Kawanku Sedang dalam Masalah dan Emaknya Meninggal Dunia
*Ahmad Fikri Syarif
Kami bertemu bertiga di waktu dini hari (15.12.2020) di salah satu Kedai Kopi di daerah Pasar Lama Bulian – lebih Populer saat ini – BBC, ceritanya menggetarkanku. Ditinggal Emaknya kembali ke Sang Pencipta. Tepatnya tahun ini, 2020.
Mengapa menjadi menggetarkan? Bukan saja karena ini cerita duka tentang peristiwa Emaknya yang meninggal dunia, tapi pula tentang ia yang merasa sangat bersalah dan bahkan “berdosa” dengan emaknya itu.
Singkatnya 8 bulan sebelum Emaknya meninggal dunia ia “kabur” dari rumah. Sanak keluarga taunya ia pergi untuk bekerja. Rupanya ia meninggalkan hutang yang tidak sedikit, perkiraan 50 Jutaan Rupiah.
Saat pihak penagih datang kerumah, disitulah Emaknya mulai tau ulahnya dan “shok”. Wajar, selama ini keluarganya tak pernah berurusan dengan hutang. Oleh karenanya, sedemikian rupa dan malu saat didatangi pihak penagih hutang kerumah. Emaknya mulai resah dan jelas panik, karena ia tidak bisa di hubungi sudah lebih dari 6 bulan.
Bisa dibayangkan betapa resahnya sang Emak. Kita bisa merasakan itu. Beberapa orang keluarganya mencoba menenangkan Emak, “Sudahlah mak, dak usah pikir lagi budak tuh”. Seorang Emak disuruh melupakan Anak?
Hati perempuan, Kawan. Rumusnya tak semudah itu. Buah hati yang dikandung, dilahirkan, disusui, dibesarkan, mengalir darahnya menjadi daging dan menjadi manusia dewasa. Jangankan tak ada kabar selama 6 bulan, satu malam saja tak ada kabar, seorang Emak bisa tak nyenyak tidur, tak selera makan. Entah masih hidup, berkalang tanah atau mungkin si anak di buang kelaut. Macam-macam kekatukan dalam otaknya. Lalu ia disuruh melupakan Anaknya?
Suatu malam, datanglah kabar yang ditunggu-tunggu Emaknya. Si anak memberi kabar lewat SMS, Emaknya tak punya nomor whatsapp. Dalam SMS itu ia memberi kabar bahwa ia baik-baik saja, sehat wal afiat dan sedang berada di Kota Jambi. Ia tidak menelpon, hanya SMS.
Bagi Emaknya, SMS itu bak tetesan air di tengah gurun sahara, sedikit tapi membawa asa. Sang Emak menangis, tapi bahagia. Hatinya memang “susah”, susah karena si anak dalam masalah. Tapi sementara waktu, Emak seolah melupakan itu, yang pentingnya anaknya masih hidup dan selamat.
Emaknya menjawab pesan, “Alhamdulilah, kapan kau balek nak”? SMS emak tak dibalasnya. Si anak menghilang lagi.
Dua bulan kemudian ia pulang, malam hari waktu Sahur. Belum sempat Sang Emak memeluknya, Ayah menghambur keluar, berputar-putar, “ngidar-ngidar”, geram hatinya ingin menampar, tapi ia tahan. Melihat itu, Emak membela, “ayah, dia memang salah, tapi dia anakku, anakmu.
Mungkin para pembaca merasa apa yang dilakukan ayahnya hal yang wajar, tapi pembelaan itu juga tak kalah wajarnya. Karena Emak akan selalu mendidik anaknya dengan kasih, sayang dan cinta. Meski memang, cinta yang tidak terkendalikan dengan baik pun bisa membuat pertengkaran.
Anaknya menjawab dengan nada setengah keras, “Aku cuma mau nengok . Kalau dak senang dengan aku, besok aku pegi lagi”. Emak sin tertekan batinnya. Iba hatinya. menangis.
Malam itu, anak dan ayah “terpaksa” damai. Damai oleh tangis emaknya. Tapi espk harinya, si anak tetap pada egonya, ia bersiap meninggalkan rumah lagi. Sang emak mencoba menahan, juga sambil menangis. “jangan pegi nak, tahan lah dulu sampai sudah lebaran. Kalau kau takut bertemu dengan penagih hutang, bersembunyilah kau di dalam rumah”. Waktu itu bulan Puasa.
Melihat air mata emaknya, ia tak jadi pergi lalu duduk di kursi teras, Emaknya ikut duduk di sampingnya. Tanpa ditanya, si anak bicara pada emaknya, “mak, sebenarnya aku sering lewat depan rumah, tengah malam. Pakai jaket dan penutup kepala, tapi takut balek mak, takut ayah marah”. Mendengar itu, tersenyum. Meski dalam hatinya merasa iba.
