Konco Tak Kasat Mata
Konco sekosku itu memang suka berkhayal ria. Aduh! Sebenarnya tak sudi aku panggil dia konco. Soalnya kudapati ia selalu mengaku- berfantasi dalam tulisan cerita aduhai tentang wanita sekelasnya di kampus. Maka aku jijik padanya. Tapi jangan salah, dia memang kecil, hitam, kerempeng, bermata minus, dan agak tak nyambung pula, tapi khayalannya itu bisa menembus dua alam. Bahkan kuntilanak pun berhati-hati dan jaga jarak supaya jangan masuk dalam pikirannya yang tidak senonoh itu.
“Gimana tulisanku?” tanyanya.
Ia memang menuangkan fantasinya dalam tulisan.
“Apik!” Jawabku berpura-pura menghibur.
Konco-ku itu agak kabur pandangannya. Pernah suatu malam saat mati lampu ia masuk ke kamar pembuangan atau bilik merenung kata orang negeri jiran, hendak membuang kotoran yang mengendap terlalu lama di ususnya.
Ah! Mengapa ia tidak membuang pikiran kotornya itu sekalian, benakku.
Jadilah pagi itu Bang Heri – juga teman sekosku – marah-marah seperti istri marah ke suami karena tak ada jatah gaji. “Pusing pala Barbie!” katanya. Ternyata memang pagi itu di kamar pembuangan ada banyak coklat berserakan, dan ternyata itu adalah isi usus Wibi – temanku yang suka berkhayal tak senonoh itu – selama seminggu tersimpan dan sembarang ia keluarkan karena matanya rabun. Pagi itu terpaksa bang Heri “ngamuk” pada Wibi. “Lain kali jangan berak sembarangan!” pekiknya.
Pernah pula Wibi tiba-tiba sore hari pulang membawa ikan patin cukup besar. Kira-kira sekilogram beratnya, dan itu cuma satu ekor ikan saja. “Kita makan ikan.” Katanya mengajak sambil basa-basi.
Aku melambaikan tangan memberi isyarat menolak. Lalu kulihat ia mengambil pisau di dapur dan membawa ikan itu ke belakang rumah. Ia mengiris si ikan tapi tidak sampai putus, yang membuat aku terbelalak adalah saat dia menjilati ikan itu mentah-mentah. “Hmmm. Hmmm. Srrppt.” Katanya keenakan. Aku mual!
Banyak juga hal lain yang membikin kepala “Barbie” makin pusing. Saban sore Wibi nongkrong di teras sambil melihat orang-orang lewat kulu-kilir. Mula-mula ia cuma melamun sendiri dan tenggelam dalam khayalnya, barangkali kalau ada wanita lewat ia bayangkan gadis itu mengendarai motor tanpa sehelai busana. Namun harapan pupus karena sore itu yang lewat lelaki semua. Wibi pun muntab. Wajahnya merah padam. Ia pun mulai berteriak-teriak.
“Jangan mata-matai aku, woi!”
begitu ia teriakkan kepada setiap lelaki yang lewat.
“Pergi kau dari sini! Berani kau? Sini biar aku tangani kau!” Ah. Kadang aku pun heran dengan pekikan Wibi, tadi minta pergi, eh tak lama dia bilang, sini!
Setidaknya meski suka marah-marah tidak jelas kepada lelaki yang lewat dia tak pernah marah padaku. Karena aku selalu jadi tempatnya untuk curhat perihal khayalan joroknya itu. Dan dalam hati aku tetap merasa jijik padanya.
Sering juga aku melihat Wibi bercakap-cakap ria dari jendela. Entah kepada siapa ia ngobrol. Awalnya kupikir itu teman atau tetangga yang suka berdiskusi tentang kebohaian wanita-wanita dalam khayalan mereka.
