Sepotong Bronis: Takdir dan Kekuatan Nina

Sepotong Bronis: Takdir dan Kekuatan Nina

Facebook
Twitter
WhatsApp
Telegram
Email
Print
Facebook
Twitter
WhatsApp
Telegram
Email
Print

Sepotong Bronis: Takdir dan Kekuatan Nina

Takdir itu bagai sepotong bronis.

Di balik legamnya tersimpan dua rasa yang tidak terbantahkan: pahit dan manis. Seperti sebilah pisau tajam di tangan seorang dokter bedah atau di tangan seorang preman pasar.
Tatkala rasa manis bronis itu kucecap, Nina, perempuan yang selalu memakai jins belel itu, membawa takdirku ke hadapan bos Nando. Di situlah semua berubah.

“Kau kuangkat dari kematian, dan sekarang laksanakan tugasmu seperti kau membagi setengah jiwamu untukku.” tegas bos Nando. “Berani macam-macam, Kau… Kreeett!” bos Nando melintangkan tangan kanannya ke arah lehernya yang bertatto rajawali hitam. Itu artinya sepotong bronis enak itu harus kuberikan kepadanya. Sial!

“Kau tidak harus bergabung, Arpan!” Ucap Nina sambil menatap hujan yang turun malam itu. “Kau hanya tak sengaja kutemukan. Sekarang pergilah!”

“Tidak akan. Kau tidak mengerti.” Jawabku, duduk sambil memainkan jari.

“Kamu yang tidak mengerti! Kau hanya takut.”

“Karena itu aku akan ikut denganmu. Sudah kubilang, kau tidak mengerti.” Aku berdiri menyejajarkan tubuhku di sampingnya. Pandangannya berpindah dari rintik hujan, menuju bola mataku.

“Apa?”

“Ya.”

Pandangannya kembali menangkap rintik-rintik hujan.

Esok sorenya bos Nando mengumpulkan kami semua di lantai atas. Malam ini akan ada aksi. Dua rumah pejabat kaya akan menjadi target besar. Aku yang tak pernah berpengalaman menjalankan aksi haram ini, berdiri dengan dada seperti terhimpit batu besar. Selain itu, aku tak percaya dengan tangan dan kakiku ini, kulakukan pekerjaan yang paling nista dalam hidupku.

“Kau mau pulang ke bawah ketiak ibumu, hah, bocah?” Apeng, salah satu tangan kanan bos Nando, dengan wajah meremehkan berkata kepadaku.

“Oh, tidak, ibu, tolong anakmu ibu, tolong anakmu.” Apeng meneruskan, membuat semua anggota tergelak.

“Diam kau! selesaikan saja misimu sendiri! dia akan beraksi bersamaku malam ini.” Sahut Nina membelaku. Semua orang tiba-tiba menghentikan tawanya. Bos Nando hanya melihat sinis, tidak berkomentar.

“Sial kau wanita jalan!”

“Ucapkan sekali lagi, akan kubuat matamu tak dapat melihat lagi!!” Ancam Nina.

“Beraninya kau?”

“Hei!!! Bodoh!!!” Bos Nando terpaksa turun tangan mendamaikan mereka. “Diaaamm! Kalian mau  aksi atau mau berkelahi, hah?” Semua bungkam. “Sekarang pergilah dan selesaikan misi kalian masing-masing! Dan kau, bocah, berani melarikan diri berarti berani mati!” Kakiku semakin bergetar.

Perlengkapan disiapkan. Peta dibentang. Komputer pendeteksi diprogram. Strategi dirancang. Rajawali hitam beraksi! Malam itu aku hanya menjaga di depan gerbang rumah saja. Nina yang membobol. Tak lama aku menunggu, Nina sudah keluar membawa sekotak perhiasan mahal.

“Sudah berapa lama kau melakukan ini? Kau hebat! tak ada wanita sehebat kau. Bahkan aku tidak melakukan apapun tadi.” Kataku pada Nina dalam perjalanan kami pulang membawa kotak perhiasan.

Aku tahu Nina bukan seperti wanita biasa. Ia merelakan kehidupan indah dengan rumah yang aman, untuk memilih jalan gelap ini. Ia terlalu kuat seperti batu yang tak takut dengan ombak.

“Aku terpaksa memilih jalan ini.” Katanya, lalu menghentikan langkah secara tiba-tiba.

“Mengapa?” Aku ikut menghentikan langkahku.

Ia terdiam agak lama sambil memandangi tanah. Wanita yang rambutnya sebahu itu meredupkan cahaya matanya. Sebuah penyesalan. Sekarang benakku pun dipenuhi tanda tanya tentang wanita di hadapanku ini. Ada sebongkah memori yang tersimpan dibalik kehebatannya.

“Kalau begitu, aku berjanji, aku akan mengeluarkanmu dari keadaan ini, agar kau bisa hidup dengan damai di tempat yang jauh dari sini.” Aku mengacungkan jempol sambil nyengir seperti anak kecil.

“Bodoh!” Jawabnya. “Kau baru bergabung dan sekarang sudah sok paling hebat.” Ia meneruskan.


Aksi berikutnya! Aku kini tidak hanya diam menunggu di depan rumah, tapi ikut membobol barang-barang berharga di rumah besar itu. Sukses! Omzet malam itu lebih dari 1 milyar. Prestasi terbaik yang pernah ada di kelompok Rajawali hitam. Bos Nando tersenyum lebih lebar dari biasanya saat kami briefing penutupan yang biasanya dilakukan setelah aksi. Entah kenapa, suasana saat itu menjadi dimensi yang kurindukan, sebuah kehangatan dalam kegelapan. Itulah, bronis pahit yang juga manis.

