Takut Tersenyum
*Fajri Al Mughni
Selepas shalat ‘Isya, Guru Nadjmi makan malam bersama abah dan emak. Sambil mengambil nasi abah bertanya;
“jadi senin ke Jakarta mi?”
“iyo jadi insya Allah bah, limo hari:.
“Abah nak ke Jakarta jugo dak? Tanya emaknya.
“rencananyo iyo, tapi mungkin sudah Nadjmi balek ke Jambilah”.
Sebenarnya ada yang hendak disampaikan oleh abahnya, tapi ia tidak tahu bagaimana cara menyampaikannya kepada anaknya itu. Karena tak paham bagaimana caranya, ia meminta Hj. Zainab yang menyampaikan. “emaklah yang nyakapinyo samo Nadjmi”, ucap abahnya sambil menyendok lauk gulai ikan sengarat.
Guru Nadjmi yang sedang khusu’ menikmati gulai ikan sengarat buatan emak berkolaborasi dengan sambal matah dan disempurnakan oleh rebus kacang panjang dan terung rimbang, penasaran kira-kira apa gerangan yang hendak orang tuanya sampaikan, hingga mereka tak tahu caranya.
“ado cerito apo mak? penting nian nampak’e tu”. Tanya guru Nadjmi kepada emak.
“macamko mi, hmm.. aii abahlah yang nyakapinyo, emak ko dak paham amat ceritoe”.
Guru Nadjmi tertawa kecil, karena masih sambil mengunyah.
“ha yolah.. kau taulah kan samo Ulya? Anak H. Syukur”. Tanya abah kepada Nadjmi
“adik guru Abdullah Dung”, tambah emaknya.
“sayo bah, iyo, taulah”. Anak bungsu H. Syukur”. Ngapo tu bah?
“cemano menurut kau Ulya tu?
“Ulya gadis yang baik bah, pandai berniago dan handal mengelola bisnis”.
Emaknya menimpali cakap dengan pertanyaan;
“elok dak budak’e?” guru Nadjmi bertukar senyum dengan emaknya.
“kalu serupo tu senyumnyo, berarti elok mak”. abah ikut nimbrung dalam senyum mereka. “itulah perempuan yang insya Allah ngawani kau menjalani hidup dan melanjutkan perjuangan abah dan emak kelak”.
Guru Nadjmi berhenti mengunyah, makanan dalam mulutnya yang belum terlalu lebur, langsung ia telan dengan cepat. Ia mendadak bingung, tak mampu memberi komentar atas ucapan abahnya. Macam-macam rasa dalam dadanya.
Ulya memang seorang gadis yang cantik, bahkan menurutnya, “tercantik” di Seberang. Kalau kata orang dulu, “kembang desa”. Tentu tak sembarang kumbang bisa meminangnya. Tapi pada rasa yang lain, Ulya sudah seperti adiknya sendiri. Ulya pun memanggilnya dengan “Bang Cik”. Sebuah panggilan bagi adik kepada abang. Mereka berdua adalah sepupu.
Tapi, entah mengapa tiba-tiba Bunga-bunga cherry blossom berjatuhan disekitar meja makan, padahal bukan musim semi. Bunga viola melayang-layang di langit-langit rumah, entah kapan ia hijrah ke Jambi dari bagian Utara sana. Bunga opium bermunculan dari celah-celah lantai papan rumah, kuntum mahkotanya tampak hadir diantara kelopak. Bunga lily kuning muncul secara tiba-tiba pada ventilasi rumah, kelopaknya yang mirip terompet seperti mengeluarkan paduan suara romantis. Bunga anggrek bulan terselip diantara piring-piring lauk pauk diatas meja. Guru Nadjmi terkejut dan tersadar ketika bunga Blue bells berbunyi mirip suara lonceng sekolah, merusak lamunannya di meja makan.
“iko iyo nian mak?” ia bertanya kepada abah, tapi menyebut emak. Fokusnya pecah berserak-serak. Abah dipanggil emak.
Abah menjawab;
“insya Allah. Tapi belum tau kapan mi, abah, emak masih nak becakap lagi dengan keluargo Ulya. Insya Allah balek kau dari Jakarta, mudah-mudahan sudah ado tanggalnyo”.
⃰ ⃰ ⃰
Semenjak hari itu, guru Nadjmi tak sembarang melempar senyuman. Ia akan simpan untuk Ulya. Kalaupun tersenyum, akan diaturnya sedemikian-rupa agar tidak ada jantung yang berhenti berdegup.
Salam Kalam Literasi
Tulisan ini diambil dari buku “Nadjmi: Guru Sejati dan Politikus Hakiki”