Tuan Guru Sirojuddin Berkisah Tentang Abah
K.H Ahmad Sirojuddin bukan produk karbitan, ia telah lama “melumpur” dan “bergumul” dalam genangan ilmu. Abahnya adalah seorang guru terkemuka bernama H. Muhammad bin H. Usman, yang memiliki hobi belajar dan mengajar. Keihklasannya dalam mengajar tidak dapat diukur oleh alam dan seisinya. Ketika itu, guru Muhammad telah tinggal di Tanjung Johor, yang sebelumnya pernah tinggal di daerah Kampung Manggis. Meski telah pindah ke Tanjung Johor, guru Muhammad tetap mengajar ke Kampung Manggis dan daerah-daerah sekitar pasar Kota Jambi. Guru Muhammad mengajar bukan pada satu tempat, tetapi bergerilya menyebarkan manisnya ilmu sampai ke banyak penjuru negeri.
Melihat kondisi ini mungkin bukan merupakan hal aneh bagi generasi abad ini, karena hal seperti itu juga banyak dilakukan oleh para guru masa sekarang. Namun patut dicatat, guru Muhammad telah benar-benar basah dan berenang pada lautan ilmu serta membagi-bagikannya secara cuma-cuma bin gratis.
Sebelum Tuan Guru Sirojuddin Wafat, saya dan Sobirin bersilaturahim kerumah beliau. Disela-sela kesibukan mengajar dan menerima tamu, beliau menyambut kami dengan sangat akrab, seolah beliau telah benar-benar mengenal kami, padahal kami yakin beliau lupa.
Guru Siroj berkisah tentang abahnya:
“abah adalah seorang guru, mengajar merupakan aktivitas yang paling ia cintai. Beliau mengajar dibanyak tempat. Datang ke rumah-rumah, ke sekolah-sekolah dan dimano bae beliau duduk, semua yang keluar dari mulutnyo adalah ilmu”
Saya coba menyelipkan pertanyaan, “berapo kiro-kiro gaji abah mengajar waktu itu guru? Sambil tersenyum guru Siroj menjawab. “gratis… dak bebayar”
Guru melanjutkan, “anak abah semuonyo tigo belas, yang hidup tujuh orang, darimano abah dapat duit menghidupi ke tujuh anaknyo?” tanya guru Siroj. Sebelum dijawabnya sendiri, beliau menghela nafas. Dari tarikan dan hembusannya, nampak bahwa beliau sedang menahan sakit.
Guru Siroj tersenyum sambil menajwab; “dari Allah, Manyyattaqillaaha Yaj’allahu Makhraja, Wayarzuquhu Min Haitsu Laa Yahtasib”.
Kato abah, “Allah kasih rezeki kamu kemaren, maka Allah pasti akan kasih juga esok hari. Kuncinyo diseberapo yakin rezeki itu akan datang, maka ia akan datang dari jalur yang tidak terduga”.
Guru menyambung kisahnya; “tapi abah dulu jugo punyo umo, setiap kali kami anak-anaknyo nak ikut bantu abah ke umo, abah dak boleh dan ngasih kami pilihan, “kamu yang kerjo atau abah yang sekolah”?
Mendengar ini, saya makin termotivasi untuk terus belajar menjadi guru yang baik. Obrolan singkat ini benar-benar berarti. Benar kata guru Erhami Kasran, “duduk bersama orang berilmu, seratus kali lebih bermanfaat daripada ibadah sendiri”. Saya merasa makin betah berlama-lama duduk bersama guru Siroj. Tapi kini, guru Siroj telah pergi meninggalkan kehidupan dunia menuju keabadian hidup bersama orang-orang terpilih di surga tertinggi.
Abah guru Siroj memberikan pilihan kepada anak-anaknya yang ingin membatunya bekerja di sawah, “kamu kerja atau abah yang sekolah”? Kalimat ini menghantam bagian terdalam para orangtua yang tidak termotivasi untuk menyekolahkan anaknya dengan alasan tidak ada biaya, biaya sekolah mahal dan alasan-alasan lainnya. Guru Siroj dan enam saudaranya sekolah bukan pada tempat yang mahal, dengan segala keterbatasan sang abah telah menanamkan kepada anak-anaknya bahwa sekolah adalah warisan paling mahal dan tak ternilai.
Salam kalam literasi
Jika rindu, dalam munajat kepada Allah kami menyebut namamu duhai guru. Alfatihah kami kirimkan.
Tulisan ini diambil dari naskah buku tentang guru Siroj yang sedang dikerjakan. Mohon doanya agar segera bisa diselesaikan.