Menghardik Akal

Menghardik akal

Dalam tradisi keilmuwan Islam, bagaimana memahami wujud materi berupa fakta/realitas ataupun metafakta/sesuatu dibalik realita, yang kesemuanya itu hampir pasti tertuang dalam teks suci Alqur’an, tidak cukup mengandalkan akal (‘𝒂𝒒𝒍) semata. Wahyu (𝒏𝒂𝒒𝒍’) yang mewujud dalam pribadi dan prilaku Nabi yang kemudian disebut Hadits, adalah cara lain memahami fakta dan metafakta tersebut. Kenyataan inilah yang membuat penafsir wajib memiliki keduanya, kepemilikan yang kemudian menjadikan mereka tidak boleh menjumawa akal atau sebaliknya menjumawa wahyu.

Lalu, bagaimana dengan sementara kalangan yang sangat menghardik akal. Bagi mereka, akal itu tidak berguna, bahkan menyesatkan jika ikut dilibatkan dalam memahami teks kitab suci.

Apakah demikian?

Pertarungan mengenai apa lebih berguna antara akal dan wahyu bukan hal baru sesungguhnya. Ini barang lama. Barang antik!

Perlu dimengerti, segera setelah Nabi Saw. wafat, diakui atau tidak, akal kemudian memiliki peran yang sangat vital memahami apa yang dimaui teks, seolah mendapat ruang, akal berprilaku jumawa atas wahyu.

Begitulah, meluasnya daerah taklukan, berpencar dan menetapnya umat di daerah-daerah taklukan itu, banyaknya kebaruan-kebaruan yang belum pernah didapati ketika Nabi Saw. masih hidup, menyadarkan umat bahwa wahyu ternyata belum secara detail menjawab segala masalah yang ada.

Mari melihat fakta di masa awal-awal agama ini lahir.

Wafatnya Nabi mewariskan tugas berat buat Sahabat-sahabatnya. Abu Bakr r.a. yang didapuk penerus kepemimpinan menghadapi persoalan yang Nabi belum pernah contohkan bagaimana cara menyelesaikannya. Membukukan Alqur’an. Pembukuan ini tidak Nabi lakukan. Bagaimana Abu Bakr menyikapi ini, beliau kemudian memusyawarahkannya dengan Sahabat-sahabat yang lain. Kesimpulan pun terlahirkan; Alqur’an harus dibukukan karena khawatir tidak terjaga. Ingat baik-baik, tindakan Abu Bakr dengan Sahabat-sahabatnya itu adalah tindakan ‘𝒂𝒒𝒍𝒊𝒚𝒂𝒉, tindakan yang lahir karena prakarsa akal bukan prakarsa wahyu.

Abu Bakr r.a. wafat diganti Umar bin Khattab r.a.

Sama dengan pendahulunya, khalifah Umar juga mendapat persoalan yang Nabi tidak pernah contohkan cara penyelesaiannya. Shalat tarawih berjamaah dengan satu imam, begitulah masa itu, kebiasan umat bertarawih sendiri-sendiri dengan kelompok masing-masing, dirubah total atas prakarsa Umar. Lagi-lagi, tindakan beliau adalah ‘𝒂𝒒𝒍𝒊𝒚𝒂 bukan wahyu.

Ustman bin Affan r.a. lebih parah lagi, memerintahkan pembukuan Alqur’an dalam satu versi saja, versi lain harus dihilangkan, bahkan dalam riwayat lain dikatakan khalifah Ustman memerintahkan membakar versi yang tidak sesuai dengan keinginannya. Ini jelas-jelas tidak dilakukan Nabi, jelas, ini jelas-jelas tindakan ‘𝒂𝒒𝒍𝒊𝒚𝒂 dari sang khalifah bukan wahyu.

Berlanjut ke Ali bin Abi Thalib r.a. yang menginisiasi pemindahan Ibu kota ke Kufah, bukan lagi di Madinah. Kemudahan mengontrol umat yang sudah tersebar hingga ke teluk Persia adalah salah satu alasan mengapa khalifah Ali memindah ibu kotanya ke Kufah. Alasan yang sangat politis bukan. Ingat, lagi-lagi ini tindakan ‘𝒂𝒒𝒍𝒊𝒚𝒂 bukan wahyu.

Seterusnya, banyak kejadian yang menggambarkan peran penting akal dalam perkembangan agama ini.

Fakta bahwa wahyu tidak secara detail memberi penjelasan, adalah realitas yang tidak mungkin dinafikan. Sahabat, selanjutnya Tabi’in, Tabi’it tabi’in, 𝒔𝒂𝒍𝒂𝒇 𝒂𝒍-𝒔𝒂𝒍𝒆𝒉, ulama, hingga ahli ilmu yang sampai kepada kita saat ini berperan sebagai pengganti Nabi. Mulailah mereka ber𝒊𝒋𝒎𝒂’ mulailah mereka ber𝒒𝒊𝒚𝒂𝒔, mulailah mereka ber𝒎𝒂𝒔𝒂𝒍𝒊𝒉 𝒎𝒖𝒓𝒔𝒂𝒍𝒂𝒉, mulailah mereka ber𝒊𝒔𝒕𝒊𝒉𝒔𝒂𝒏 dan lain sebagainya, pada intinya mulailah mereka menjumawakan akal dari wahyu. Hal ini yang nampaknya tidak dimengerti kaum yang menghardik akal itu. Entahlah, tidak dimengerti atau memang sengaja tidak mau mengerti.

Terakhir, saya ingin bilang;

Tolong dicatat baik-baik,

Walau saya tidak setuju dengan para penghardik akal itu, namun perlu saya tegaskan, jika akal dan wahyu dipertarungkan dalam urusan menjamah Tuhan, maka saya sama sekali tidak menjagokan akal, sama sekali tidak. Tapi, kalau pertarungan itu dalam urusan selain Tuhan, maka porsi penjagoan saya kepada akal nampaknya akan lebih besar dibanding wahyu.

Kura-kura begitu!

Salam kalam literasi

J. Mohammad

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

BacaanTerkini

Pen Besi di Kaki Ibu Siti, dan Besi Tumpul di Kepala Pejabat Negeri
Siti Maswa, Sang Perempuan dengan Pen ...
“Ijazah: Antara Tuhan, Toga, dan Tipu Daya”
“Ijazah: Antara Tuhan, Toga, dan Tipu ...
Socrates Naik Dompeng: Logika Liar di Negeri Izin Fiktif
Di tanah Merangin dan Sarolangun yang ...

KategoriBacaan

ProgramTerbaik

BacaanLainnya

Socrates Naik Dompeng: Logika Liar di Negeri Izin Fiktif
Dosen, Gelar, dan Makalah Copas: Komedi Tragis di Kampus Ilmu
"Wisudawan, Toga, Like, dan Cinta yang Tertinggal di Ruang Dosen"
Guratan Tak Terlihat di Balik Nilai
Proyek Historiografi DAHA
Pelatihan Literasi Digital di Desa Pematang Pauh 2024
Dari Jambi dan Kendari Menuju Kairo 2024
Persiapan Menuju Negeri Piramida 2025