Apa memang perlu mendefinisikan cinta di masa wabah? Saya rasa sangat perlu. Sengaja pertimbangannya pakai ‘rasa’, karena salah satu definisi cinta adalah ‘rasa’.
Tanpa ‘rasa’, beras bantuan gak bakalan turun. Sudah turun dari Presiden, malah ada yang belum sampai ke masyarakat. Jadi itu salah siapa? Dalam serial cinta Kahlil Gibran, tidak ada rumus mencari siapa yang salah. Yang ada hanya kurang peka dalam merealisasikan ‘rasa’.
Bahwa cinta itu penting, vital, tidak boleh disisihkan dari kehidupan, sumber perdamaian dan harmoni dunia, bentuk relasi paling luhur dalam kehidupan sosial manusia, cinta bahkan tidak hanya berdimensi vertikal dalam arti berhubungan dengan sesama dan alam semesta saja, tetapi juga berhubungan dengan wilayah ketuhanan. Bahwa cinta juga telah diteliti dan dikaji oleh para pakar dari berbagai bidang. Semua itu benar. Tetapi, apa itu cinta?
Sudah bercerita panjang lebar, masih saja susah mendefinisikannya. Hebat benar.
Presiden Jokowi pasti punya definisi sendiri. Begitu juga dengan para menteri, pengusaha, petani, pegawai honor, tukang sapu, tukang bakso, tukang mie ayam, tukang bangunan, bahkan sampai kepada yang tidak punya ‘ketukangan’ pun telah mendefinisikan cinta. Saya yakin semua itu tidak senada. Entahlah kalau presiden dengan menteri-menterinya. Tapi dengan beberapa Bupati mereka tak sejalan. Menteri berkomentar dalam hati, “ah payah, bupati-bupati itu tidak kompak”.
Mengapa begitu susah mendefinisikan cinta?
Setidaknya ada dua faktor. Pertama, subjektivitasnya. Ini terkait dengan dunia perasaan dan emosi. Hal ini tentu ‘pengalaman’ dalam perjalanan cintalah yang memberi pengaruh kental. Saya kira hanya kopi yang rasanya terpengaruh oleh kekentalan serbuk. Rupanya, cinta juga.
Kedua, reduksionitas. Apa pula ini?
Yakni yang bersumber dari karakter cinta yang amat rumit dan kompleks serta multidimensi. Allahu akbar.. Penjelasan ini malah membuat rumit suasana. Saya rasa, semakin susah.
Atau begini, cinta membuat orang merasakan bahagia, tapi sering kali juga membuat susah. Cinta bisa membuat orang tertawa, namun juga sering melahirkan tangis duka. Cinta bisa menyenangkan, sering pula terasa sebagai beban yang berat untuk disandang dan seterusnya.
Nah bagaimana? Jangan-jangan semakin runyam. Apalagi jika dikaitkan dengan objek cinta. Misalnya, cinta harta, cinta pekerjaan, cinta gadis idaman hati, meski hanya sebatas diidamkan saja. Atau cinta sahabat, cinta orang tua, dan cinta Tuhan. Kira-kira inilah yang dimaksud reduksionitas. Mohon kali ini bisa dipahami. Plisss..
Kalau kita cek di internet, Kamus Besar Bahasa Indonesia, paling tidak ada empat arti:
Pertama: suka sekali; sayang benar
Kedua: kasih sekali; terpikat
Ketiga: Ingin sekali; berharap sekali; rindu
Keempat: susah hati; khawatir; risau.
Kawan-kawan boleh pilih salah satu yang sesuai dengan perasaan sekarang. Tapi kalau mau pilih semuanya juga gak apa-apa. Tidak usah malu-malu, toh orang juga tidak tahu.
Nampak-nampaknya segitu dululah, makin panjang cerita definisi, makin ribet dianya. Tapi sebelum ditutup seri ‘definisi’ ini, saya akan kemukakan untaian-untaian indah para pujangga terkait pembahasan ini.
Imam Al-Ghazali
Cinta itu sebatang kayu yang baik. Akarnya tetap di bumi, cabangnya di langit dan buahnya lahir di hati, lidah, dan anggota-anggota badan. Ditunjukkan oleh pengaruh-pengaruh yang muncul dari cinta itu dalam hati. Seperti ditunjukkannya asap dalam api dan buah dalam pohon.
Jalaluddin Rumi
Cinta tak dapat termuat dalam pembicaraan atau pendengaran kita: cinta adalah sebuah samudra yang dalamnya tak dapat diukur.
Maukah engkau mencoba menghitung tetasan air laut? Sebelum samudra itu, tujuh lautan bukanlah apa-apa.
Cinta tak dapat ditemukan dalam belajar dan ilmu pengetahuan, buku-buku, dan lembaran-lembaran halaman. Apapun yang orang bicarakan itu, bukanlah jalan para pecinta.
Punya Kahlil Gibrannya mana nih? Ada, tapi belum disini. Malah, insya Allah nanti selanjutkan akan didominasi oleh syair-syairnya saja.