Pemangsa Nurani Politik

PEMANGSA NURANI POLITIK

*Hermanto Harun, Lc., MHI, Ph.D

Membicarakan dinamika politik, agaknya selalu up to date, hangat dan mengasyikkan. Ini mengingat, isu politik seolah tidak lagi menjadi dominasi obrolan kaum elit, walaupun, pion catur politik tetap dikuasai dan masih dijarah oleh kaum elitis, penguasa dan politisi yang bergelimang di lingkungan kekuasaan. Walau demikian, arena politik tetap saja membius masyarakat awam, menghipnotis kesadaran tentang hak-hak primer mereka yang semakin hari terus mengalami pengikisan. Alam sadar rakyat seolah terlena oleh gempitanya reformasi, yang seakan menjanjikan terjadinya perubahan di segala level kehidupan dalam bernegara bangsa. Meskipun akhirnya, riuh demokrasi itu, sebagai buah tuntutan reformasi, acapkali menjadi simalakama, bahkan menjadi senjata yang memangsa  tuannya sendiri.

Memang, riuh reformasi yang bergaung semenjak lengsernya penguasa kakap dengan rezim Orde Baru-nya, patisipasi politik rakyat semakin mengetengah, jika dibandingkan dengan posisi marginal di saat Orba. Akan tetapi, cita-cita reformasi yang diharapkan mampu melahirkan kondisi yang lebih baik dan keluar dari belenggu kekuasaan otoriter, kini seolah-olah mati suri. Rezim kekuasaan hanya berganti baju, simbol dan performa. Sedangkan mental dan nurani penguasa bangsa tetap berkolaborasi, bermain mata dengan ketamakan dan hedenosme yang semakin picik. Agaknya, gelegar singkat pidato Bung Karno setelah mengucapkan proklamasi 1945 yang mengatakan; “sekarang tibalah saatnya kita benar-benar mengambil nasib bangsa sendiri dan nasib tanah air di dalam tangan kita sendiri” benar-benar belum terwujud. Atau, diartikan dengan sangat leiteral, bahwa benar-benar penguasa kita sendiri yang menggantikan negara kolonial, sehingga menjajah rakyat sendiri.

Betapa tidak, berbagai kejadian politik dalam tahun 1430-2009, menabur skeptisme dan ketidakpercayaan rakyat kepada penguasanya. Tragedi politik Jambi misalnya, dimana perseteruan yang terjadi antara penguasa, Gubernur vs Wali Kota dan Bupati, penarikan dukungan beberapa partai pendukung terhadap Wali Kota Jambi, bongkar pasang kepala dinas dengan tidak jelas standar kelaikannya. Kesemua itu memperlihatkan dengan sangat jelas, telah berlakunya arogansi kekuasaan. Dalam daramika politik ini, kekuasaan dipertontonkan sebagai alat untuk menindas, mengelabui sekaligus juga mengalih-fungsikan amanah jabatan itu sebagai otoritas kepentingan personal dan rezim. Sehingga pertarungan politik antara “rezim’ penguasa manjadi layar lebar yang disaksikan rakyat.

Disamping itu, pesta demokrasi dengan pemilihan wakil rakyat di legeslatif (DPRD Jambi) agaknya tersimpul dalam senyuman sinis. Impian perubahan, terutama di ranah kesejahteraan rakyat, hanya mimpi indah di saat kampanye laga para perebut kekuasaan. Semboyan “suara rakyat adalah suara tuhan” hanya ucapan klise yang tak ubahnya riuh pasar dagang kaki lima. Karena, setelah terpilih, para perenggut kekuasaan itu, tidak lagi sempat memikirkan konstituen pemilihnya, mengingat pengembalian modal asupan politik merasuki setiap napas kegelisahan. Sehingga, para penguasa yang mestinya tempat bernaung rakyat, mengatasnamakan wakil rakyat, bertukar jubah. Jas, dasi dan lambang kekuasaan yang biasa dipasang di samping dada mereka, menjadi elemen-elemen pongah yang sangat haus uang rakyat. Mereka tidak segan untuk berganti kendaraan mewah, berlagak kaum elitis yang menjarak dengan rakyat. Bahkan dunia glamour, yang berpindah tempat tidur di berbagai hotel, menjadi berita kebanggaan. Seoalah, dengan alibi pelatihan, rapat, studi banding dan peningkatan profesionalitas, merubah status harta kekayaan dan uang rakyat yang dititip dalam kas negara, menjadi halal seketika.

Partai yang berhasil meraup dominan suara rakyat, dijadikan karcis penukar kekuasaan. Partai yang semestinya diarahkan untuk menjadi mesin politik, penyalur aspirasi rakyat, disulap menjadi mesin uang pribadi-pribadi penggawanya. Ini tercermin dari deal-deal politik dalam Pilgub Jambi sekarang, dimana terjadinya buka-tutup pendaftaran bakal calon kontestan gubernnur Jambi mendatang.     

Rumus haram bagi pengurus rakyat dalam menilap uang negara hanya ada dalam narasi seremoni pidato keagmamaan. Tapi ketika sudah mengatur anggaran dan menentukan proyek pembangunan, seolah nurani halal nyaris terusir dari ruang empati kerakyatan. Ini disenyalir dengan gagalnya beberap proyek kakap, seperti rusaknya Jalan penghubug antar daerah dalam Provinsi Jambi, terbengkalainya Jembatan Batanghari II, dan sederet masalah korupsi yang memindahkan kehormatan wakil rakyat ke rumah bui.