Aku yang mendengar cerita itu, teringat pulak pada kisah Laila dan Majnun. Majnun sering melintas depan rumah Laila. Baginya, melihat rumah Laila saja, sudah cukup. Walaupun setelah itu rindu bukannya terobati, malah sin menjadi-jadi. Agaknya begitu juga yang dirasakan oleh si anak. Melepas rindu pada , ayah dan keluarga.
Beberapa hari ia di rumah, Emaknya sakit dan dirujuk kerumah sakit. Lima hari di rumah sakit, si anaklah yang merawat Emaknya, tak pernah alfa sekalipun. Suasana menjadi lebih khidmat karna dalam masa Pandemi pengunjung di batasi – bahkan dilarang-larang dengan ragam macam alasan.
Di rumah sakit, Si anak tak hanya menemani, memberi makan dan minum, tapi juga memandikan, mencuci, mengganti pakaian, dan bahkan mencebok Emaknya. Hari kelima, ia dan keluarga merasa bahwa Emak besok mungkin sudah diizinkan pulang. Karena nampaknya, emak sudah mulai membaik dan sehat.
Menjelang sahur, emak memanggilnya dan meminta dibacakan yasin. Pada titik ini bertambah gemetarku mendengar ceritanya. Ia merasa tak pantas membaca Surah Yasin. Pikirnya, “terlalu banyak dosaku, Tuhan”. Karena takut dan merasa tak pantas, bukan tak bisa, ia menolak permintaan Emaknya itu. “iyo mak, dekat lagi waktu sahur, kito makan be dulu”. Pagi harinya, sekira jam 7, beberapa orang keluarga datang menjenguk, dan merekalah yang membacakan yasin.
Setelah membaca Surah Yasin, temanku itu melihat ada perubahan fisik pada Emaknya. Badannya dingin, warna kulitnya pucat, hatinya meraba dan menerka tanpa diarahkan. Terlintas ucapan dalam hati, “apo meninggal”?. Namun rasa itu ditepisnya, karena yakin bahwa emaknya mulai membaik dan akan sembuh. Bahkan pagi itu ia bersiap membawa Emaknya pulang. Azamnya, “setelah semua kejadian ini, aku akan berbakti kepada ”.
Pada saat itu, ia tak berani membangunkan emaknya. Ia menunggu sampai dokter datang. Setelah kira-kira satu jam-an, dokter datang dan langsung mengecek kondisi emaknya. Setelah dokter memeriksa, ia tidak bisa membaca wajah si dokter. Dokter itu tampak tenang, tapi keningnya berkerut, tarikan napasnya agak dalam sambil berjalan ke arah pintu ruangan tempat emaknya dirawat. Ia yang penasaran mengikuti dokter dan bertanya, “macamno aku dokter?”
Dokter menjawab singkat, “Innalillahi wa inna ilaihi rojiun, yang sabar ya, mu sudah meninggal”.
Katanya, sempat ingin marah kepada dokter itu. Tapi pihak keluarga menahan dan menyabarkannya. Akhirnya, temanku itu sadar bahwa emaknya telah meninggal.
Tak tentu arah dunia ini dimatanya. Ia tidak sempat membimbing Emaknya membaca kalimah-kalimah suci saat sakaratul Maut. Ia merasa dirinya tidak pantas, merasa dirinya kotor – berdosa. Ia menyesal, merasa bersalah.
Temanku bilang, emaknya pernah berpesan, ” dak pulak berharap kau nak jadi pegawai atau macamano, cuma ingin kau pakek sarung – pake Kopiah”. Aku rasa, maksudnya adalah shalat.
Saat bercerita kepadaku, matanya merah. Bukan karena lelah bekerja di kebun abangnya, tapi karena terkenang pesan emaknya. Aku yang tak pandai menyusun kalimat coba memberi semangat, “jangan sampai kesedihan dan perasaan bersalah membuat rusak iman dan akidahmu. Aku takut kau bunuh diri. Jangan sampai kawan”.
Usai bercerita, agak lebih lepas dan segar katanya. Ketika mendengarkan dia bercerita, kami sedang bertiga. Aku mendengarkan, sesekali bertanya. Temanku yang satu lagi bagian nasihat-nasihat bijak, menguatkan hatinya untuk tetap bertahan dalam kondisi seterpuruk apapun. Soal kelanjutan tentang hutang-hutangnya, tak ku lanjutkan di sini. Jika pembaca ingin tau, nanti kalau ada waktu ku ceritakan.
Allahhumma Fighrlaha Warhamha Wa’fuanha
Salam Kalam Literasi
Sridadi. 17 Des 2020. Waktu Dhuha