Guru Jamel – Tuan Guru Haji Muhammad Jamil Nurdin
Al-Marhum Tuan Guru Haji Muhammmad Jamil Nurdin, atau yang biasa dipanggil Guru Jamel adalah salah seorang guru terbaik di Pondok Pesantren As’ad Jambi. Beliau adalah salah seorang murid Al-Marhum Tuan Guru Haji Abdul Qadir bin Haji Ibrahim, pendiri pondok pesantren As’ad. Pada tulisan kali ini saya tidak akan menceritakan terperinci perjalanan hidup beliau sebagai ahli ilmu. Namun, dalam tulisan yang singkat ini saya akan sedikit mengenang semasa saya dan teman-teman belajar dan mengaji dengan beliau.
Semasa kami di Pondok Pesantren As’ad dulu kegiatan belajar yang diatur oleh pihak pondok terbagi dua, pertama adalah sekolah pagi, di mana kami bersekolah seperti pelajar pada umumnya dan mendapatkan ijazah negeri. Namun, kami juga mendapatkan beberapa mata pelajaran khusus pondok.
Kedua adalah belajar pondok. Kami mengaji kitab-kitab kuning, di waktu siang, sore, malam dan subuh. Namun masih ada satu lagi cara kami belajar yang tidak di atur oleh Pondok, yaitu ngaji di rumah guru atau lebih kami kenal dengan sebutan muthala’ah (مطالعة).
Apa itu muthala’ah? Kami mencari waktu senggang, lalu kami menemui para guru di rumah-rumah mereka untuk mengaji dan menamatkan kitab-kitab yang nyaris tidak tamat di sekolah maupun di pondok, sehingga akhirnya banyak kitab yang kami khatamkan bersama para guru-guru ini. Pada masa itu, di antara guru yang kami datangi adalah: Guru Ali Tanjung Pasir di Surau dekat Jembatan, Guru Siroj yang saat itu beliau tinggal di lingkungan pondok, karena memang beliau Pimpinan Asrama kala itu, Guru Tayib di Ulu Gedung, Guru Nashir, dan tentu saja Al-Marhum Guru Jamel.
Tentang Guru Jamel, bisa dikatakan beliau adalah sosok yang pendiam dan tenang. Namun di balik itu tersimpan luasnya ilmu pengetahuan dan tersimpan banyak cerita menyeramkan para santri yang pernah duduk di kelas yang beliau ajarkan.
Tentang luasnya ilmu beliau, karena memang seorang guru mesti memiliki ilmu yang banyak. Apalagi kita tahu dalam kitab ta’lim Al-Muta’allim kealiman seorang guru adalah kriteria pertama dari tiga kriteria guru pilihan yang ditawarkan oleh Syeikh Al-Zarnuji. Dan memang ketiga kriteria itu ada pada diri beliau. Sehingga guru yang memiliki ketiga kriteria tersebut adalah guru yang paling layak dilazimi majelisnya.
Kami rutin mengaji di rumah beliau dua kali dalam sepekan, sore sabtu dan sore ahad. Biasanya kami berangkat sebelum asar, lalu shalat di mushalla dekat rumah beliau. Keadaan belajar di rumah tidak terlalu berbeda dengan suasana di kelas, beliau senantiasa tenang dan tidak banyak bicara. Dari awal pengajian hingga selesai, selalu dipenuhi dengan ilmu, kata demi kata beliau baca, beliau terjemahkan dan beliau jelaskan kepada kami para muridnya, sehingga beliau menghantarkan kami untuk memahami sekaligus mengkhatamkan kitab tersebut.
Namun yang pasti berbeda, adalah aura kantuk. Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa mengantuk dan tertidur adalah salah satu musuh utama para santri saat belajar. Saat di kelas hanya santri yang memiliki tekad dan semangat yang kuat lagi tinggi saja yang mampu melawan hantaman aura kantuk ini. Sehingga nyaris satu kelas tertidur saat belajar. Namun berbeda jauh saat muthala’ah, tidak ada lagi kantuk. Sebab semua yang hadir adalah santri dengan semangat dan tekad yang kuat lagi tinggi.
Di antara ke-tawadhu-an beliau, pernah suatu ketika setelah mengkhatamkan kitab Nahwu Mukhtashar Jiddan Syarah Al-Ajrumiah, kami meminta beliau mengajarkan kami Sharaf, dengan kitab Talkhis Al-Asas Syarah Matan Al-Bina Wa Al-Asas (تلخيص الأساس شرح متن البناء والأساس). Alasan kami meminta kitab ini adalah ketika di sekolah pagi kami belajar kitab matan Bina dan Matan Tashrif. Syarah Matan Tashrif kami kaji bersama beliau di sekolah pagi, sedangkan kitab Matan Bina tidak ada kelanjutan Syarahnya. Dengan merendahkan diri, beliau mengatakan bahwa beliau tidak pernah belajar kitab tersebut. Akan tetapi saat beliau membacakan, menerjemahkan, dan menjelaskan kitab tersebut tidak tampak bahwa itu adalah kitab baru bagi beliau. Beliau menyampaikan isi kitab tersebut seperti biasa, seakan-akan itu adalah kitab yang sudah biasa beliau ajarkan.
