Hari Pertama Anak Ayah Pergi Sekolah

Hari Pertama Anak Ayah Pergi Sekolah

Facebook
Twitter
WhatsApp
Telegram
Email
Print
Facebook
Twitter
WhatsApp
Telegram
Email
Print

Hari Pertama Anak Ayah Pergi Sekolah

Hari Ini Naya Pergi Sekolah

Kata bundanya di sekolah jadwal masuknya bergantian. Satu guru dua anak. Maka, bismillah. Saya antar Naya pergi sekolah. Sekolah TK.

Saya dulu tidak pernah sekolah TK, karena selalu diajak almarhumah ibuk ikut pergi sekolah. Almarhumah guru SD.

Tapi sorenya saya diantar ngaji di madrasah. Kepala madrasahnya pak Daulay, da’i kondang di Tebo. Waktu itu madrasah masih numpang di kantor camat Pulau Temiang.

Hari pertama ngaji di madrasah, almarhumah ibuk telah memberi pelajaran paling mahal dalam sejarah hidup saya. Pulangnya tidak dijemput. Sampai dirumah, saya mengamuk sambil nangis. Protes kenapa tidak dijemput.

Tapi ternyata setelah beberapa minggu, kok saya jadi senang pulang sendiri. Berjalan kaki dari kantor camat kerumah kira-kira 45 menitlah. Lumayan juga.

Apa mungkin sore ini Naya saya biarkan pulang sendiri?

Sepertinya berat. Naya lahir dan tinggal di Kota. Yaa meskipun Kota Jambi tidak benar-benar persis dengan Kota-kota lainnya, tapi lalu lalang kendaraan mulai bejibun. Bisa jadi 100 tahun lagi Kota Jambi berubah metropolitan.

Untuk itu, tidak hanya jemput, tapi Naya saya tunggui. Saya menunggu di warung kopi depan sekolah. Kopinya memang standar, tapi nuansanya mendukung untuk sambil-sambil menulis ini. Sesekali membalas WA.

Beberapa orang tua khawatir masa depan anaknya. Alasannya sederhana, karena dunia hari ini berbeda dengan masa orang tua zaman dahulu.

Saya sempat terpancing dengan rasa khawatir itu, tapi alhamdulilah segera saya netralisir kekhawatiran itu dengan cara banyak bertanya dan mendatangi para guru di Seberang Kota. Sungguh nasihat mereka menentramkan. Saya tidak jadi khawatir.

Salah satu nasihat itu, “jika kau seorang guru, anggaplah muridmu sebagai anak kandung. Dan anak kandungmu, harus kau anggap sebagai murid”.

Kira-kira begini maksudnya; agar para murid merasakan kedekatan emosional. Dengan begitu, semua ilmu yang kau sampaikan akan meresap ke sanubarinya. Terhadap anakmu sendiri, ia adalah muridmu. Agar ilmu yang disampaikan tidak bercampur dengan rasa kasihan. Didiklah ia.

Kata Naya, “Ayah tunggu Naya yoo”.

Iyo nak, ayah nunggu sambil ngopi di seberang jalan.

Jambi, 22 Juli 2020

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

InstagramKLI

BacaanTerkini

Dosen, Gelar, dan Makalah Copas: Komedi Tragis di Kampus Ilmu
Dosen, Gelar, dan Makalah Copas: Komedi Tragis di Kampus Ilmu
"Wisudawan, Toga, Like, dan Cinta yang Tertinggal di Ruang Dosen"
"Wisudawan, Toga, Like, dan Cinta yang Tertinggal di Ruang Dosen"
Guratan Tak Terlihat di Balik Nilai
Guratan Tak Terlihat di Balik Nilai
Daha
Proyek Historiografi DAHA

KategoriBacaan

ProgramTerbaik

BacaanLainnya

"Wisudawan, Toga, Like, dan Cinta yang Tertinggal di Ruang Dosen"
Pelatihan Literasi Digital di Desa Pematang Pauh 2024
Manusia & Agama di Tahun Politik
Menapaki Mimpi di Mesir dan Turki
Pelepasan Calon Mahasiswa 2023
Bahas Kerjasama Studi Luar Negeri
Wisata Danau Sipin
Surat untuk Timnas Indonesia
Kenapa Cappadocia
3 Hari di Jakarta Serasa 3 Bulan