Semakin lama semakin banyak aksi yang kulakukan hingga aku pun menjadi salah satu tangan kanan bos Nando sekarang. Masih dengan Nina, wanita yang diam-diam kukagumi itu, aku selalu berhasil membawa pulang harta rampasan.

“Bravo!!” Bos Nando berseru bangga.

Namun aku sudah mulai letih, dengan jalan haram ini.

Belum. Belum saatnya aku berhenti. Nina, jika bukan karena dia mungkin sudah lama aku pergi dari pekerjaan biadab ini. Tapi matanya yang tegas menerkam itu selalu menarikku kembali. Lagipula, misi rahasia yang besar harus kuselesaikan tanpa membawa namanya. Aku tak mau ia turut menanggung akibatnya  jika hal yang terburuklah yang mungkin terjadi. Nina, aku masih memegang janjiku. Nanti, aku akan mengeluarkanmu dari rumah setan ini.

“Aku pergi dulu, Nina.”

“Kau?”

“Misi rahasia. Kau tidak perlu terlibat.”

“Dari bos Nando?”

Aku hanya tersenyum, membalikkan badan lalu melangkah sambil melambaikan tangan. Hujan gerimis menemani langkahku.

“Kau yang memberinya misi, bos?” Tanya Nina pada bos Nando.

“Kurasa hanya dia yang mampu. Lagipula, aku tidak mau mengorbankan anggotaku. Kalau dia tidak apa-apa”

“Apa? Jadi kau?”

“Dia bukan anggota kita, heh, Nina. Kau temukan ia sekarat di tempat sampah. Lalu apa pentingnya dia untuk kita?”

“Bukankah ia berguna, bos?”

“Karena itu aku memanfaatkannya untuk menyelinap ke kepolisian.”

“Apa? Kepolisian katamu? Bagaimana jika ia tertangkap? Kau tak setia kawan, bos. Bukankah dulu kau yang bilang, mereka yang meninggalkan teman, lebih rendah dari sampah?”

“Apa pedulimu? Oh, jangan-jangan…”

“Tidak. Aku hanya bermaksud…”

“Jadi sekarang ada yang saling jatuh cinta, heh, Nina sayang?”

“Bukan, maksudku…”

Tiba-tiba suara ketukan tiga kali menghentikan percakapan mereka. Apeng masuk dengan wajah tak sabar ingin menyampaikan sesuatu.

“Aku mendapat pesan dari Arpan, bos, ia ingin kita melakukan sesuatu.”

“Apa?” Tanya bos Nando.

“Akan ada berita penting tentang agen mata-mata yang biasanya menyusup dalam komplotan perampok seperti kita. Maka Arpan ingin kita semua berada di markas jam sembilan malam ini. Dan kau, Nina, Arpan ingin kau ambilkan beberapa data rumah pejabat terkaya di markas lama. Mungkin ini sekaligus akan jadi aksi besar.”

“Bravo! Katakan pada semuanya, malam ini berkumpul di markas utama jam sembilan! Tapi mengapa harus Nina yang mengambil itu?” Kata bos Nando.

“Karena sidik jariku adalah kode yang terbaca oleh komputer markas lama, bos!” Jawab Nina spontan.

“Baiklah, pergi sebelum sore!”

Maka saat itu Nina pergi ke markas lama. Namun, sebuah mobil jeep hitam ternyata dari tadi membuntutinya sejak ia berangkat dengan motornya. Saat jalan lengang, mobil itu mendahului dan tiba-tiba berhenti melintang di depan motor Nina. Tak lama kemudian, di jalan itu hanya tersisa motor yang tergeletak.

Jam 9.00. Bos Nando dan yang lainnya menanti. Nina pun tak kunjung pulang dari mengunduh data. Saat ketukan pintu markas terdengar, bos Nando sendiri yang ingin membuka pintu. Namun lebih dari sepuluh moncong senjata api para intelijen terarah ke kepala ketua komplotan itu. Seluruh gedung sudah dikepung, dan komplotan Rajawali Hitam hanya bisa diam menyerah.

Nina dan Aku? kami pergi jauh dari tempat itu tanpa diketahui oleh siapapun, bahkan para intelijen yang menangkap mereka.

“Ternyata kau selama ini intelijen yang menyamar…” Tukas Nina sambil tersenyum dan menandarkan kepala pada tangannya.

Salam Kalam Literasi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

InstagramKLI

BacaanTerkini

Dosen, Gelar, dan Makalah Copas: Komedi Tragis di Kampus Ilmu
Dosen, Gelar, dan Makalah Copas: Komedi Tragis di Kampus Ilmu
"Wisudawan, Toga, Like, dan Cinta yang Tertinggal di Ruang Dosen"
"Wisudawan, Toga, Like, dan Cinta yang Tertinggal di Ruang Dosen"
Guratan Tak Terlihat di Balik Nilai
Guratan Tak Terlihat di Balik Nilai
Daha
Proyek Historiografi DAHA

KategoriBacaan

ProgramTerbaik

BacaanLainnya

"Wisudawan, Toga, Like, dan Cinta yang Tertinggal di Ruang Dosen"
Guratan Tak Terlihat di Balik Nilai
Proyek Historiografi DAHA
Pelatihan Literasi Digital di Desa Pematang Pauh 2024
Dari Jambi dan Kendari Menuju Kairo 2024
Persiapan Menuju Negeri Piramida 2025
Dari Jambi Menuju Kairo 2024