Beragam Ilmu dan Kitab yang beliau ajarkan, mulai dari Nahwu, Sharaf, Tafsir, Fiqih, Hadis beliau ajarkan kepada kami. Di antara kitab yang beliau ajarkan kepada kami: Mukhtasah Jiddan, Syarah Kailani, Talkhis Al-Asas, Bulugh Al-Maram, Tafsir Al-Jalalain, Fathul Qarib berserta Hasyiah Al-Bajuri, Fathul Mu’in beserta I’anah.
Baiklah, ini sebagian dari bagian menyeramkan dari beliau. Dan saya yakin, semua alumni Pondok Pesantren As’ad yang pernah belajar dengan beliau pernah merasakan ini. Paling tidak pernah menyaksikan depan mata sendiri. Di balik tenang dan pendiamnya beliau, akan berubah menjadi menakutkan di dua keadaan, saat beliau menegur santri dan saat ujian.
Betapa tidak, saat ujian mata pelajaran sekolah umumnya diujikan secara tulisan, maka umumnya pelajaran pondok diujikan secara lisan. Satu persatu santri menghadap guru yang mengajar sekaligus menjadi pengujinya. Hal yang sama juga konsisten dilakukan oleh Guru Jamel, satu persatu beliau memanggil para santri untuk maju ke depan, duduk di hadapan beliau. Sebenarnya ujiannya sederhana saja, cukup membaca kitab, menerjemahkan dan menjelaskan. Namun, dalam satu kelas sangat jarang ada yang selamat dari membaca sampai selesai, bahkan kebanyakan kelas tidak ada yang sampai selesai. Ditambah lagi kitab yang dibaca adalah kitab beliau, kitab yang bersih tanpa coretan, bahkan sekedar bekas tinta pena pun tidak ada. Sehingga baru satu kata Faslun (فصل) saja sudah banyak yang menyerah, bahkan mundur ke belakang.
Ngapo baco Faslun?
Siapo ngajar kau baca macam tu?
Ado aku ngajar macam tu? Dan seterusnya. Sehingga satu kelas mundur di kata Faslun, tanpa sempat membaca sampai selesai.
Di kelas saya setidaknya hanya ada dua orang yang pernah lolos ujian beliau. Pertama adalah saya sendiri, ketika saya maju, beliau hanya berkata, haa, kau. Baco! Dan selesai tanpa diserang beragam pertanyaan. Kedua, teman saya bernama Herman, saat maju ke depan, Herman diam seribu bahasa, beliau menegur, nampak mato kau tu? Herman menggeleng, Dak Guru. Herman kembali ke belakang tanpa perlu ujian. Namun hanya untuk kali itu saja, saat ujian selanjutnya, nasib Herman sama seperti teman yang lain. Mundur di kata Faslun.
Di balik suasana yang seram tersebut, di sisi lain malah timbul banyak kelucuan akibat kalang kabutnya kami saat itu. Saat seorang teman maju ke depan dengan penuh cemas, justru banyak dari kami tertawa menyaksikan penderitaan yang sedang ujian, walaupun itu juga menimpa kami.
Itulah beliau, guru kami Guru Jamel, dalam suasana menegangkan pun tetap membuat kami tertawa, atau lebih tepatnya kami menertawakan ketidakmampuan kami sendiri. Sehingga bisa dikatakan dalam ujian pun beliau tetap memberikan kami pelajaran.
Raso e la betul, salah jugo.
Betul be macam tu, apo lagi salah.
Baiklah itu dulu, tulisan singkat saya tentang Al-Marhum Guru Jamel, masih banyak kenangan-kenangan kami yang lain semasa belajar dengan beliau dan para guru yang lain. Insyaallah bisa kita tuliskan di lain kesempatan. Semoga Allah senantiasa merahmati beliau dan menjadikan ilmu yang beliau ajarkan kepada kami semua, menjadi salah satu pahala yang terus mengalir untuk beliau. Amin.
Salam Kalam Literasi
Ahmad Farid Wajdi
(30 Mei 2020 / 7 Syawal 1441)
0 Responses
الاهم اغفرلهم وارحمهم وعافهم واعفعنهم
امين اللهم امين..