Kedunguan dan Kekuasaan
* Hermanto Harun
Seorang Pimpinan Pondok Pesantren di Merangin, buya Abdul Kholik Saman mengirim PDF sebuah buku yang sangat menarik. Dari judulnya, sangat membuat penasaran tentang apa sebenarnya isi yang hendak dikupas. Buku berbahasa Arab ini berjudul al Ghaba al Siyasi “Kaifa Yashilu al Ghabiy Ila Kursiy al Hukm”. (Kebodohan Politik, Bagaimana Seorang yang Dungu Bisa Menduduki Kursi Kekuasaan).
Muhamed Tawfiq, penulis buku ini adalah seorang wartawan kawakan yang pernah mendapat penghargaan pada profesinya di Kairo. Buku ini diterbitkan ke empat kalinya di Kairo pada tahun 2013 dengan penerbit Dar el-Masry. Untuk di ketahui, Mesir termasuk negara yang sangat produktif dalam menerbitkan buku. Bahkan di zaman pemerintahan Husni Mubarak, ada banyak buku dari karya para ilmuan, baik klasik maupun modern dengan varian bidang keilmuan yang terbit atas subsidi pemerintah, sehingga harganya sangat terjangkau. Berikutnya dalam setiap tahun ada pameran buku dengan jutaan judul yang berasal dari banyak negara di dunia. Bahkan, Ma’ridh al-Kutub (pameran buku) seperti ini menjadi even nasional yang dikunjungi para turis dari manca negara.
Dalam satu bab dari buku ini, Muhamed Tawfiq menjelaskan bagaimana seorang yang dungu bisa menduduki kekuasaan. Menurutnya, setidaknya ada empat metoda dan cara yang masyhur dalam legenda sejarah yang dipakai si dungu dalam meraih kekuasaan:
Pertama, meraihnya dengan cara warisan, baik yang langsung (al-tawrits al-mubasyir) maupun tidak langsung (al-tawrits ghair al-mubasyir). Dalam pewarisan tidak langsung ini, para pembisik istana melihat bahwa kepentingan mereka tetap bisa eksis, jika yang meneruskan kekuasaan dari keturunan pihak yang sedang berkuasa. Sehingga mereka mengelabui rakyat dengan pencitraan dan manipulasi suara pemilu.
Kedua: melalui pangangkatan wakil, yang kemudian disiapkan untuk menjadi generasi penerus. Dengan selalu diciptakan sebagai pendamping yang cakap serta penuh ketulusan, yang pada akhirnya memungkinkan untuk mendapat simpati rakyat.
Ketiga: meraih kekuasaan ketika revolusi dan reformasi yang tidak jelas ujungnya. Terjadinnya banyak kekacauan dan ketidak jelasan nasib rakyat yang mengakibat prestasi dan depresi bagi banyak orang. Akhirnya, melahirkan sikap apatis terhadap keadaan sehingga masa bodoh terhadap siapa yang berkuasa, yang penting bisa bertahan hidup.
Keempat: kematian penguasa yang secara tiba tiba, dalam waktu yang sama belum ada kesepakatan tentang siapa sosok pengganti yang dianggap lebih layak. Kesempatan ini seringkali orang “dungu” terpilih. Karena dianggap mudah diatur dan bisa dimanfaatkan. Ketika jenis ini yang berkuasa, maka sangat sulit menurunkannya, karena dijaga oleh pembisik yang mengambil keuntungan atas kekuasaannya.
Buku yang setebal 142 halaman ini begitu menarik untuk dikaji dan didiskusikan. Walau penulis buku ini melihatnya dalam konteks Mesir, namun bisa jadi bahasan yang selaras dengan kondisi di berbagai negara, termasuk di Bumi Pertiwi.
Dalam pembukaan buku ini, penulisnya membahas tentang perundang-undangan yang tersedia seolah memelihara orang-orang yang lengah. Berikutnya, membahas tentang “turast kedunguan”, yang merujuk kepada fara’anah, “kepemimpinan Himar”, dan bagaimana peran pendidikan mencetak kedunguan.
Persoalan kedunguan ini memang menjadi persoalan dalam lintas zaman sejarah manusia. Kedunguan tidak hanya masalah bagi penderitanya, namun berdampak bagi peradaban bangsa. Karena, kedunguan akan mencetak mental budak, yang musykilah bagi terbangunnya keseimbangan peradaban. Dari itu, Ibnu Khaldun pernah berujar, “jika diberikan pilihan kepadaku antara lenyapnya pemimpin zalim atau lenyapnya manusia bermental budak, maka dengan tanpa ragu, aku akan memilih lenyapnya manusia bermental budak. Karena manusia-manusia bermental budak itulah yang membuat pemimpin zalim”. Wallahualam
Salam. Kalam literasi
Lorong KS, Alam Barajo, Kota Jambi 31-12.2020