Siti Maswa, Sang Perempuan dengan Pen Besi yang Masih Menancap di Kaki

Siti Maswa, Sang Perempuan dengan Pen Besi yang Masih Menancap di Kaki

Di sebuah desa bernama Batu Putih, Kecamatan Pelawan, Kabupaten Sarolangun, tinggallah seorang ibu rumah tangga bernama Siti Maswa. Tidak viral, tidak trending, dan tidak cukup dramatis untuk masuk headline.

Tapi kisahnya adalah potret telanjang dari absurditas birokrasi dan janji-janji pelayanan kesehatan yang katanya “untuk semua”.

Dua tahun lalu, ibu Siti ditabrak mobil box saat mengendarai motor. Malang tak bisa ditolak, apalagi ketika hidup tidak menyediakan asuransi atau setoran rutin ke BPJS. Ya, ibu Siti memang tidak ikut BPJS. Bukan karena tidak mau sehat, tapi karena harus memilih antara setor premi atau beli beras.

Dan urus BPJS? Ah, itu cuma untuk yang lulus pelatihan ninja administrative, bukan untuk ibu rumah tangga yang hidup dari uang harian.

Masuk rumah sakit dengan status “non-BPJS” adalah seperti datang ke restoran mewah dengan dompet kosong, boleh duduk, tapi jangan berharap disuguhkan apa-apa. Kakinya dioperasi, dipasang pen besi. Seharusnya, setelah dua tahun, besi itu diangkat. Tapi, huh siapa peduli soal protokol medis ketika dompet tidak seirama dengan prosedur?

Empat kali Ibu Siti mencoba ke Rumah Sakit Umum Raden Mattaher milik Provinsi Jambi, dan EMPAT KALI DITOLAK. Alasannya? Surat rujukan kedaluwarsa, berkas kurang lengkap, atau mungkin hanya karena wajahnya tidak cukup familiar. Di negeri ini, ternyata lebih mudah mengakses subsidi jika kau punya koneksi daripada jika kau punya penyakit.

Kini, ibu Siti mencoba harapan baru ke Provinsi tetangga, Sumatera Selatan. Bukan karena ingin piknik, tapi karena putus asa di negeri sendiri.

Beruntung, masih ada manusia bernama Ahmad Sarwani, anggota DPRD Provinsi Jambi, yang tak hanya hadir saat pemilu, tapi juga datang langsung ke rumah Ibu Siti Maswa. Beliau memberikan bantuan dana dan berjanji akan terus mengawal proses pengobatan hingga sembuh. Setidaknya, di tengah sistem yang tumpul ke bawah tapi tajam ke atas, masih ada satu dua bilah yang memilih melawan arah.

Siti Maswa mungkin tak viral. Tapi kisahnya adalah cerita jutaan rakyat yang tak punya kuasa, yang sakit bukan karena tak berusaha sehat, tapi karena terlalu miskin untuk mendapat akses.

Selamat datang di negeri yang katanya beradab. Di mana pen bisa tertinggal dua tahun dalam tubuh seseorang, sementara prosedur bisa berjalan cepat asal kau bukan warga biasa.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

BacaanTerkini

Pen Besi di Kaki Ibu Siti, dan Besi Tumpul di Kepala Pejabat Negeri
Siti Maswa, Sang Perempuan dengan Pen ...
“Ijazah: Antara Tuhan, Toga, dan Tipu Daya”
“Ijazah: Antara Tuhan, Toga, dan Tipu ...
Socrates Naik Dompeng: Logika Liar di Negeri Izin Fiktif
Di tanah Merangin dan Sarolangun yang ...

KategoriBacaan

ProgramTerbaik

BacaanLainnya

"Wisudawan, Toga, Like, dan Cinta yang Tertinggal di Ruang Dosen"
Wisata Danau Sipin
Surat untuk Timnas Indonesia
Kenapa Cappadocia
3 Hari di Jakarta Serasa 3 Bulan
LITERASI LALU LINTAS BERLANJUT; “Bismillah Cinta”
Literasi Lalu Lintas
Solusi Melewati Penyekatan Tanpa Kartu Vaksin
Pernah Mabuk Kepayang?