“Ijazah: Antara Tuhan, Toga, dan Tipu Daya”

“Ijazah: Antara Tuhan, Toga, dan Tipu Daya”

Facebook
Twitter
WhatsApp
Telegram
Email
Print
Facebook
Twitter
WhatsApp
Telegram
Email
Print

“Ijazah: Antara Tuhan, Toga, dan Tipu Daya”

“Ijazah: Antara Tuhan, Toga, dan Tipu Daya”

(Menggambarkan absurditas simbolik ijazah dalam realitas sosial dan spiritual)

Apa itu ijazah? Sebuah tanda kelulusan? Atau alat legitimasi agar bisa bicara lebih keras dalam forum? Di kampus kita diajari teori, tentang kepemimpinan, tentang etika, tentang logika.

Lalu ketika lulus, kita malah disuruh tunduk pada relasi, pada kenalan bapak, pada “itu anaknya siapa?”. Gelar cuma jadi ornamen di undangan nikah dan biodata proposal beasiswa. Sisanya? Tertinggal di lemari, bersama toga yang tak lagi muat.

Pertanyaannya bukan “Apakah Jokowi punya ijazah?”, tapi “Apakah kita masih percaya ijazah adalah ukuran kemuliaan seseorang?” Plato menangis di langit ide. Sebab dalam dunia nyata, bukan siapa yang paling berilmu yang menang, tapi siapa yang paling tahu harus pura-pura tunduk di depan kekuasaan.

Sepertinya ijazah hanyalah simbol: seperti salib tanpa Yesus, bulan sabit tanpa Ramadan, dan bendera tanpa keadilan.

Mari kita ajukan pertanyaan ala Nietzsche: Apakah ijazah itu bentuk kehendak untuk berkuasa atau sekadar topeng moralitas akademik? Kita dibesarkan dalam sistem yang menyuruh kita kuliah agar “jadi orang”, padahal begitu lulus, kita disuruh ngalah sama anak pejabat. Di kampus diajarkan teori kontrak sosial ala Rousseau, tapi di dunia nyata kita malah tunduk pada kontrak sosial media.

Hannah Arendt barangkali tersenyum getir: kekuasaan bukan lagi hasil dari pikiran publik, tapi dari algoritma dan jaringan keluarga.

Bagi Karl Marx, ijazah adalah salah satu ilusi superstruktur, alat reproduksi kelas. Yang sekolah tinggi tetap kalah oleh yang sekolah bisnis ayahnya. Pendidikan tinggi hanya jadi formalitas, sebab di era kapital, ijazah bukan jaminan kemuliaan, tapi tiket masuk ke ruang tunggu pengangguran.

Jadi, apakah Jokowi punya ijazah? Mungkin iya, mungkin tidak. Tapi yang pasti, negeri ini sudah terlalu lama lulus dari logika dan terlalu betah tinggal di alam absurditas. Albert Camus pun barangkali menyerah, karena di negeri ini, yang masuk akal justru yang tak masuk akal.

Oleh karenanya, mari kita akhiri dengan minum pil pahit; pil yang bernama subjektivitas, arogansi, gelar formalitas, lobi lobi tanpa henti, mejilat sana sini, sambil membaca buku Karen Amstrong berjudul “Sejarah Tuhan”.

Fajri Al Mughni

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

InstagramKLI

BacaanTerkini

“Ijazah: Antara Tuhan, Toga, dan Tipu Daya”
“Ijazah: Antara Tuhan, Toga, dan Tipu Daya”
Socrates Naik Dompeng: Logika Liar di Negeri Izin Fiktif
Socrates Naik Dompeng: Logika Liar di Negeri Izin Fiktif
Dosen, Gelar, dan Makalah Copas: Komedi Tragis di Kampus Ilmu
Dosen, Gelar, dan Makalah Copas: Komedi Tragis di Kampus Ilmu
"Wisudawan, Toga, Like, dan Cinta yang Tertinggal di Ruang Dosen"
"Wisudawan, Toga, Like, dan Cinta yang Tertinggal di Ruang Dosen"

KategoriBacaan

ProgramTerbaik

BacaanLainnya

"Wisudawan, Toga, Like, dan Cinta yang Tertinggal di Ruang Dosen"
Pelatihan Literasi Digital di Desa Pematang Pauh 2024
Menapaki Mimpi di Mesir dan Turki
Pelepasan Calon Mahasiswa 2023
Bahas Kerjasama Studi Luar Negeri
Surat untuk Timnas Indonesia
Kenapa Cappadocia
3 Hari di Jakarta Serasa 3 Bulan
Belajar Berjuang Dari Drs. H. Hasan