Telur-Telur Done
*Alif Rahman Hakim
Sekitar puluhan tahun lalu, puluhan telur ayam menetas. Dan sekarang telur-telur itu adalah anak-anak ayam yang beranjak dewasa. Tahukah kau, akulah induk ayam itu. Bisa dibilang begitu karena saat anak ayam itu menetas wajah pertama yang mereka tatapi lamat-lamat adalah wajah pas-pasanku ini. Sedih kadang, senang pula di lain waktu, aku sekarang harus mengasuh puluhan ekor anak ayam yang lambat betul tumbuh besar. Bayangkan, sejak menetas hingga puluhan tahun kedepan, mereka tetaplah anak ayam. Memangnya aku harus berharap apa, tidak mungkin mereka menjelma menjadi garuda yang terbang tinggi di langit.
Kau boleh panggil aku Done, dan tak perlu kau pertanyakan nama panjangku karena aku berjanji padamu akan menceritakannya di akhir cerita ini. Perkenalkan pula para anak ayamku. Yang paling tua kunamai Karta, sejak aku tahu ia jantan karena dulu pernah kupanggil Via. Ia harus jadi teladan bagi anak ayam lainnya, terutama adik-adiknya yang masih sangat kecil. Kenalkan pula adiknya Karta, sebut ia Baya atau kau boleh pula memanggilnya Sura. Selanjutnya si betina molek berdarah dingin yang bisa kau panggil Dung. Aneh memang namanya, tapi itulah yang kuberikan. Dari puluhan anak ayam yang kuasuh, hanya tiga itu yang mungkin kusebutkan namanya, sisanya aku yakin kau dapat kenal sendiri nanti.
Berbeda dengan hewan lain, anak ayamku buta huruf. Mereka tidak bisa membaca huruf-huruf latin kecuali mereka yang tua-tua saja. Karena itu aku merasa gagal mendidik mereka. Akhirnya aku pun menjadi buta huruf pula. Setiap ada kata yang tercetak di kertas-kertas aku tidak bisa mengolahnya, seperti setiap hurufnya menari-nari dan mengejekku ria. Sial. Dan gambar yang terpampang di sebelahnya sontak tertawa terpingkal-pingkal sambil memegangi perutnya. Sampai kututup telingaku dan kupejamkan mataku erat barulah mereka kembali berbaris pada tempat masing-masing.
Namun ada sesuatu yang berharga di setiap jantunghati anak ayamku. Di dalamnya ada perhiasan yang tiada tara nilainya. Dan setiap anak ayam memiliki perhiasan yang berbeda. Ada yang berjantunghati permata, ada yang emas murni, ada yang berlian, ada pula mutiara, ada batu ruby, ada perak, perunggu, giok, bachan, dan lain-lain. Karena kecantikan jantunghati mereka, hampir semua binatang lain memperebutkannya. Tidak jarang saat mencari makan mereka memburu anak-anak ayamku. Kalau aku tahu, akan kutendang mereka kuat-kuat lalu kucabut gigi-gigi mereka yang tajam itu agar mereka jadi binatang ompong. Karena itu mereka hanya berani berburu kalau aku sedang tidur di malam hari. Tapi entahlah, nanti bisa jadi berbeda.
Yang pertama kutangkap adalah kucing hutan bernama Porta. Ia mengendap-endap memasuki kandang anak ayamku.
“Keluar kau kucing hutan! Tidak tahukah kau ini bukan tanahmu.” pekikku dari jauh saat menemukannya menyelinap.
“Terlambat kau Done. Aku sudah di dalam kandang ayammu. Kini akan kumakan mereka perlahan.”
“Memangnya siapa kau? Tidakkah kau kenal anak-anak ayamku. Mereka sudah aku latih menghadapi kucing hutan sepertimu.” jawabku bangga. “Karta, bentuk formasi bertahan dan siapkan pula senjata penyerangan.”
“Siap, Yahbunda!” sigap si Karta menjawab.
Para anak ayamku merapatkan barisan dan menyodorkan patuk mereka yang tajam seperti mata tombak. Kala cakar kucing itu mengudara, ujung-ujung tombak telah menancap di dadanya. Porta meronta-ronta kesakitan. Lalu beringsut keluar dari kandang dan lari ketakutan. Semua anak ayam berteriak menang.
