*Fajri Al Mughni
“Kami dulu dak sepermainan, bang Nadjmi main dengan kawan-kawannyo yang laki-laki, kami main dengan sesamo kawan perempuan”. “Mak Ngah Chodijah mengawali kisahnya.
Kita tahu, dulu orang-orang Jambi sangat menjunjung tinggi adat istiadat. Khususnya di Seberang. “Anak jantan dak boleh main dengan anak betino”. Kira-kira begitulah pesan dari orang tua. Hari ini, di Seberang masih ada budaya ini, tapi tak banyak. Apalagi di kota Jambi, sudah tidak jelas lagi mana tempat bermain anak laki-laki, dan mana tempat anak-anak perempuan. Bukan itu saja, bahkan terkadang saya bingung mana lelaki dan mana perempuan.
Bu Chadijah melanjutkan kisah;
“Dari dulu abang Nadjmi sudah sibuk dengan urusannyo. Tapi diok merupakan abang yang sangat perhatian dengan adik-adik dan keluargo. Sebenarnyo kami punyo abang yang paling tuo, namonyo Muhammad Manshur, di atasnyo bang Nadjmi. Tapi kami dak pernah ketemu apalogi bermain. Kareno bang Mansur lebih dulu menghadap Allah. Jadi, yang kami tau sekarang bang Nadjmilah abang yang paling tuo”.
“Sebentar Fajri yo, lupo buatkan aek minum”. Bu Chadijah menghentikan kisahnya dan berjalan pelan sambil memegang kakinya. Nampak ia kesusahan berjalan. Saya jawab, “dak usah buat aek mak, dak apo-apo”. Tapi ia tetap berjalan ke dapur sambil bicara, “ah dak apo-apo, buat aek teh bae”. Ingin rasanya menyusul dan mengambilnya sendiri, tapi takut tak sopan.
Bu Chadijah kembali dengan membawa segelas teh dan sepiring buah duku. Sambil meletakkan itu dan kembali duduk di kursi ia melanjutkan;
“Pas di atas sayo, ado namonyo bang Muhammad Hasan. Sayo dengan Bang Hasan sangat dekat, apalogi semenjak beliau menikah dan punyo anak. Anak-anak bang Hasan memanggil sayo, “Mek Ngah”. Maksudnyo “Emak Ngah”. “Ngah” itu kareno sayo anak paling tengah. Di atas ado tigo abang, Muhammad Mansur, Muhammad Nadjmi, Muhammad Hasan, dan ke bawah ado duo adik. Nafisah dan sikok lagi sayo lupo namonyo. Kareno dio meninggal sejak masih dalam kandungan, ketiko lahir sudah meninggal”.
“Waktu itu, Bang Hasan sebagai pimpinan Yayasan menggantikan abah, suami sayo, guru Somad, sebagai mudir asrama. Kedekatan kami dengan bang Hasan bukan hanya kareno hubungan keluargo, tapi jugo dalam hal pekerjaan. Sewaktu bang Hasan sakit dan harus dirawat di Jakarta, selamo tigo bulan disano, anak-anak bang Hasan tinggal dengan kami. Sayo benar-benar menjadi ibu bagi mereka. Ibu Badriah, istri dari bang Hasan, biso mengurusi suaminyo dengan khusu’, tanpa ragu dan cemas, kareno anak-anak nyaman tinggal dengan kami. Kami berbagi tugas, bang Nadjmi ngawani bang Hasan di Jakarta, sayo yang menjago anak-anaknyo di Jambi”.
Bu Chadijah berhenti sebentar, kemudian bertanya; “Fajri lah berapo orang anak?”, saya langsung menjawab senang, “alhamdulilah sudah duo orang mak, perempuan keduonyo”. Beliau ikut mengucap syukur, “alhamdulilah.. tambah lagi”. Saya tersenyum.
Kemudian beliau melanjutkan lagi;
“Bukan hanya anak-anak bang Hasan yang dekat dengan sayo, tapi anak bang Nadjmi jugo. Dulu pernah bang Nadjmi kami pinta untuk pindah ke Jogja dengan maksud agar beliau bisa beristirahat dari aktivitas-aktivitasnyo yang sangat padat di Jambi. Tigo bulan di Jogja, anak-anaknyo ikut semua. Dengan pindahnya bang Nadjmi ke Jogja untuk sementaro waktu, membuat sayo harus berpisah dengan Muhammad Kamal. Anak bang Nadjmi paling tuo. Selamo tigo bulan itu, setiap malam sayo nangis sambil memandangi poto Kamal, rindu nian. Kata bang Nadjmi, disano Kamal juga terus manggil-manggil Mek Ngah. Kamal punyo duo emak, pertamo adalah bu Ulya, dan sayo emaknyo yang keduo. “Mek Ngah Chodijah”. Sampai sekarang, Kamal sangat dengat dengan sayo”.
“Tahun 1984 Bang Hasan lebih dulu meninggal diusianyo yang masih mudo, 40 tahun. Setelah sayo pikir-pikir, selain memang ajalnyo, dari keturunan, datuk dan paman-paman kami jugo meninggal di usia yang masih mudo. Sekarang tinggal sayo dan bang Nadjmi. Bang Nadjmi sudah hampir 80 tahun, sayo hampir 70 tahun”.
