Muthola’ah merupakan rutinitas belajar para santri di luar jadwal belajar formalnya di dalam pesantren. Muthola’ah adalah kegiatan mendatangi para guru dalam rangka menimba ilmu darinya. Kegiatan ini tak terlalu banyak penggemarnya, selain karena jarak rumah guru dari As’ad lumayan jauh dan ditempuh dengan berjalan kaki, muthola’ah juga dilaksanakan pada waktu-waktu yang sering dianggap “sayang” oleh para santri jika digunakan untuk muthola’ah.
Ada tiga waktu jadwal muthola’ah.
Pertama: berangkatnya sebelum shalat subuh
kedua: pada hari minggu
dan ketiga: setelah shalat asar.
Bagi sebagian besar santri, di waktu subuh jangankan mau melangkah berangkat muthola’ah, bergerak menuju tempat whudu saja beratnya bukan main. Maka secara otomatis akan melewatkan pagi minggu yang menyenangkan, penuh kenangan, dan kesempatan melempar senyuman, lirikan mata serta trik-trik tebar pesona lainnya.
Sedangkan pada waktu setelah asar, adalah waktu favorit bagi santri untuk menikmati angin segar nuansa sore di seberang Kota Jambi. Apalagi jika air sungai Bantanghari sedang surut, aroma lumpurnya menembus paru-paru. Hampir semua santri laki-laki dan perempuan bangkit dari Asramanya pada waktu sore. Tak ada manusia yang bisa melihat betapa indahnya lingkungan Pondok Pesantren As’ad di sore hari, kecuali para santri.
Tiga waktu ini menjadi cobaan terberat santri dalam mengikuti muthola’ah. Wajar saja kalau hanya beberapa orang santri saja yang sanggup mengikuti proses pembelajaran dengan cara muthola’ah. Lantas apa motivasinya sehingga beberapa orang santri tersebut tetap mau pergi mutholaah?
Pertama: Karena Allah, dan berharap mendapat keberkahan ilmu yang bermanfaat.
Mereka rela mengorbankan indahnya waktu pagi minggu, dan meriahnya sore hari di lingkungan pesantren demi mengaharap keridhoan Allah dan mendapatkan ilmu yang bermanfaat. Rasa kantuk ketika sedang dalam proses muthola’ah juga tak kalah menyiksa mereka. Tak ada sertifikat sebagai tanda telah mengikuti muthola’ah, tak ada penghargaan dari pesantren, juga tak ada nilai tertulis yang diberikan oleh guru muthola’ah. Jadi, apa alasan mereka sehingga mereka mau berangkat muthola’ah? Ikhlas karena Allah ta’ala.
Kedua: sebagai tempat pelarian.
Ternyata tak semua santri yang mengikuti muthola’ah berniat murni 100% menimba ilmu. Namun ada beberapa orang santri yang menjadikan muthola’ah sebagai tempat pelarian. Lari dari apa? Lari dari indahnya waktu pagi? Di mana pada waktu itu semua santri bebas berteriak sekencang-kencangnya, bebas melirik-lirik kemana pun ia suka, bebas menikmati sarapan pagi tanpa dikejar-kejar oleh bel pertanda waktu masuk kelas? Atau lari dari romatisnya waktu sore dengan aroma lumpurnya yang khas? Bukan, jelas bukan itu alasan dari pelarian tersebut. Rahasia dibalik pelarian ini sebenarnya sudah pernah diteliti oleh para alumni yang lain, tapi mereka belum bisa memecahkan rahasia itu.
Hanya para pelaku pelarian tersebutlah yang bisa mengungkapkan rahasia besar dibalik pelarian itu. Mereka tahu betul alasan dari pelarian, antara mereka sudah saling memahami walaupun tak pernah mengungkapkan tujuan dari pelarian, raut kegembiraan dan rasa puas yang keluar dari wajah masing-masing pelaku sudah cukup untuk mengetahui bahwa mereka sebenarnya bersekongkol. Izin dari kegiatan muthola’ah tak pernah diumumkan secara formal, karena dengan tidak adanya larangan untuk mengikutinya berarti secara otomatis kegiatan tersebut menjadi legal.
Saya tak mau membuat para alumni lainnya penasaran, disini saya akan berusaha membuka rahasia besar dibalik pelarian beberapa orang santri yang memanfaatkan waktu muthola’ah. selama bertahun-bertahun saya menjaga rahasia ini. rahasia yang membebani jiwa raga saya. Sebelum rahasia pelarian ini saya bongkar, saya mau meminta maaf kepada semua rekan-rekan para pelaku pelarian 2004-2005. Saya tak akan menyebut nama-nama pelaku yang lainnya, yang pasti saya adalah salah satu dari anggotanya. Sebelum saya membongkar alasan dari pelarian, terlebih dahulu saya akan meyebutkan gelagat-gelagatnya.
- Rencana untuk ikut muthola’ah sudah diniatkan mulai dari malamnya
- Bangun sebelum subuh dengan penuh motivasi
- Dandanan berangkat muthola’ah seperti mau berangkat kondangan pengantin
- Sudah menyiapkan uang saku untuk sarapan pagi
- Terkadang salah bawa kitab dan lupa bawa alat tulis
- Pulang dari muthola’ah semangatnya bertambah 80 derajat
- Kitab didekap di dada, dan tidak bersampul (agar kelihatan kitabnya, bahkan ada yang membawanya dengan cara bagian dalam diperlihatkan)
Melihat dari beberapa gelagat ini, mungkin kawan-kawan sudah bisa membaca apa rahasia dibalik pelarian itu. Ternyata, para pelaku pelarian juga memiliki tujuan yang sama dengan sebagian besar santri lainnya yang memanfaatkan hari minggu sebagai hari “tebar pesona nasional”. Hanya saja, teknik yang mereka gunakan jauh lebih rumit dan sasaran terbar pesona mereka adalah para pentolan pengurus inti ISAPPA putri.
Pengurus ISAPPA adalah orang-orang terpilih, bukan hanya karena kemahiran mereka dalam menerima ilmu dari para guru, tapi juga karisma kepemimpinan mereka jelas terpancar sampai ke sudut-sudut kamar para santri. Artinya, dengan kondisi yang seperti ini, tidak mudah untuk menarik simpati mereka agar (minimal) menoleh dan sedikit memberikan senyumannya. Sudah banyak teori yang coba kami lakukan, namun belum membuahkan hasil.
Pengurus inti ISAPPA putri adalah orang-orang terdidik, maka cara untuk mendapatkan senyuman mereka harus dengan jalan yang mereka sukai. Muthola’ah adalah kegiatan hebat, untuk dapat mengikuti kegiatan ini hati kita harus terlebih dahulu memenangkan pertarungan dengan syetan. Maka apabila ada santri yang bisa mengikuti kegiatan ini bisa dipastikan akan mendapatkan sanjungan plus senyuman hangat dari para pengurus inti ISAPPA putri. Target tercapai. Jika senyuman dan respon sudah didapat, apa yang akan terjadi berikutnya pasti sangat menyenangkan.
NB: berkat pelatihan-pelatihan muthola’ah tersebut, terlepas dari seperti apa niatnya, alhamdulilah sampai sekarang kami masih terus bermuthola’ah.
Salam Kalam Literasi
Fajri Al Mughni
(Silaturrahmi Kaum Santri)