Perspektif Stockdale Paradox pada Covid-19 dan Ancaman Resesi Ekonomi
Dunia memang selalu berubah, cepat atau lambat, suka atau tidak, mau atau tidak. Zaman penjajahan kolonialisme sudah tujuh puluh lima tahun berlalu. Digantikan dengan zaman republik, orde baru dan orde lama, hingga sekarang menjelma zaman demokrasi. Industri pun tak mau kalah langkah, selalu berinovasi dengan teknologi paling mutakhir, yang di era pergantian millennium akhir-akhir ini didominasi oleh perkembangan digital secara massif.
Sejatinya memang semua hal tak ada yang tetap sama, kecuali perubahan itu sendiri. Namun, secara mengejutkan, tiba-tiba dan mendadak, tahun 2020 sejak Januari dan bermula di Wuhan, China, terjadi fenomena penyebaran mikroorganisme virus Covid-19. Sejak saat itu, perubahan yang sejatinya terjadi perlahan-lahan seperti rangkakan keong, kini melebur jatuh deras sekali seperti serbuan hujan petir. Cepat sekali.
Barang kali perubahan besar di tahun 2020 ini sebenarnya akan terjadi lambat selama sepuluh tahun, namun dipaksa hanya dalam kurun sebulan dua saja. Seperti magic saja dalam sekejap bisa mengganti kebiasaan lama.
Corona Virus Disease, telah menjangkiti Negara-negara termasuk Indonesia. Ibarat ditusuk dua pedang sekaligus, Negara ini seperti pincang dan bimbang karena harus memilih antara memilih kesehatan rakyatnya dan menghentikan pandemi tapi mengabaikan ekonomi, atau sebaliknya, mengejar ekonomi tanpa peduli sebaran virus ini di masyarakat. Sejak dilonggarkan PSBB di berbagai kota dan memasuki era new normal, tentu pemerintah bermaksud mempertahankan ekonomi sambil terus menahan penyebaran wabah. Namun resiko tetap menggerogoti, alhasil dua-duanya kena. Penyebaran penyakit semakin merajalela, pun ekonomi di kuartal kedua tahun ini merosot minus dan bersiap menghadapi resesi bahkan krisis.
Lalu, sebagai makhluk yang harus bertahan dan beradaptasi dalam perubahan agar tidak jatuh terlalu dalam, maka perspektif dan tanggapan seperti apakah yang harus kita lakukan sebagai manusia?
Haruskah kita optimis bahwa Covid-19 akan hilang dan pandemi berakhir, dan haruskah kita optimis bahwa Negara kita kuat bahkan ekonomi pribadi kita masing-masing tahan banting dengan adanya krisis? Bukankah beberapa pakar telah memprediksi bahwa pandemi Covid-19 hanya akan sampai Juli, ada juga yang bilang, Agusutus. Setelah itu semua akan kembali. Namun kenyataannya, Juli telah berlalu dan Agustus berakhir, dan Covid-19 masih tetap terus bertambah seperti tiada akhir.
Sejenak kita cermati kisah seorang jenderal militer Amerika Serikat bernama James Bond Stockdale. Ia bukan tokoh fiktif James Bond dalam film Hollywood, bukan, tapi seorang yang nyata. Pada 9 September 1965 saat dalam misi di Vietnam Utara, ia harus melompat dari pesawat yang tertembak hancur dan terjun payung ke desa kecil. Disana ia dikalahkan tentara Vietnam dan jadi tahanan perang.
Di dalam penjara yang tanpa jendela dan berdinding beton konkrit, bersama sepuluh militer Amerika lainnya, kakinya dipasung pada rantai besi dan disiksa setiap hari. Bahkan, agar tidak dijadikan propaganda oleh Vietnam ia harus menyayat kepalanya sendiri hingga wajahnya agar tidak dikenali sebagai jenderal kelas atas Amerika. Stockdale, tidak perlu bersikap optimis seperti yang lainnya, dan setelah tujuh setengah tahun kira-kira, ia bebas dari tahanan perang. Sayangnya, mereka yang selalu optimis dari awal akan bebas, ternyata kebanyakan tewas menelan kekecewaannya sendiri, tidak tahan dengan fakta brutal dan siksaan penjara Vietnam.
Jim C. Collins, seorang ekonom dan penulis buku Good to Great, menyebutnya Stockdale Paradox. Sifatnya yang kooperatif menghadapi apapun dan terus berfikir positif meski tidak perlu terlalu optimis, ingat, tidak terlalu optimis, ternyata menjadi daya tahan tersendiri yang sangat kuat. Sementara itu, teman-teman sang James Bond, sang optimis, yang selalu berkata bahwa mereka akan segera bebas saat natal. Namun natal pun tiba dan pergi, mereka belum juga bebas. Lalu mereka kembali berkata akan bebas saat hari paskah, paskah pun tiba dan pergi dan mereka masih dalam pejnara. Akhirnya mereka letih sendiri, kecewa sendiri, sakit hati, karena keoptimisan mereka sendiri dan harapan yang tak sesuai kenyataan.
“Anda tidak perlu merisaukan takdir yang akan anda menangkan di masa depan – yang mana anda tak mampu untuk kehilangan sesuatu – dengan penuh disiplin untuk menghadapi fakta paling brutal dalam realitas anda sekarang, apapun itu.” Ungkap Stockdale.
Intinya, tak perlu berharap dengan optimisme yang terlalu besar, cukup dengan kuat menahan fakta brutal atau kenyataan pahit dalam hidup kita sekarang dan bertahan sebaik mungkin.
Dan hubungannya dengan sikap yang perlu kita lakukan di tengah perubahan drastis yang di sebabkan oleh pandemi covid serta resesi ekonomi ini adalah sikap positif yang menyelamatkan sang jenderal tersebut, bukan sikap optimis. Kita tidak perlu optimis Covid akan hilang pada Juli atau Agustus, atau Desember. Kita tidak perlu terlalu optimis bahwa akan ada keajaiban agar Negara kita terhindar dari resesi. Cukup terima semua fakta brutal tersebut.
Sadari bahwa Covid akan tetap ada seperti halnya penyakit malaria, TBC, AIDS, dan lainnya. Ekonomi pun diperkirakan akan anjlok habis-habisan, yang menyebabkan usaha dan bisnis terganggu secara finansial. Pada akhirnya, perubahan memang terjadi di segala aspek kehidupan. Bertahan sebaik mungkin dan adaptasi secepat mungkin dengan new normal. Barangkali dengan itulah kita akan selamat dan masih bisa melihat masa depan.
Alif Rahman Hakim, S.Pd
(Dosen Ma’had Al-Jami’ah, penulis dan wirausahawan)