Lahirnya Cahaya Kedua
Satu tahun setelah kepergian Manshur, Hj. Zainab masih terus terkenang senyumnya. Jika rindu, ia mengaji dan berdzikir sebanyak yang ia mampu. Rindu memang tidak terobati, tapi cukuplah Allah sebagai penenangnya. Setelah shalat ‘isya, dalam rindu dan dzikir, ia tertidur sambil masih memakai mukena dan memegang tasbih. Keesokan harinya ia merasa tidak enak badan. Dalam hatinya “ini mungkin kareno semalam tiduk terlalu larut”.
Dua hari berselang, badan Hj. Zainab makin lesu, selera makannya berkurang. Sambil mengaji ia berpikir dan menerka-nerka, “atau mungkin Allah kasih rezeki hamil?”. Kondisi ini tidak pernah ia beri tahu kepada suaminya. Tapi sekali lagi, guru Qadir bisa membaca itu.
“mak, besiaplah.. kito perikso ke Dokter”.
Hj. Zainab tersenyum, sambil berkata dalam hati “benar-benar suami idaman”. Setelah mendengar itu ia langsung bersiap, memakai kerudung panjang warna abu-abu, baju kurung panjang sampai ke tumit, warnanya juga serupa dengan kerudung.
Setelah mendengar beberapa keluhan, dokter langsung memeriksa. Tidak berapa lama, dokter berujar singkat, “alhamdulilah.. bu Hajah hamil”. Hj. Zainab tersenyum lebih lebar dari biasanya. Ia menoleh ke suaminya dan mendapat balasan senyum juga tak kalah lebar. Membayangkan ini, jelas sekali mereka berdua ingin saling bercerita. Hj. Zainab tak sabar, ia berterima kasih kepada dokter dan langsung mengajak suaminya pulang.
Ketika kepergian Manshur, Hj. Zainab dan guru Qadir tidak mampu menyembunyikan kesedihannya. Sama dengan itu, rasa bahagia diberikan rezeki lagi oleh Allah juga tak bisa mereka tahan. Hj. Zainab semakin rajin mengaji, membaca kitab-kitab fiqh milik suaminya dan kian khusu’ dalam beribadah. Munajatnya tak banyak, hanya minta diberikan kesehatan kepada suaminya, calon anaknya dan kelak lahir dengan selamat agar menjadi generasi ulama yang siap meneruskan perjuangan para pendahulu.
Guru Qadir pun begitu, kadang tidak sengaja menahan senyum sambil mengajar. Para guru tidak benar-benar tahu kebahagiaan apa yang sedang dirasa oleh kiyai mereka. Tapi paling tidak, kebahagiaan itu menular kesetiap ruangan di madrasah Nurul Iman dan As’ad.
Pada tanggal 8 Agustus 1940 tersebutlah kisah dan sekaligus hari bersejarah bagi masyarakat Seberang Kota Jambi karena seorang generasi penerus dakwah nabi, “sang cahaya ke dua” telah dilahirkan ke bumi para santri dari rahim seorang perempuan hebat yang penuh dengan kelembutan, ketentraman jiwa, kemantapan hati, ketegaran fisik, dan mental spiritual yang kuat. Perempuan itu bernama Hj. Zainab binti H. Thaher bin H. Saifuddin, ibunda dari sang cahaya.
Tepatnya, Sang cahaya kedua lahir di sebuah kampung bernama Ulu Gedong. Kampung yang dihuni oleh para alim ulama negeri Sepucuk Jambi Sembilan Lurah. Kala itu, alamnya menawarkan kesejukan hati, kedamaian pikiran, lambang ketentraman hidup serta nuansa Islam yang sangat kental. Semua masyarakatnya hidup sejahtera, saling berdampingan, ramah, seolah membujuk siapa saja yang berkunjung untuk menetap disana. Sungai Batanghari adalah sungai terpanjang di Sumatera yang menjadi daya tarik tak terbantahkan, rumah-rumah bersusun melambangkan harmoni keberagaman hidup dan desainnya mewakili kekuatan adat istiadat yang bersendikan syara’ dan kitabullah.
