Stop Nyinyir; NU Tegas Menolak Legalisasi Industri Miras
*Muhammad Sibawaihi
Beberapa hari ini publik dikejutkan dengan langkah pemerintah yang membuka izin investasi untuk industri minuman keras atau beralkohol dari skala besar hingga kecil di empat Wilayah Indonesia yakni Propinsi Bali, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara dan Papua. Sebagaimana tertuang dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2021 Tentang Bidang Usaha Penanaman Modal yang telah ditandatangani pada tanggal 2 Februari yang lalu. Dan penting untuk diketahui bahwa Perpres ini merupakan manifestasi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Keputusan ini tentu mengundang Pro dan Kontra di tengah-tengah masyarakat baik dikalangan masyarakat kecil menengah hingga di kalangan partai politik bahkan sampai dikalangan Ormas-ormas Islam. NU sebagai Jam’iyyah atau Organisasi Sosial Keagamaan Islam terbesar di Indonesia yang punya Misi untuk menciptakan kemaslahatan masyarakat, kemajuan bangsa, dan ketinggian harkat martabat manusia, menjadi salah satu ormas paling terdepan dalam menolak Perpres tersebut.
Dilansir di halaman NU online, Ketua Umum PBNU Abuya Prof. Dr. KH. Said Aqil Siroj sejak tahun 2013 hingga sekarang secara tegas menolak rencana pemerintah yang ingin menjadikan industri minuman keras keluar dari daftar negatif investasi dan menolak legalisasi Industri miras di Indonesia. Kiai Said menegaskan bahwa Al-Quran sangat jelas mengharamkan miras karena menimbulkan banyak mudarat. Ia kemudian mengutip QS. Al-Baqarah ayat 195.
Beliau menambahkan “Kita sangat tidak setuju dengan Perpres terkait investasi miras ini. Dalam Al-Qur’an dinyatakan:
ولا تلقوا بأيديكم إلى التهلكة
“dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri dalam kebinasaan,” Lebih lanjut ia mengatakan, kebijakan pemerintah harus mendatangkan kemaslahatan bagi masyarakat. Sebagaimana kaidah fikih yang kerap disebutkan yakni “Kebijakan pemimpin harus didasarkan pada kemaslahatan rakyat”. Karena agama telah tegas melarang, maka harusnya kebijakan pemerintah itu menekan konsumsi minuman beralkohol, bukan malah didorong untuk naik,” tegas beliau.
Pernyataan beliau tersebut menurut alfakir sangat tepat sekali karena bahaya dan dampak negatif yang ditimbulkan dari minuman keras harus dicegah dan tidak boleh ditoleransi. Kaidah fikih mengatakan:
الرِّضَا بِالشَّيْءِ رِضًا بِمَا يَتَوَلَّدُ مِنْهُ
Rela terhadap sesuatu berarti rela terhadap hal-hal yang keluar dari sesuatu tersebut.
Allah SWT juga telah berfirman dalam QS Al-Maidah ayat 90:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْاَنْصَابُ وَالْاَزْلَامُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطٰنِ فَاجْتَنِبُوْهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ
“Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya minuman keras, berjudi, (berkurban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah, adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah (perbuatan-perbuatan) itu agar kamu beruntung.”
Diakhir ayat di atas, secara tegas Allah SWT menyatakan bahwa tindakan meminum khamr, berjudi, mengundi nasib, adalah bagian dari perilaku setan. Untuk itu perilaku itu disebut sebagai rijsun (najis/keji), seiring dengan senantiasanya setan hendak berbuat menjerumuskan manusia ke dalam lembah kehinaan. Maka dari itu, orang yang meniru perilaku setan, dianggap sebagai orang yang hendak menjerumuskan dirinya sendiri dalam lembah kehinaan (rijsun) tersebut. Salah satunya adalah melalui khamr, judi, dan sebagaimana digambarkan dalam ayat tadi.
Sahabat Abdullah ibn Umar radliyallahu ‘anhu, suatu ketika dawuh:
روي عن رسول الله صلي الله عليه وسلم : ( أنه يؤتي بشارب الخمر يوم القيامة مسوداً وجهه ، مزرقة عيناه ، متدلياً لسانه علي صدره ، يسيل بساقه مثل الدم ، يعرفه الناس يوم القيامة)
“Diriwayatkan dari Baginda Nabi SAW, Sesungguhnya kelak para peminum khamr akan dihadirkan di hari kiamat kelak, dengan wajah yang menghitam, kedua bola matanya pucat, lidahnya terjulur hingga ke dadanya, dari kedua betisnya mengalir sesuatu yang seumpama darah. Mereka akan dipertontonkan dan dilecehkan di hadapan manusia.”
