Kabut Asap dan Transit di Ancol
*Fajri Al Mughni
“Jangan bandingkan susahmu dengan kesusahan orang lain, tapi belajarlah bagaimana caranya agar kesusahan menjadi kesuksesan”. Guru Siroj
Pada tahun 1991 Pondok Pesantren As’ad kekurangan guru untuk mengajar kitab-kitab kuning. Guru Nadjmi sebagai Pimpinan As’ad meminta kepada Guru Siroj untuk mengajar disana.
“Guru Siroj ko bisonyo ngajar apo”? tanya Guru Nadjmi.
“kitab mano yang belum ado guru, insya Allah sayo biso ngajar’e”.
“Nah kalu macamtu, besok pagi mulailah ngajar, guru”. Pinta Guru Nadjmi.
***
Semenjak itu, Guru Siroj mulai aktif mengajar di dua lembaga formal Pesantren. Pertama di Pondok Pesantren Al-Jauharen, Tanjung Johor dan As’ad, Olak Kemang. Perjalan Sang Guru ke Al-Jauharen terbilang aman, karena memang tidak jauh dari tempat tinggalnya. Tapi rute perjalanan mengajar ke As’ad lumayan menguji adrenalin. Meskipun sebenarnya bagi Guru Siroj, hal itu merupakan rute yang biasa saja.
Pagi-pagi sekali Sang Guru sudah berangkat ke As’ad naik perahu ketek menyusuri sungai Batanghari. Rutenya tidak bisa langsung ke As’ad, tapi dari Tanjung Johor transit dulu di ancol, depan Rumah Dinas Gubernur sekarang. Kemudian perjalanan dilanjutkan lagi dan transit di pasar Angso Duo. Nah dari pasar Angso Duo barulah ke Seberang dan langsung ke As’ad. Tidak jarang juga, perjalanan ke As’ad ditempuh dengan berjalan kaki.
Pernah suatu ketika, Jambi dilanda kebakaran hebat, kabut asap menutupi pandangan. Kondisi itu menyebabkan para penambang perahu ketek tidak berani beroperasi. Ada beberapa penambang yang tetap memaksakan diri, perahu keteknya tersangkut di pasir dan napal batu Sungai Batanghari. Oleh karennya, Guru Siroj berangkat ke As’ad dengan berjalan kaki. Karena perjalanan dari Tanjung Johor ke As’ad lumayan jauh jika ditempuh dengan berjalan kaki, untuk memudahkan dan mantapnya perjalanan, beliau mengenakan celana panjang dan tidak berkain sarung. Orang-orang berkomentar dan bertanya, “guru kau ko?”
Pertanyaan ini tidak membutuhkan jawaban, karena sejatinya kalimat itu adalah bentuk kritikan. Dulu, seorang guru tidak memakai celana, tapi berkain sarung. Kata orang Seberang waktu itu, “kalu pakek celano tu, Belando”. Lengkap pula, Guru Siroj berambut panjang. Komentar masyarakat semakin jadi. Tapi bagi yang sudah mengenalnya, tak surut rasa hormat kepada Sang Guru.
Karena melihat suaminya pulang dalam keadaan basah oleh keringat, Ibu Nadia meminta Guru Siroj untuk membeli sepeda. Singkat kisah, Guru Siroj membeli sepeda, semangat dan motivasinya berangkat ke As’ad semakin tinggi. Tanjung Johor ke Olak Kemang, Sang Guru Standing and terbang. Tapi katanya, “hasilnyo samo bae dengan bejalan, samo-samo bepeluh jugo. Cuma agak cepat sampe”.
Sembilan tahun menjadi tenaga pengajar, sekira pada tahun 2001Guru Siroj dipinta oleh Guru Nadjmi untuk menjadi Pimpinan Asrama Pondok Pesantren As’ad menggantikan Guru Somad Mahfuz yang meninggal dunia. Awalnya Guru Siroj menolak, karena menurutnya, masih banyak guru-guru lain yang bisa menjadi Pimpinan Asrama. Salah satunya adalah Tuan Guru Ramzi Sulaiman.
Guru Ramzi dan Guru Siroj sama-sama memiliki kharisma seorang pemimpin dan sangat ditokohkan di Seberang Kota Jambi. Keduanya sama-sama menolak, bukan karena mereka tak sanggup menjadi Pimpinan Asrama, tapi karena begitulah ketawadhuan seorang ulama. Setelah melakukan rapat dan diskusi, akhirnya pihak yayasan bersepakat menunjuk Guru Siroj untuk menggantikan Guru Somad. Karena permintaan datang langsung dari Guru Nadjmi selaku Pimpinan Yayasan, Guru Siroj tidak bisa menolak. Amanah itu beliau terima.
“Jika dipercaya, amanahlah”. Guru Siroj
Salam. Kalam literasi
Tulisan ini diambil dari naskah buku, “KESEDERHANAAN GURU SIROJ; Nasihat dan Tunjuk Ajar KH. Ahmad Sirojuddin, HM.