Sang cahaya ke dua dilahirkan secara normal dengan bantuan bidan. Proses operasi caesar belum sampai ke Ulu Gedong waktu itu, pun kalau ada selentingan kabar burung tentang itu, masyarakat tak meresponnya. Sepengetahuan saya, pada masa itu belum ada ibu-ibu yang melahirkan dengan cara caesar atau operasi.
Kelahiran generasi tersebut membawa asa bagi masyarakat, berita gembira bagi semua kaum cendikiawan, kebahagiaan yang tak terkira untuk semua pondok pesantren dan kehadirannya akan menjadi sinar bagi periode ke-emasan agama Islam di Seberang Kota Jambi.
Seorang lelaki kecil yang sangat tampan, kharismanya terpancar mendahului zaman, tangisnya membuat orang yang mendengar mendadak riang, bahkan bisa menyembuhkan segala kegusaran dan senyumnya dinanti oleh semua penduduk negeri.
Secara spesifik hidungnya bak sudut siku-siku ka’bah, alisnya tebal asli racikan Tuhan tanpa sulaman, pipinya memang bulat tapi jika dipandang berubah tirus, sorot matanya teduh, merangkul dan sangat bersahabat. Jika tertawa, matanya tinggal segaris. Bibirnya tipis laksana pinggiran bulan purnama, dagunya lancip seperti gumpalan awan kecil setelah hujan. Jika dipandang agak lama, para gadis dipastikan akan terpana bahkan alam pun memujinya.
Tak sabar ingin menyebutkan namanya, bergetar jari-jari ketika nama itu akan dituliskan, jantung pun berdegup kencang, habis air segelas namun dahaga makin menjadi, bahagia dan antusias menjadi satu, ingin saya jumpai sang ibu yang telah melahirkan, namun perjumpaan hanya bisa diwakilkan melalui do’a.
Dengan do’a itulah Allah memberi isyarat mengizinkan saya untuk menyebut dan menulis nama lelaki kecil yang baru saja dilahirkan itu, dia adalah Muhammad Nadjmi bin Abdul Qadir Jailani bin Ibrahim bin Abdul Majid bin Muhammad Yusuf bin Abid bin Jantan bergelar Sri Penghulu, “Sang Cahaya ke Dua”. Saat ini beliau lebih dikenal dengan sebutan “Guru Nadjmi”. Bayangkan, betapa berpengaruhnya nama itu, dengan menyebut dan menuliskannya saja, saya merasa seolah menjadi manusia paling bahagia di dunia.
Ulu Gedong adalah tempat kelahiran Nadjmi kecil. Bahagia sang abah karena Nadjmi lahir bak bintang yang turun ke dunia. Kelak akan melanjutkan dakwahnya.
“mak, abah ke madrasah dulu yo.. ucap guru Qadir kepada istrinya.
Hj. Zainab mencium tangan suaminya, sambil bicara dengan Nadjmi kecil, “abah nak ke madrasah, salam dulu..!”. Nadjmi mengarahkan tangan mungilnya untuk menyalami tangan abah. Guru Qadir menunda keberangkatannya beberapa saat. Mengambil Nadjmi dari pangkuan Hj. Zainab. Digendongnya, berjalan beberapa langkah keluar kamar sambil berbicara kepada Nadjmi kecil. Nadjmi seolah memahami bahasa abahnya, memerhatikan sorban, menatap mata, tersenyum tipis meyambut senyuman abahnya dan pandangannya bertahan beberapa detik ketika matanya tertuju pada jenggot abahnya yang ranum. Ingin hati menggendong lebih lama, tapi guru Qadir segera menyerahkan Nadjmi kepada Hj. Zainab, karena beliau harus cepat-cepat ke madrasah.
Salam Kalam Literasi
tulisan ini diambil dari buku “Nadjmi; Guru Sejari dan Politikus Hakiki”.
Fajri Al Mughni