Mendidik Anak dengan Cinta

Mendidik Anak dengan Cinta

*Naja Muniroh

Kita memiliki tanggung-jawab terhadap anak, tapi kita tidak memiliki kemampuan untuk mengontrol hasilnya.

Nabi Ibrahim As tumbuh dalam lingkungan yang sangat tidak mendukung ketauhidan. Ayahnya bukan hanya menyembah berhala, tapi juga pembuatnya. Hidup dalam lingkungan itu, Nabi Ibrahim menjadi orang yang aneh sendiri. Ia dianggap sebagai anak pembangkang bagi lingkungannya dan tidak patuh kepada kepada orang tua, tapi ia tetap tumbuh menjadi seorang Nabi besar. Bahkan ia menjadi bapak bagi semua agama. Kita patut belajar banyak darinya.

Berbeda dengan kisah Nabi Yakub bin Ishak bin Ibrahim yang memiliki anak dengan tipikal dan akhlak yang berbeda. Sahabat-sahabat pembaca tentu familiar dengan kisah anak-anak Nabi Yakub? misalnya kisah Yusuf yang tega-teganya dijebloskan ke dalam sumur oleh saudara-saudaranya.

Kasus ini menjadi contoh, bahwa tidak selamanya kita bisa menyalahkan lingkungan yang buruk atau orang tua yang tidak mendukung atas buruknya nasib kita. Sekali lagi, bukan itu acuannya. Tapi jangan pula dengan alasan itu lantas kita abai dengan perkembangan anak. Lupa mendidiknya dan lupa memberikan tauladan kepadanya. Untuk itu, orang tua tetap harus maksimal dalam memberikan pendidikan kepada anak-anak. Terutama pendidikan yang berbasis cinta dan kasih sayang.  

Coba bayangkan, bagaimana mungkin anak yang memiliki ayah dan kakek seorang nabi pilihan Allah (Nabi ya, bukan lagi sekedar ulama atau dai) bisa memiliki sifat-sifat sejahat itu terhadap saudara mereka sendiri?

Kasus ini sangat unik kan? Mengapa Nabi Yakub bisa memiliki dua model tabiat anak seperti ini? Ada yang sholeh, seperti Nabi Yusuf dan si bungsu Bunyamin dan ada juga seperti saudaranya yang lain, yang memiliki tabiat tidak baik. Nabi Yusuf sejak kecil terpisah dari keluarganya dan hidup dalam lingkungan yang sederhana. Berbeda dengan saudaranya yang lain tinggal bersama ayahnya dalam lingkungan yang sangat relijius dan berkecukupan. Tapi hasilnya justru terbalik.

Belajar dari kisah ini, sebagai orang tua, kita bertanggung-jawab untuk membesarkan anak-anak, mendidiknya dengan disiplin ketat, hanya sampai umur tertentu, setelah itu mereka bertanggung-jawab terhadap diri mereka sendiri di hadapan Allah SWT. Namun, meskipun nanti mereka telah dewasa, tetaplah selalu menjadi contoh, panutan, dan tauladan dengan kasih, sayang dan penuh cinta

Salam kalam literasi

Perbanyak doa untuk ananda.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

BacaanTerkini

Pen Besi di Kaki Ibu Siti, dan Besi Tumpul di Kepala Pejabat Negeri
Siti Maswa, Sang Perempuan dengan Pen ...
“Ijazah: Antara Tuhan, Toga, dan Tipu Daya”
“Ijazah: Antara Tuhan, Toga, dan Tipu ...
Socrates Naik Dompeng: Logika Liar di Negeri Izin Fiktif
Di tanah Merangin dan Sarolangun yang ...

KategoriBacaan

ProgramTerbaik

BacaanLainnya

Socrates Naik Dompeng: Logika Liar di Negeri Izin Fiktif
"Wisudawan, Toga, Like, dan Cinta yang Tertinggal di Ruang Dosen"
Pelatihan Literasi Digital di Desa Pematang Pauh 2024
Manusia & Agama di Tahun Politik
Menapaki Mimpi di Mesir dan Turki
Pelepasan Calon Mahasiswa 2023
Bahas Kerjasama Studi Luar Negeri
Wisata Danau Sipin