Dua Angsa Untuk Satu Cinta : Sebuah Kisah

Dua Angsa Untuk Satu Cinta : Sebuah Kisah

Facebook
Twitter
WhatsApp
Telegram
Email
Print
Facebook
Twitter
WhatsApp
Telegram
Email
Print

Dua Angsa Untuk Satu Cinta : Sebuah Kisah

Dua Angsa dan Sebuah Cinta di Sungai Batanghari

Dulu, ada pernah orang sakti mandraguna di negeri Melayu yang rela berkelana, melanglang buana, meninggalkan kampung ter cinta ke negeri antah barantah di pulau Jawa sana, demi mendapatkan cinta seorang jelita bernama Mayang Mangurai. Pemberani itu dipanggil Orang Kayo Hitam, putra Datuk Paduko Berhalo, sang raja legendaris Jambi. Kisah itu terulang kembali setelah belasan abad dikikis waktu.

Kini, adalah seorang remaja gagah baru lulus dari sekolah, namun sayang tak lanjut kuliah. Maka bekerja dulu ia mencari nafkah. Tahun depan baru kuliah katanya. Ia bekerja menjadi  penjual ikan di pasar Angso Duo. Sejak pagi buta ia sudah bekerja dan kalau petang memanggil barulah ia rampung. rajin betul. Pemuda itu bernama Salim.

Sejak zaman kecilnya hingga ujung masa remajanya kini, belum pernah Salim menjalin kisah cinta. Tak kenal ia akan virus merah jambu itu. Sebenarnya bukan tak mau ia. Berpuluh kali ia mencoba namun tak satupun berhasil perihal cintanya itu. Itu disebabkan karena ia hanya mencoba dalam khayalnya.

Tak pernah berani ungkapkan khayalannya itu. Ah, kalau punya gadis yang dicinta betapa senang rasanya. Ada yang ditunggu di gerbang sekolah setiap pagi, ada yang diharapkan menonton kalau tampil lomba cerdas cermat, ada yang dipikir kalau sedang termenung sendiri di dalam kelas, ada yang dikunjungi, ada alasan untuk datang ke sekolah meski sebenarnya malas, ada rasa, ada cinta, ada cemburu, ada harap-harap cemas, ada malu, ada wajah memerah, ada pengharapan dan reaksi kimia di dalam segumpal daging bernama hati. Ah, ilalang pun menertawainya. Begitulah ia hanya bisa berimajinasi. Sampai kini ia lulus tak pernah berani mencoba menyatakan khayalannya itu.

Suatu hari, di tengah hiruk pikuk pasar Angso Duo, sesosok gadis berwajah teduh, anggun dan berkerudung itu terlihat olehnya. Mulai debar-debar jantung itu ia rasai. Akhirnya kau datang juga, cinta. Kemana saja kau selama ini tak pernah kelihatan batang hidungnya, ah,  kejam sekali si cinta. Teduh wajahnya, manis senyumnya, indah langkahnya, anggun oh bagai putri pula gadis teduh ini. Semakin hari semakin cantik dipandangnya. Bukan. Bukan parasnya saja yang mempesona, perangainya lebih cantik. Oh sungguh ini berbeda. Andai kata gadis-gadis cantik adalah mutiara, maka ia adalah ratu mutiara. Inilah Mayang Mangurai abad dua puluh satu. Kalau si gadis datang, ia rasai Angso Duo berubah menjadi  taman bunga Selecta. Bau sayur busuk dan amis ikan dirasai jadi parfum wangi. Tapi kalau Gadis Teduh tak datang, Angso Duo ia rasai tetap seperti pasar Angso Duo. Lebih kumuh malah.

Berpuluh kali ia menatap, mencuri pandang pada Gadis Teduh yang datang berbelanja tiga kali sepekan, berpuluh kali ia ingin menegur sapa dan berpuluh kali pula ia urungkan keinginannya itu. Geram ia pada dirinya sendiri karena tak berani. Ah, betapa malang nasib lelaki yang punya cinta tapi tak bisa berkata, pedih penuh harap tapi tak tahu kapan reda.

Ternyata cinta-meski dimiliki oleh orang-orang dewasa–berhasil menjadikan pemiliknya seperti bayi lima tahun yang belum bisa mengungkap kata. Kemana hatinya akan dibawa? Entahlah. Ia simpan dalam-dalam perasaan itu dan menghapusnya perlahan. Lupakan saja, manalah pantas penjual ikan yang saban hari bau amis mencinta gadis jelita nan wangi semerbak mawar. Tahu diri juga ia rupanya. Maka saat itu ia putuskan untuk melupakan Gadis Teduh hanya karena ketakutannya. Takut pada cinta.

