Mafisy Mukh
*Hermanto Harun
Tiba-tiba akalku berfikir keras, tentang kondisi beberapa waktu belakangan ini yang seolah akal sehat nyaris tak berfungsi. Akal seolah tidak lagi digunakan selayaknya, yang berfungsi sebagai alat dimana nalar dapat terbangun sesuai alur konstruksinya.
Teringat ada sebuah film kartun Mesir, yang berjudul Mafisy Mukh dengan sutradara Mush Mush Affandy pada tahun 1939, dimana pada saat sebuah mobil berhenti di traffic Light, namun sebuah kendaraan di belakangnya membunyikan klakson agar kendaraan didepnanya jangan berhenti menghalangi laluan jalan.
Mafish Mukh, dalam bahasa keseharian masyarakat Mssir menggambarkan Ketiadaan otak berfungsi sesuai peruntukannya. Otak sebagai tempat tersembunyinya akal, tidak lagi menjadi tempat dimana pemikiran dan logika dibangun secara konstruktif, sebagai medium pencari sekaligus pembedah benar salah, namun lebih semata dijadikan alat alibi pembenaran terhadap peristiwa, agar sesuai syahwat yang diinginkan.
Keterfungsian akal menjadi sangat penting, bahkan dalam beban melaksanakan ajaran agama, akal menjadi variabel utama, apakah perintah pelaksana ajaran itu menajdi taklif bagi seorang muslim atau tidak. Maka tidak heran kemudian para ulama menjadikan akal sebagai syarat sah dan tidaknya suatu amal perbuatan. Akal juga kemudian berasimilasi dengan nurani dalam rangka membangun logika dalam mengais dimana titik kebenaran itu berada.
Wujud akal kemudian kemudian diberikan ruang untuk bekerja merdeka, agar hasil kreasi akal tersebut dapat berfikir secara objektif dalam lajurnya. Sebab, berfikir dala.m ruang merdeka akan melahirkan iman, keyakinan yang berikutnya membuahkan ketaatan dan kesetiaan. Sebaliknya, jika bekerja akal dalam posis tekanan, intimidasi dan keterpaksaan maka akan melahirkan kemunafikan yang berikutnya berbuah anggukan yang penuh kedutstaan. Dari sinilah mungkin ungkapan Najib Mahfuz, seorang ilmuan dan sastrawan Mesir pernah berucap, bahwa akal yang hidup akan mampu menghargai pemikiran, meskipun dalam posisi yang tidak mengimaninya.
Maka kerja akal tidak lahir dari ruang kosong, akan tetapi sesuatu yang mengitarinya memberi andil dalam penentuan hasil yang disimpulkan. Naguib Al Attas dalam buku Risalah Untuk Kaum Muslimin, memberikan simulasi kerja akal dapat menghasilkan keseimbangan. Menurut beliau, akal itu ibarat penglihatan yang diteruskan oleh dua bola mata, dimana tilikannya telah seimbang sehingga menjadi satu pandangan. Maka yang satu melihat yang zahir, dan satu lagi melihat yang bathin. Keseimbangan kedua ini mesti adanya, karena, jika tidak, maka pandangan ynag terlihat nanti seperti pandangan buta sebelah, atau pandangan juling yang keliru.
Ternyata, slogan latin yang selama ini selalu digaungkan, mens sano in corpore sano, di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang sehat, agaknya sepenuhnya tidak lagi tepat. Karena justru mereka yang selalu makan bergizi, belakangan nampak kesakitan jiwa, dan akalnya hanya berfungsi memenuhi alibi ruang syahwatnya. Mereka tak segan untuk mengketdilkan rival, bahkan rela menghalalkan darah hanya karena berbeda pandangan.
Slogan menjunjung demokrasi, tapi membumkan oposisi, mendengungkan toleransi namun memendam akut rasa benci bahkan kepada saudara sendiri, mengusung istilah wasatiyah, tapi alergi dengan syariah, mengumandangkan persatuan, tapi doyan memantik perpecahan. Inikah kontruksi pembangunan mental dengan menisbikan moral?
Entah lah, karena kebenaran yang semata beranjak dari akal senantiasa menafikan kata mutlak, karena kebenaran itu hanya berhak berada dalam klaim keakuan yang dikuatkan dengan otoritas kekuasaan. Jika demikian, maka benarlah ungkapan bijak, bahwa seseorang bisa jadi mampu membunuh keburukan, namun sangat sulit membunuh kebodohan.
Jika demikian, kejadian traffic Light di Mesir tadi, membenarkan bunyian klakson kendaraan di belakang, karena memang mafisy Mukh.. wallahualam.
Salam kalam literasi