“Eh diminum Fajri tehnyo”, suruh Bu Chodijah. Saya sedikit terkejut, karena memang sedang asik mendengarkan kisahnya. Sejak teh itu diletakkan, belum berani saya meminumnya, takut mengganggu fokus noltalgia bu Chadijah. Karena perintah tadi, saya langsung mengambil teh dan meminumnya, hampir habis. Bu Chadijah yang berkisah, saya yang haus.
“Itu Dukunyo dimakan, dakdo makanan lain Fajri, duku tulah yang ado”. Tambahnya lagi. Langsung tanganku mengarah ke piring yang berisi buah duku mengambil yang ukurannya agak beda dengan kawan-kawannya yang lain, “agak besar buahnya”. Sebenarnya mata saya dari tadi tertuju kesitu, jadi tak susah lagi memilih buah mana yang paling besar. “enak mak dukunyo, manis”. Saya tidak tau lagi harus berbasa-basi seperti apa. Menurutku, kalimat itulah yang paling tepat. Bu Chadijah tersenyum, sambil sesekali memijat pahanya. Saya perhatikan ia nampak menahan sakit.
Sambil memijat pahanya, dan membetulkan posisi duduk, ia melanjutkan cerita;
“Puluhan tahun berlalu, sayo terkadang masih dianggap anak kecil oleh bang Nadjmi. Buktinyo, sampai sekarang masih sering di ajak jalan-jalan. ini sebentar lagi bujang datang, disuruh bang Nadjmi jemput sayo. Sayo dak pernah betanyo nak diajak pegi kemano, kareno bukan itu intinyo. Sayo paham nian, bahwo itu merupakan bentuk kasih sayang seorang abang yang tak akan pernah habis, meski zaman mulai menua”. Hhhh… Ia menarik nafas panjang. Ingin rasanya saya sudahi obrolan, tapi beliau masih semangat membagikan kisah.
“Bang Nadjmi adalah manusia hebat, Fajri. Dari dulu sampai sekarang, selalu sibuk. Tapi dalam kesibukan itu, dak pernah lupo dengan keluargo. Sekarang beliau sakit, kakinyo. Tapi terus ingin berjalan, walaupun pake kursi roda. Katonyo, biak selalu sehat dan tidak mudah lupo”. Bu Chadijah tersenyum, saya pun ikut mengimbangi.
“Beberapo minggu yang lalu, kami berangkat ke Malaysia untuk memeriksokan kondisi kaki bang Nadjmi. Kato orang rumah sakit disano, abang harus dirawat dan melakukan beberapa terapi untuk menyembuhkan kakinyo. Kareno kalau operasi dak memungkin lagi, dengan alasan beliau sudah berumur. Takut terjadi apo-apo. Kami adik beradik, anak-anak dan cucu khawatir mendengar itu. Tapi beliau santai, katanyo dak apo-apo, yang penting biso sembuh dan kembali beraktivitas seperti biaso”.
“Semangatnyo untuk sembuh sangat tinggi. Sekitar satu bulan di sano, dokter mengabarkan bahwo kondisi kakinyo membaik. Insya Allah sekitar satu bulan lagi terapi, kaki beliau biso sembuh. Tadinyo beliau setuju untuk dirawat lagi selamo satu bulan, tapi kemudian berubah pikiran. Katanyo, ageklah balek lagi ke sini, kito balek be dulu ke Jambi. Setelah kami tanyo, ngapo dak sekalian be berobatnya bang?. Beliau menjawab, sebentar lagi bulan puaso, sayo nak puaso, sahur dan bebuko dengan keluargo. Mendengar itu, sayo hampir nangis, Fajri”. Sambil tangan bu Chadijah mengusap matanya dengan ujung jilbab.
“Akhirnyo, kami balek ke Jambi. Sampai di Jambi, itulah tengok, setiap hari bang Nadjmi ngajak kami jalan-jalan dan beraktivitas. Itu jugo bagian dari terapi yang disarankan oleh dokter disano. Kami tak henti-hentinya terus bersyukur memiliki keluarga ini, alhamdulilah”. Apolagi memiliki abang, abah dan datuk seperti Muhammad Nadjmi Qadir. Beliaulah andalan kami”. Bu Chadijah menutup kisahnya. Saya yang terbawa suasana, hampir juga menangis. Tapi saya tahan, karena pasti tak enak makan duku sambil menangis, atau menangis sambil makan duku. Setelah mendengarkan banyak kisah dari bu Chadijah, saya izin pulang. Sebelum pamit, beliau mengabarkan bahwa hari jum’at besok anaknya akan melangsungkan akad nikah, hari minggunya resepsi. “sekalianlah sayo ngundang Fajri untuk datang yo..”. saya menjawabnya, “baik mak, Insya Allah datang”.
Salam Kalam Literasi
Tulisan ini diambil dari buku Nadjmi Guru Sejati dan Politikus Hakiki