Lari si kucing hutan Porta, esok sorenya datang si lembu betina Spania. Kulitnya merah pirang dan tanduknya kuning.
“Kemarilah para anak ayam, akan kujadikan kalian pesta makan malam.”
“Tapi kau bukan karnivora, Spania.” jawab Dung.
“Bukan daging kalian yang akan kumakan. Buat apa? kalian menjijikkan. Aku hanya ingin jantunghati kalian itu. Akan kupasang itu di mataku, di tandukku, di ekorku, agar aku menjadi binatang terjanting di rimba dunia. Ah, sudang terbayang itu padaku.”
“Siapa yang bilang kau lembu bentina cantik?”
Mata Spania membelalak, mengobarkan neraka. “Akan kuseruduk kalian!”
“Coba saja, kami tidak takut dengan lembu penuh lumpur sepertimu.”
Spania menghentakkan dua kaki belakangnya ke tanah, menciptakan gempa delapan skala ritcher sejenak. Para anak ayamku jatuh bergelimpangan. Sebagian lagi lari terbirit-birit mencari batang pohon tempat sembunyi. Si lembu Spania mengacungkan tanduknya dan dengan sekuat tenaga ia berlari dan menabraki pohon-pohon.
“Tetap sembunyi saudara-saudaraku.” perintah si Karta.
Hingga berkali-kali Spania menubruk pohon dan akhirnya ia pingsan sendiri. Barangkali karena terlalu banyak kepalanya menghantam kayu keras itu.
Selanjutnya datang dari seberang pulau sana, seekor musang yang cerdik akal bernama Nideria. Ia bak berseragam polisi internasional berseragam lengkap hendak menyelamatkan para anak ayam. Girang semua anak ayamku mendengar itu, meloncat-loncat seperti penonton konser musik. Tapi dua mata musang itu selalu melihat pada dada anak ayam, barangkali sebenarnya ia pun bermaksud mencuri permata.
Dan malam itu ternyata terjawab lah keraguanku saat Nideria dengan ikhlasnya menawarkan dir jadi penjaga. Alih-alih menjaga, seperti duri dalam daging, musuh dalam selimut, ia mencuri semua permata, berlian, emas, dari dada para anak ayamku. Sial. Perhiasan itu ditelannya bulat-bulat. Kalau kami ingin mengambilnya, maka kami harus membunuhnya dan mengoyak isi perutnya. Tapi malah si musang berhasil menghipnotis semua anak ayamku dan membuat mereka tertidur pulas di pangkuannya. Sial!
“Karta, Baya, Dung, bangunlah kalian!”
Mereka tidak bangun juga.
“Bee, Pale, Banda, bangun!” panggilku lagi. Mereka tetap mendengkur pulas.
“Percuma kau bangunkan. Jurus hipnotisku sekuat obat tidur terampuh di dunia.” ucap Nideria dengan nada mengejek. Matanya bundar, senyumnya melebar berlebihan. Jelek sekali.
“Nado, Maka, Ponti, kalian juga tidak bisa bangun? Ba, Lombo, Pu, kenapa kalian juga diam?!”
“Jadi kau tidak mengerti, ya?” Nideria tertawa jahat, menampakkan giginya yang kuning kecoklatan.
“Kau musang licik, siap-siap kalau aku berhasil membangunkan mereka kau akan kami hajar.”
“Kalau begitu, jatuhkan aku dulu. Sihirku akan lepas kalau aku terluka.”
“Oh, kau belum tahu siapa Done? Baiklah, bersiap-siaplah.” aku mengambil ancang-ancang menghadapi Nideria. Kukepakkan sayapku, kupancal kayu tinggiranku dan melesat. Terbang menuju Nideria.
Nideria bersiap dengan cakar dan taringnya, matanya mendelik tajam. Air liur merembes dari sela-sela gusinya. Aku menukik memasang dua pedangku. Pedang kami berhantaman. Pukulan dan tendangan saling kami layangkan. Aku melontarkan tinjuan keras, ia mengelak refleks sehingga aku hampir terjerembab. Kugapai ekornya dan kutarik kuat. Ia meronta, sebelum melepaskan tendangan telak ke punggungku yang membuatku terlempar jatuh terhempas di sebatang pohon. Aku menggerang.