Ah, memang orang itu selalu cocok dengan orang lain yang sifatnya sama. Jadi, tak apalah mereka ber-konco ria, aku pun senang Wibi bisa berteman dengan orang lain selain aku. Daripada selalu memaki-maki dan mengutuki orang lewat karena hanya mereka bukan wanita.
Tetapi pernah, karna memang penasaran siapa konco Wibi itu, kulihat keluar jendela saat Wibi sedang asyik ngobrol dengannya. Aku agak heran karena tak ada sesiapapun di luar. Aku tak begitu memusingkan diri karena bisa jadi teman Wibi itu langsung pergi saat aku muncul. Bisa saja.
Mungkin esok kalau mereka kembali bergosip, akan aku lihat lagi.
Esoknya Wibi kembali berbicara dengan temannya itu, aku yang masih penasaran mencoba melihat lagi. Agak terkejut aku karena tidak menemukan siapa-siapa lagi. Tiba-tiba rasa jijik kepada Wibi berganti dengan rasa takut. Namun logikaku cepat menenangkan. Mungkin dia hanya berkhayal soal konco-nya itu? Bisa jadi, karena anak itu memang suka berkhayal tentang banyak hal. Aku pun mencoba maklum.
“Ngomong sama siapa, Bi?” Aku coba bertanya.
“Sama kawan, Bang.”
“Mana kawan kau?”
“Tadi ada Bang, sekarang dah pergi soalnya Abang datang.”
“Oh.” Aku mencoba tak terlalu peduli.
Aku semakin yakin itu teman imajinernya saja. Memang makin edan tu anak.
Berminggu kemudian aku semakin yakin bahwa teman Wibi dibalik jendela itu memang imajiner saja. Karena aku pun tak pernah melihat sosoknya, ya sudahlah, yang penting ia tak pernah menggangguku. Hanya kadang Bang Heri saja yang suka marah-marah perihal ulah Wibi itu. Anggot kos yang lain memang memilih acuh saja.
**
Suatu hari Wibi harus pulang kampung. Ayahnya meninggal. Innalillah, aku turut berduka-cita. Kini ia hampir dikatakan yatim piatu sejak ibunya pun tersandung kasus korupsi dan harus mendekap di kurungan. Kasihan. Ia pun tidak tinggal di rumah kos kami lagi sejak paman dan bibinya yang menanggung hidupnya sekarang.
Suatu sore menjelang malam aku sendiri di rumah kos yang cukup besar itu. Semua teman sekos sedang keluar dengan urusan mereka masing-masing. Karna mendengar azan, aku pun melaksanakan shalat maghrib di kamar depan yang kami jadikan perpustakaan. Semua pintu kukunci. Dari dapur belakang aku dengar suara klenting-klenting gelas, dan seseorang menutup pintu belakang. Ah, ternyata aku tidak sendirian.
Setelah shalat aku beranjak ke dapur hendak mengetahui siapa yang membuat minuman di belakang. Tapi aku setengah terkejut karena tiada sesiapapun di dapur itu. Wah, siapa yang menutup pintu dan memainkan gelas tadi? Aku mendadak merinding. Mungkinkah Darker, kucing kami? Ah entahlah. Bisa jadi.
Aku langsung menuju kamarku di lantai atas. Setelah isya aku dengar lagi suara gelas jatuh di bawah. Karena memang rumah kos aku kunci, maka tidak mungkin ada yang masuk. Aku masih berpikir bahwa itu si Darker yang mencari lauk-pauk karena Bang Heri hari itu tak memberinya makan.
“Darker, jangan main-main barang dapur!” Aku memekik memarahi Darker kucing kami.
Namun bulu kudukku semakin merinding, ternyata Darker sedang meringkuk tertidur di sampingku. Setan alas! Ternyata konco Wibi itu benar-benar nyata, dan memang tak kasat mata.
Salam Kalam Literasi
Penulis :
Alif Rahman Hakim,
Penggemar balap, suka bercoret-ria dalam tulisan, pengajar Bahasa Inggris, belum jadi suami apalagi seorang ayah.