Fadhil Arif Terjepit. Di beranda facebook saya, gambar Fadhil Arif melintang-pokang. Kemaren gambarnya sendiri, sekarang sudah berdua. Entah siapa kawan yang disebelahnya. Tapi dibawah gambar tertulis, Bakhtiar. Kabar-kabarnya, mereka berdua sama-sama Sekda, sama-sama rakyat biasa, sama-sama susah, sama gak punya modal. Ada yang berkomentar, “kasihan sama mereka, lawannya berat”.
Saya mendengar nama Fadhil Arif ini sekitar beberapa bulan yang lalu, sebelum pandemi. Makin hari kok semakin banyak yang ngomongin dia. Ditambah lagi balehonya berserak-serak. Sebenarnya baleho yang lain juga. Bercampur-campur dengan baleho Fachrori, Fasha, Haris, Cek Endra, Syafrial, AJB, Ratu, dan sepintas-lalu ada juga bayang-bayang gambar HBA. Ada juga beberapa baleho yang ikut memeriahkan. Saya tak kenal.
Nah baleho Fadhil Arif ini saya tengok ada juga dekat Kota Jambi. Jangan-jangan mau nyalon gubernur juga.
Mau musim pemilu atau musim duku, ngomongin politik akan selalu asik. Sayang Bung Hendri 5000 pulang lebih dulu. Padahal komentar-komentarnya masih selalu ingin didengar.
Diskusi politik di warung kopi jauh lebih menarik dibanding tempat lain. Apalagi di gedung partai, cenderung kaku dan penuh intrik. Guru-guru di sekolah juga sering ikut ngomongin politik. Tapi nampaknya kurang menarik. Karena isinya lebih banyak pesimis. Beberapa guru mudah baperan. Di kampus-kampus agak lumayan seru. Hanya saja terkadang sulit dipahami. Dosen-dosen telaahnya ketinggian. Tak sampai kepada kalangan kebanyakan.
Generasi milenial membentuk komunitas. Kesimpulan sederhana dari komunitas itu tidak sulit. Mereka hanya akan mendukung calon yang dianggap senapas dengan mereka. Mereka tak minta bajet untuk kumpul-kumpul, serangan fajar juga tidak berpengaruh bagi mereka. Karena ketika fajar menyingsing, mereka masih bobok. Entahlah kalau-kalau ada yang memang tidak tidur semalaman.
Kembali ke Fadhil Arif Terjepit.
Saya tidak sengaja mendengar obrolan bapak-bapak di warung kopi. Latar belakang mereka beragam. Ada tukang ojek, ada petani yang sedang libur, ada anak muda yang mampir untuk istirahat, ada yang tidak jelas profesinya apa. Kalau dari gaya bicaranya, nampaknya dia seorang pengamat. Pengamat kehidupan.
Awalnya mereka ngomongin calon gubernur Jambi. Katanya, “ah kalau Fasha kuat, duitnyo banyak. Tinggal lagi pasangannyo siapo”. Yang lain mengomentari calon lain. “Cek Endra jugo kuat. Dak kalah banyak tu duitnyo. Apolagi kalau bepasangan dengan Ratu Munawaroh. Selesailah”. Anak muda tadi ikut bicara. “Wo Haris jugo gerilyanyo kencang. Apolagi sekarang Wo Haris mulai milenial. Cocok nian bepasangan dengan Abdulah Sani. Generasi tuo”. Saya coba memancing dengan meyebutkan calon lain. “kalu AJB macamno wak?” tiga orang hampir serentak menjawab, “AJB nomor duo tulah”. Saya bertanya lagi. Nah kalu Syafrial? Hampir sama dengan jawaban yang tadi, “nomor duo tulah”.
Pemilik warung tertarik ikut nimbrung. “kalau Fadhil Arif macamno?” satu orang langsung menyambut. “Fadhil Arif susah nak menang. Lawannyo kuat. Duit jugo kurang tu”. Kemudian ia mengangkat gelas kopi, seruputannya dalam. Bapak-bapak yang tadi kelihatan seperti pengamat berkomentar. “tapi jangan salah, Fadhil Bakhtiar ni perwakilan dari rakyat biasa. Kalau maksimal bisa mengalahkan Hafiz Fatah”. Katanya lagi, “di atas kertas Hafiz Fatah menang, tapi kita tidak tahu yang di bawah kertasnyo”.
Nampaknya bapak itu memang pengamat. Tapi jujur saja, saya sempat berpikir apa maksudnya di bawah kertas. Butuh diskusi lanjutan baru bisa benar-benar paham.
Kata yang lain, “ais, tak mungkin. Apolagi Hafiz Fattah menggandeng Camelia. Matii anak mudo. Fadhil Arif terjepit”.
Melihat komentar-komentar ini saya jadi tertarik untuk merenung. Merenungi nasib Fadhil Arif. Kata Fadhil, “semua rintangan sudah terpikirkan”. Ini berarti, ia siap berjuang habis-habisan. Inilah mengapa saya sangat salut dan bangga kepada para calon pemimpin. Rela berjuang demi rakyatnya. Kepada Hafiz Fattah, saya tidak hanya bangga, tapi juga sekaligus iri. Anak muda, tampan, gagah, berkarisma, senyumnya manis, manisnya meluluh-lantakkan hati para gadis di Batanghari yang siap mengabdi dan bersusah-payah demi masyarakatnya. Salutlah pokoknya.
Saya kian penasaran, kira-kira apa yang sedang direncanakan oleh Fadhil Arif dan tim. Kita tunggu saja apakah Fadhil Arif Terjepit.
Jambi, 18 Juni 2020