Nafsi-Nafsi? Lebih baik begitu, daripada mengikuti aturan-aturan yang bikin geli

Nafsi-Nafsi? Lebih baik begitu, daripada mengikuti aturan-aturan yang bikin geli

Facebook
Twitter
WhatsApp
Telegram
Email
Print
Facebook
Twitter
WhatsApp
Telegram
Email
Print

Nafsi-Nafsi? Lebih baik begitu, daripada mengikuti aturan-aturan yang bikin geli

Nafsi-Nafsi? Lebih baik begitu, daripada mengikuti aturan-aturan yang bikin geli

*Fajri Al Mughni

Gambar pada cover tulisan ini aku ambil ketika dalam perjalanan hendak memancing di Mendalo. Ku ceritakan sedikit tentang susahnya mengabadikan moment penting ini.

Kemarin, 19 Desember 2020, sekira jam 14.30, aku berangkat menggunakan motor vario yang ku beli secara kredit pada tahun 2012. Dua tahun kemudian, 2014, motor itu lunas. Tapi ku “sekolahkan” lagi motor itu pada tahun 2015. Alhamdulilah dengan “sekolah”nya motor itu, ia mendapat beasiswa dari salah satu leasing di Kota Jambi. Uangnya ku pakai untuk menyelesaikan kuliah.

Motor itu dulu warnanya putih, sekarang berubah serupa warna hijau. Tampaknya ia menyesuaikan dengan seleraku yang suka warna hijau.

Sedang fokus menikmati perjalanan dan membayangkan ikan-ikan mas, nila dan patin yang tergoda melihat dan mencium aroma umpan pancing nanti, tiba-tiba ada mobil berwarna biru memotong dengan cepat, aku tidak terkejut, hanya cemas saja. Lalu, fokusku terpecah, bukan karena mobil itu memotong, tapi karena tulisan yang ada di bak belakangnya. “nafsi-nafsi”.

Wah, ku rasa sang sopir punya selera filsafat yang tinggi. Filsafat Individualisme. Mengalahkan para mahasiswa yang “cengeng” dengan filsafat. Dari atas motor, segera ku keluarkan HP dari kantong celana trening, susah mengeluarkannya, karena kantong celana treningku menggunakan ritsleting. Tapi karena tak mau melewatkan moment hebat ini, dengan hati-hati HP itu keluar dengan aman. Sambil menyetir, ku buka kunci HP, kamera, kemudian gas motor tambah kecepatan agar mobil tadi tidak hilang.

Setelah dirasa cukup dekat, kamera HP beraksi. Sumpah, aku tidak melihat ke layar HP, pokoknya jepret sajalah. Setelah berhasil menjepret, aku senang. Namun ternyata belum selesai, rupanya jepretan pertama posisi kamera masih setting selfie, hasilnya, kamera mengabadikan penampakan yang tak jelas.

Allahu robbi.. tak bakat jadi wartawan dan juru poto nih. Terpaksa ku jepret ulang. Atur kembali posisi kamera, dan tentunya masih sambil nge-gas. Alhamdulilah, kali ini aku berhasil. Minimal berhasil menjepret dengan posisi kamera sudah benar. Soal hasil jepretannya, nanti saja pas sampai ditempat mancing di cek lagi.

Hasilnya lumayan bagus, target poto terpenuhi. Tulisan “nafsi-nafsi” terlihat jelas dan mudah dibaca.

Nafsi-nafsi itu artinya “sendiri-sendiri”. Menurut kebanyakan orang, prinsip nafsi-nafsi tidak sesuai dengan banyak ajaran, termasuk Islam. Bahkan negara pun ikut-ikutan menggaungkan bahwa nafsi-nafsi itu tidak baik. Meskipun tidak sedikit oknum pemerintah justru mengajarkan dan memberi contoh bahwa nafsi-nafsi itu baik sekali. Buktinya, dana umat dikorupsi, makan sendiri. Moral rendah, etika bawah standar, pembual sosial, pembohong kelas lobster.

Tapi, aku salut dengan bang sopir tadi. Besar kemungkinan bahwa “nafsi-nafsi” yang ia maksudkan bukan soal kehidupan sosialnya di masyarakat, melainkan sebuah kritikan menukik terhadap beberapa kebijakan dan aturan dalam negera ini.

Masyarakat tidak boleh sakit. Kalau sakit, silahkan berhadapan dengan aturan. Petani boleh kaya, tapi syaratnya harus memonopoli segala usaha. Pejabat silahkan jujur, konsekuensinya harus siap berbenturan dengan aturan. Guru dituntut kreatif dan inovatif, tapi setelah dianggap kreatif, mentok lagi pada aturan main.

Jika begitu alur dan jalan ceritanya, maka aku sepakat dengan bang sopir tadi. Mari kita “Nafsi-nafsi”. “Nafsi-nafsi”nya Marthin Luther, Jhon Locke, Vottaire, Montesquieo, J.J Russeao, dan Immanuel Kant.

Salam kalam literasi

Ternyata, perjalanan dan proses memancing tidak boleh dianggap remeh.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

InstagramKLI

BacaanTerkini

"Wisudawan, Toga, Like, dan Cinta yang Tertinggal di Ruang Dosen"
"Wisudawan, Toga, Like, dan Cinta yang Tertinggal di Ruang Dosen"
Guratan Tak Terlihat di Balik Nilai
Guratan Tak Terlihat di Balik Nilai
Daha
Proyek Historiografi DAHA
Literasi Digital
Pelatihan Literasi Digital di Desa Pematang Pauh 2024

KategoriBacaan

ProgramTerbaik

BacaanLainnya

"Wisudawan, Toga, Like, dan Cinta yang Tertinggal di Ruang Dosen"
Guratan Tak Terlihat di Balik Nilai
Proyek Historiografi DAHA
Pelatihan Literasi Digital di Desa Pematang Pauh 2024
Dari Jambi dan Kendari Menuju Kairo 2024
Persiapan Menuju Negeri Piramida 2025