Sang Nabi Abadi dari Lebanon : Kahlil Gibran
Ditengah dunia yang mengalami banyak kecemasan saat ini, sepertinya memang harus ada manusia heroik yang menjadi pahlawan. Tidak usah menunggu dari Amerika, apalagi dari Cina. Lama nunggunya, mahal juga.
Bagaimana kalau dari Lebanon? Tapi bukan Nancy Ajram yang kemaren lagunya dinyanyiin dek Nisa Sabyan. Bukan, bukan dia.
Atau mungkin Hassan Maataouk? Bukan juga. Maatouk itu seorang gelandangan yang hilir mudik mengatur dan menggiring bola dari tengah lapangan. Gelandang maksudnya.
Saya paham teman-teman pembaca mungkin tidak sabar, saya sebenarnya juga tidak sabar. Tapi biar tulisannya agak panjang sedikit, jadi saya tambah-tambahi saja.
Baiklah. Dia adalah Jubran Khalil Jubran. Atau lebih dikenal dengan Kahlil Gibran. “Sang Nabi Abadi dari Lebanon”. Mohon teman-teman jangan marah dulu ketika membaca nabi abadi, biasakan jangan cepat marah ketika melihat atau mendengar sesuatu yang lain. Nanti kita dudukkan. Tapi kalau memang mau marah juga gak apa-apalah. Saya pasrah.
Memangnya Kahlil Gibran mau ngapain? Dia bisa bantu apa? Jasadnya saja sudah habis dimakan cacing. Entah bagaimana pulak kondisinya di barzah sana.
Pelan-pelan, kita tenangkan jiwa terlebih dahulu, buka gembok teralis pikiran yang dibelenggu oleh ego, serta atur keluar masuk nafas dengan enjoy.
Disini poin pentingnya. Sekarang banyak manusia yang menjadi ‘aku’ dan berjalan sendiri-sendiri dengan kepentingannya sendiri-sendiri. Meski mereka menapak di jalan yang sama, duduk dibangku yang sama, kelas yang sama, kampus yang sama, kos-kosan yang sama, suami yang sama, rokoknya satu bungkus sama-sama, berteduh diatap yang sama, tinggal dirumah yang sama. Tapi dalam diri dan pikirannya hanya ada “aku”. Yang lain, yang bukan “aku”, akan diakui keberadaannya sepanjang memiliki guna, fungsi dan manfaat untuk keberadaan-“ku”.
Ada yang sok peduli, tapi palsu. Dimensi kemanusiaan mulai memudar. Satu di antara yang mulai memudar dan jati dirinya mulai dilupakan orang adalah CINTA.
Ketika saya bilang CINTA, orang-orang membully saya, katanya ‘makan tuh cinta’. Kami butuh kehidupan, butuh beras, butuh duit, gak butuh cinta.
Aduh.. mereka yang bilang begitu jelas sekali kiblatnya ke Amerika atau Cina. Hidupnya hanya dinilai oleh manfaat praktis pragmatis. ‘aku’-nya masih terlalu ‘aku’ sekali.
Ini adalah seri artikel pertama dari DUNIA CINTA FILOSOFIS. Untuk bisa mengetahui dimana letak heroiknya Kahlil Gibran, maka teman-teman harus terus duduk berdekatan dengan koneksi internet dan jalan-jalan ke facebook. Bismillahirrahmanirrahim. Kisah baru akan dimulai.
Seri pertama dari buku Dunia Cinta Filosofis Kahlil Gibran. Karangan pak Faiz, atau Fahruddin Faiz.
Fajri Al Mughni, 16 Mei 2020