Maka dari itulah kemudian Baginda Nabi memberikan peringatan:
فلا تسلموا عليه ، ولا تعودوه إذا مرض ، ولا تصلوا عليه إذا مات ، فإنه عند الله سبحانه وتعالي كعابد الوثن
“Jangan kau mengucapkan salam padanya. Jangan menjenguknya ketika ia sakit. Jangan menshalatinya ketika ia mati. Karena sesungguhnya mereka disisi Allah, kedudukannya seperti penyembah. berhala.”
Larangan dari Rasulullah SAW untuk tidak mengucap salam kepada syaribul khamri (peminum minuman keras), termasuk pula larangan menjenguknya ketika sakit, dan larangan menshalatinya, adalah suatu bentuk sanksi. Sanksi ini jangan dipahami sebagai sebuah kebencian. Akan tetapi sanksi itu mesti dipahami sebagai sebuah pendidikan. Pendidikan kepada masyarakat dari Baginda Nabi Besar Muhammad SAW.
Ada banyak sanksi yang disampaikan untuk syaribul khamri dalam kitab-kitab fiqih. Misalnya adalah klasifikasi sah tidaknya tasharuf (Tindakan hukum) para syaribul khamri tersebut. Untuk syaribul khamri pemula, yang mabuk bukan karena kemauannya sendiri maka ucapan talaknya saat kondisi mabuk, masih dihukumi tidak jatuh, dan jual belinya masih dihukumi tidak sah. Untuk syaribul khamri yang profesional, ucapan talak atau akadnya saat kondisi mabuk dihukumi sebagai sah. Mengapa ada pembedaan? Itulah salah satu bentuk syariat dalam memberikan pendidikan kepada masyarakat. Ada jenjang dan tahapannya. Kesalahan yang dilakukan di awal, masih dima’fu. Tapi, kalau sudah sering melakukan kesalahan berupa minum khamr, maka langsung syariat memutuskan sanksinya.
Dalam hadits di atas juga disebutkan bahwa syaribul khamri adalah seperti penyembah patung. Penjelasan dari ini sebenarnya berangkat dari sebuah pengakuan hukum bahwa hukumnya syaribul khamri, sedikit atau banyak khamr yang diminum, hukumnya adalah haram. Haram ini yang menetapkan adalah nash Al-Qur’an dan al-hadits. Ijma’ ulama juga menyatakan sebagai haram. Padahal berlaku kaidah, sebagaimana disampaikan oleh al-Faqih al-Qadli Nashr ibn Muhammad ibn Ibrahim Al Samarqandy dalam kitabnya Tanbihul Ghafilin halaman 53:
وأجمع المسلمون أن شرب المسكر حرام قليله وكثيره فإذا استحل ما هو حرام بالإجماع صار كافرا
“Orang-orang muslimin sepakat bahwa meminum sesuatu yang memabukkan adalah haram baik sedikit maupun banyak , jika ada orang yang menganggap halal sesuatu yang haram berdasarkan Ijma’ maka ia dihukumi sebagai orang kafir”
Dalam pada itu, Nahdlatul Ulama’ sebagai Ormas Islam yang merupakan representasi dari paham Ahlussunnah Waljama’ah memiliki empat acuan atau pedoman dalam bersikap dan menanggapi semua persoalan yakni dengan memegang teguh sikap tawasuth (moderat), tawazun (berimbang) , tasamuh (toleran), dan I’tidal (tegak lurus). Menurut al-fakir Karakter I’tidal yakni tegak lurus (tidak condong pada kepentingan pribadi ataupun golongan), Adil dan tegas dalam bersikap inilah yang digunakan oleh NU dalam menolak rencana Pemerintah untuk melegalkan Miras atau legalisasi Industri miras di Indonesia.
Disisi yang lain secara tidak langsung sikap ini menjadi tamparan keras kepada beberapa pihak yang sering berseberangan dengan NU karena anggapan mereka NU adalah ormas yang paling dekat dengan pemerintah, NU anak emasnya pemerintah dan selalu pro pemerintah. Namun dalam masalah ini, NU lah yang paling keras menolak kebijakan pemerintah.
Sebagai penutup bahwa Nahdlatul Ulama’ akan selalu menjunjung tinggi sikap berlaku adil dan lurus di tengah-tengah kehidupan masyarakat, mengedepankan maslahat dan menolak mafsadat /kerusakan, moderat dalam bersikap dan seimbang dalam bertingkah laku.
Salam. Kalam literasi
(Muhammad Sibawaihi, Perum Arza Aur Hijau Mendalo darat. 2/3/2021)




