menyebarkan dakwah tentang Tuhan.

Sila kedua “tentang menusiaan”

Di depan rumah orang Minangkabau terdapat ‘rantiang’, tempat menyimpan beras. Beras-beras yang disimpan ini akan dibagi-bagikan. Bagian pertama adalah untuk makan keluarga, dan bagian lainnya diperuntukkan fakir-fakir miskin. Ini bentuk bahwa orang Minang sangat Pancasilais.

Analogi lainnya bahwa orang Minang menjunjung tinggi rasa kemanusiaan adalah, orang Minang banyak mendirikan rumah makan. Tapi rumah makan yang dibuka itu memiliki sistem unik. Pemilik rumah makan membuka peluang kepada karyawannya untuk berkembang. Pada mulanya, karyawan mengangkat piring sebagai pelayan, tapi ada masanya mereka akan membuka rumah makan sendiri. Pemilik rumah makan tidak menganggap para pelayan sebagai kuli yang digaji, tapi mereka menawarkan kesempatan untuk dapat mandiri. Ini artinya, orang Minang telah lama menerapkan rasa kemanusiaan itu.

Sila ketiga tentang “Persatuan Indonesia”.

UAS berkisah tentang seorang diplomat ulung, H. Agus Salim. Ia dengan gagah berhadapan dengan orang-orang Belanda dan Eropa. Karena H. Agus Salim menguasai banyak Bahasa dunia. Kemudian soal ekonomi. Kita tahu siapa bapak koperasi Indonesia, beliau adalah Bung Hatta. Apalagi soal agama, “jangan ditanya”. Kata UAS. Karena sepak terjang dakwah orang Minang tidak hanya berskala nasional, tapi juga internasional. Sebut saja, Syaikh Ahmad Khatib Alminangkabawi, pernah menjadi imam di Masjidil Haram, Mekah.

UAS melanjutkan, bagaimana pula kiprah orang Minang dalam dunia militer untuk mempertahankan Indonesia? Tentara-tentara dari Minangkabau tidak hanya dididik di Indonesia. Siapa mereka? H. Miskin, H. Piobang, Tuanku Nan Renceh, H. Sumanik dan lainnya. Mereka semua merupakan para pejuang yang berkorban untuk negeri ini. mereka hebat, mereka kuat, tapi tidak pernah terlintas untuk mendirikan negara baru. Karena mereka taat mengamalkan sila “Persatuan Indonesia”.

Sila keempat tentang “musyawarah”.

Kata UAS, orang Minangkabau memiliki filosofi sendiri dalam mendukung demokrasi negeri ini. “Bulek Aia Dek Pambuluah, Bulek Kato Dek Mupakaik. Nan Bulek Samo Kito Golongkan, Nan Picak Samo Kito Layangkan”.

“Air itu akan menjadi bulat kalau dia lewat dalam buluh (bambu), dan kata itu akan menjadi bulat jika ada mufakat atau musyawarah”. Artinya, orang Minangkabau tidak mengambil keputusan sendiri.

Tidak hanya itu, orang Minangkabau juga memiliki filosofi, “tigo tungku sajarangan”. Hal ini merupakan model kepemimpinan yang diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat di Minangkabau. Tiga tungku ini berarti tiga pilar yang berkolaborasi dalam mengambil sebuah keputusan. Pertama: ninik mamak, kedua: alim ulama, dan ketiga: cadiak pandai. Sekali lagi, ini contoh bahwa orang Minangkabau mengamalkan sila keempat.

Terakhir, sila kelima tentang keadilan sosial

UAS menyebut lagi filosofi orang Minang. “Anak didukung, kemenakan dipangku”. Ini berarti bahwa orang Minang sangat berlaku adil. Ditambah lagi dengan “dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung”. Artinya, orang Minangkabau akan sangat menghormati serta mengamalkan sistem yang ada. dan Pancalisa sudah tertanam dalam sanubarinya.

Salam Kalam Literasi

Tulisan ini disarikan dari penjelasan UAS dalam acara ILC yang bertajuk “Sumbar Belum Pancasilais?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

BacaanTerkini

Pen Besi di Kaki Ibu Siti, dan Besi Tumpul di Kepala Pejabat Negeri
Siti Maswa, Sang Perempuan dengan Pen ...
“Ijazah: Antara Tuhan, Toga, dan Tipu Daya”
“Ijazah: Antara Tuhan, Toga, dan Tipu ...
Socrates Naik Dompeng: Logika Liar di Negeri Izin Fiktif
Di tanah Merangin dan Sarolangun yang ...

KategoriBacaan

ProgramTerbaik

BacaanLainnya

Siti Maswa, Sang Perempuan dengan Pen Besi yang Masih Menancap di Kaki
Dosen, Gelar, dan Makalah Copas: Komedi Tragis di Kampus Ilmu
"Wisudawan, Toga, Like, dan Cinta yang Tertinggal di Ruang Dosen"
Guratan Tak Terlihat di Balik Nilai
Pelatihan Literasi Digital di Desa Pematang Pauh 2024
Dari Jambi dan Kendari Menuju Kairo 2024
Persiapan Menuju Negeri Piramida 2025
Dari Jambi Menuju Kairo 2024