Semua itu terjadi, kerena ketamakan telah menghegemoni nafsu, yang sealir dengan gaya parlente kemewahan penghuni kekuasaan. Jadinya, kekuasaan menjadi tempat menguras dan memeras rakyat. Kekuasaan tidak lagi dijadikan “kekuatan” dalam mensinergikan kebenaran. Tapi, kekuasaan menjadi gurita penumpuk kekayaan. Mestinya, kekuasaan merupakan kekuatan yang melindungi kebenaran, sehingga memproduksi keadilan. Dari itu, “jika kekuasaan yang tidak bergandeng kebenaran, maka menjadi kekuatan yang penuh kezaliman. Sedangkan kebenaran yang tidak diproyeksikan oleh kekuasaan, hanya menjadi slogan yang hampa keyakinan”.              

         Berbagai kisah dan rentetan peristiwa “miris” yang meretas di tahun 1430-2009, seakan signal dari potret tidak seiramanya kekuatan dan kebenaran itu. Sehingga adegan-adegan perilaku politisi, penegak hukum, para penguasa negeri ini sudah tidak lagi beranjak dari sensitifitas nurani. Jika demikian, akankah bangsa ini terjerembab ke dalam realitas daerah gagal? Sebagaimana menurut Rotberg dalam The New Nature of Nation-State Failure, menyebutkan, bahwa sindrom negara gagal, antara lain, berupa keamanan rakyat tidak bisa dijaga, korupsi merajalela, legitimasi penguasa yang kian terpuruk, ketidakberdayaan pemerintah dalam menghadapi masalah dalam negeri.

            Suatu kreteria yang tidak mudah untuk mengakui pengistilahan “negeri gagal” Rotberg di atas. Walaupun, untuk menafikan secara general tidak lah tepat. Karena berbagai tragedi politik daerah tahun 1430-2009 menjadi realita yang tengah bersaksi. Kejadian-kejadian politik yang berwujud tragis itu, akan menjadi abadi dalam memori rakyat. Segala peristiwa mengerikan dan menggelikan, yang terungkap dalam dramatika politisasi rakyat hendaknya segera diakhirkan. Kalau tidak, maka perjalanan sejarah tidak akan merubah cerita gmilang untuk masa depan.

Harus diakui, bahwa perjalanan roda politik kekuasaan 1430-2009 yang bernaung di bawah adagium demokrasi, masih menyisakan banyak catatan kealfaan. Catatan itu dinodai oleh ketidaksadaran penguasa dan rakyatnya sekaligus, terhadap tugas dan tujuan politik. Sehingga demokrasi yang menjadi mimbar ekspresi politik, semula diimpikan untuk menghadirkan keadilan dan kesejahteraan, ternyata hanya melahirkan pemangsa-pemangsa nurani politik itu sendiri. Nurani politik akhirnya terkalahkan oleh sikap opotunistik di medan laga demokrasi. Sehingga hamparan demokrasi berubah menjadi papan catur politisi dan dagelan penguasa dalam mengutak-atik kepentingan kesejahteraan rakyatnya.

Ala kulli hal, apapun kata dan kejadian masa lalu, semua itu telah menjadi milik sejarah masa silam. Segala prestasi masa lalu, adalah kreasi yang sepatutnya diperjuangkan. Adapun segala kegagalannya, harus dijadikan imunitas keinsyafan. Karena meratapi diary tragis masa silam, juga bukanlah sikap bijaksana, meningingat kejadian masa lampau adalah suatu yang sangat jauh dalam realitas kehidupan kekikinan. Akan tetapi, jadikan itu ibrah berharga, bahwa sejarah merupakan tempat berhubungnya masa lalu dengan masa kini. Maka siapa yang tidak memiliki masa silam, maka tentu tidak ada banginya masa sekarang.

Akhirnya, semangat tahun baru akan penuh nnilai jika berhijrah dari kejahatan menuju kebaikan. Berpindah dari lumur dosa menuju keinsyafan. Fal-tanzur nafsu ma qaddamat lighad, lihatlah masa lalu untuk tatapan kebaikan hari esok. Wallhu’alam.

Salam Kalam Literasi

Tulisan ini diambil dari Buku, “Pemangsa Nurani Politik”. Karya Hermanto Harun, Lc., MHI, Ph.D. rekan-rekan yang ingin mendapatkan buku ini disilahkan menghubungi admin.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

BacaanTerkini

Pen Besi di Kaki Ibu Siti, dan Besi Tumpul di Kepala Pejabat Negeri
Siti Maswa, Sang Perempuan dengan Pen ...
“Ijazah: Antara Tuhan, Toga, dan Tipu Daya”
“Ijazah: Antara Tuhan, Toga, dan Tipu ...
Socrates Naik Dompeng: Logika Liar di Negeri Izin Fiktif
Di tanah Merangin dan Sarolangun yang ...

KategoriBacaan

ProgramTerbaik

BacaanLainnya

“Ijazah: Antara Tuhan, Toga, dan Tipu Daya”
Dosen, Gelar, dan Makalah Copas: Komedi Tragis di Kampus Ilmu
"Wisudawan, Toga, Like, dan Cinta yang Tertinggal di Ruang Dosen"
Guratan Tak Terlihat di Balik Nilai
Proyek Historiografi DAHA
Pelatihan Literasi Digital di Desa Pematang Pauh 2024
Dari Jambi dan Kendari Menuju Kairo 2024
Persiapan Menuju Negeri Piramida 2025
Dari Jambi Menuju Kairo 2024
Menapaki Mimpi di Mesir dan Turki