“Hanya seekor pengasuh anak ayam, ingin melawanku penguasa binatang? Sebaiknya kau melata di tanah bersama anak ayammu mengais sekeping dua keping koin.” kata Nideria bengis.
Aku mencoba menegakkan punggungku yang hampir remuk. Belum sempurna aku berdiri, pukulan keras Nideria menghantam kepalaku. Darah mengalir. Aku terjatuh. Kaki Nideria sigap menginjak leherku.
“Sebaiknya kau membacakan wasiat terakhir, Done!” Nideria tertawa jahat. “Karena sebentar lagi cakarku akan menembus dadamu, dan kau hanya hidup kembali saat seluruh perhiasan dari dada anak-anak ayammu itu bersatu kembali dalam tubuhmu. Tapi itu tidak akan terjadi.”
Nideria mengangkat tangannya, memasang pedang paling tajam. Ia bersiap menusukkan pedang itu ke tubuhku. Aku menggeliat. Tapi punggungku sudah remuk dan kepalaku bocor. Mata Nideria membundar, tergambar iblis kejam di wajahnya. Saat ia menusukkan pedang itu ke tubuhku, saat itu pula sebuah taring mengoyak punggungnya. Tanpa bisa melawan Nideria terpelanting jatuh. Lalu sebuah kaki besar meratakannya dengan tanah. Nipo, harimau yang ditakuti itu kini muncul pula. Nipo mengoyak perut Nideria dengan cakarnya yang tajam, lalu mengeluarkan perhiasan yang bersinar. Perhiasan anak-anak ayamku.
Kini apa lagi? Nipo pun akan mengambil perhiasan dalam dadaku? Pasalnya milikku lah perhiasan yang paling dicari. Biasanya saat ia memburuku, aku terbang setinggi mungkin sehingga ia tidak mampu mengejar, tapi kini aku dalam keadaan lemah dan tertusuk. Nipo berjalan mendekatiku tanpa ekspresi. Wajahnya datar. Ia keluarkan sebuah pisau kecil dari ujung tangannya. Benar. Dengan pisau itulah ia akan mengoyak perutku, lalu mengambil isi dadaku.
Maka tidak ada harapanku. Aku sedang tidak bisa terbang, hanya pasrah menanti kematian dan membiarkan harta paling berharga hilang. Siapa peduli, mungkin kematian memang lebih baik. Biarkan Nipo menguasai semua hartaku dan anak-anak ayamku. Biarkan. Apalah hidup di dunia, akhirat sana lebih kekal dan sempurna.
“Jangan menyerah, Yahbunda!”
Seseorang memanggilku pelan. Ya. Anakku. Anak ayamku.
“Kita ini bangsa yang kecil, apa jadinya kalau tidak punya semangat. Jangan menyerah!”
“Karta, Bee, Dung, Sura?” panggilku pelan.
“Kami sekarang bangun, Yahbunda. Kami bukan anak ayam yang melata di tanah lagi.”
Suara itu, Karta, kini kau bangun juga. Tapi kepalaku tidak dapat ditolehkan lagi. Aku tak bisa melihat mereka. Pandanganku pun kabur.
“Kami adalah elang yang terbang tinggi di langit.” terus Karta.
Suara kepakkan sayap bertalu-talu mengisi ruang langit. Sejenak kemudian desing peluru berjatuham dari segala penjuru. Nipo meloncat menghindar. Tapi puluhan anak ayamku yang kini adalah garuda dewasa mengepung dan menghajarnnya dengan bom-bom pemusnah. Ia terpelanting, terguling-guling, hingga akhirnya entah kemana, bersamaan dengan hilangnya kesadaranku.
Pada akhirnya, tanpa surat wasiat, kuwariskan semua pada anak elangku. Mereka sekarang garuda gagah. Kutitipkan namaku kepada kalian: Done. Lengkapnya, Republik Indonesia. Jadikan itu lambang penyatu kalian wahai anak-anakku. Jakarta, Surabaya, Bandung, Jambee, Palembang, Bandaceh, Manado, Makasar, dan anakku yang lain.
Catatan :
Porta : diambil dari kata Portugis
Spania : Spanyol
Nideria : Netherland
Nipo : Nippon (Jepang)
Salam Kalam Literasi