Tapi inilah kesempatan nyata dan barangkali yang terakhir. Karena kesempatan tak datang dua kali. Begitupun gadis itu. Dimanakah ada putri cantik jelita bak ratu mutiara, maka ia sekali saja muncul dari sejuta wanita. Mengapa mau kalah dari rasa takut demi seorang bidadari bermata indah? Bodoh itu namanya. Tak ada sedikitpun kebanggaan yang terdapat dalam jiwa seorang penakut. Ia pikir lagi. Tak mau ia menyerah dengan rasa takutnya, sambil terus ia mencuri pandang.

“Abang, Bang? Ikan Lele, berapa perkilo harganya?” Gadis Teduh menyapa sambil melambaikan tangan di depan wajah Salim yang menatap entah apa: bengong.

“Hah. Cantiknya. Ikan Nila ya? Eh.” Terkejut Salim seperti dipukul dengan bata tepat di kepalanya. Gerogi. Salah ucap.

“Apa yang cantik, Bang?”

“Kau yang cantik. Eh. Maksudnya, eh. Ikan, ya? Iya.”

Tahukah kau rasanya jika menjadi Salim saat itu? Kalau kau pernah jatuh cinta, kau pasti tahu jantungnya berdetak tiga kali lipat dari biasanya. Melompat-lompat bersorak ramai bak penonton sepakbola. Betapa tidak, sejak lama ia sudah ingin berbicara padanya tapi tak tersampaikan. Namun kini datang sendiri tanpa diundang. Tanpa diharap. Salah ucap pula ia. Malu bukan main, entah dimana mau ditaruh mukanya.

Sejak hari itu Gadis Teduh sering belanja ikan di kiosnya. Kian lama ia kian dekat dengan pedagang ikan itu. Kalau beli banyak Salim kurangi harganya untuk Gadis Teduh. Bersahabat baik mereka. Namun Salim masih menyembunyikan perasaannya yang sesungguhnya, dalam-dalam di hatinya yang tak diketahui siapapun. Tuhan saja yang barangkali tahu.

**

Bulan kesekian setelah Salim berteman dengan Gadis Teduh. Sudah sepekan ia tak pernah datang lagi. Bukan main gundahnya si Salim. Sehari saja tak bertemu tak berhenti bertanya-tanya sendiri. Apalagi seminggu tiada nampak batang hidungnya serta kabar beritanya. Apa yang kau lakukan disana? Mengapa tidak beli ikan lagi? Apakah kau sibuk? Atau marah sehingga tak mau bertemu denganku lagi? Tapi apa salahku? Atau mungkin ada lelaki lain? Siapa dia? Apa dia lebih tampan? Kaya? Ah, tidak. Mungkinkah kau sakit? Atau sudah tak suka ikan? Atau, atau, ah, selalu pertanyaan-pertanyaan itu muncul otomatis di benak Salim. Kau sedang apa disana Gadis Teduh? Dan sampailah sebulan lebih si putri itu tak kunjung muncul.

Tapi ia tak boleh gagal. Sudah lama cinta tak mau hinggap di pohon kehidupannya, dan ketika hinggap maka ia tak mau melepasnya barang sedikit. Akan dicarinya benar-benar Gadis Teduh itu. Cinta pertamanya, rindu pertamanya. Tak pernah hilang dan selalu menyesak di dada. Ya. Andai barangkali ia sudah pergi jauh, akan tetap dicari sampai tak ada lagi jalan yang tak dilewati. Cintanya begitu kuat seperti bom atom. Meledak-ledak setiap hari, mengeluarkan reaksi kimia membakar saraf. Ledakannya kini sampai membuatnya gila.

Ia berusaha mengingat-ingat dimana Gadis Teduh pernah menyebutkan rumahnya. Pastinya tak jauh dari Angso Duo. Ia pikirkan itu sepanjang waktu, bertanya kepada siapapun yang berbelanja ikan. Barangkali ada yang tahu pikirnya.

Akhirnya dengan panjang cerita dan besar usaha, ia temukan juga sarang bidadari itu. Khayangan kecil di bumi. Tak perlu menunggu lebaran untuk menemuinya. Datanglah Salim ke rumah  Gadis Teduh.

“Salim? Lama tak bertemu. Tahu dari mana rumahku?”

“Disini angin dan pepohonan dapat berbicara. Ini, aku mengantar ikan.”

“Aku tidak pesan ikan, Lim.”

“Tentu tidak. Ini dari mamak  untuk pelanggan setia katanya.”

Begitulah mereka selanjutnya bercakap-cakap lama. Bercerita kisah-kisah di sekolah, bertanya tentang kepribadian masing-masing, tentang film terbaru yang sangat inspiratif, tentang keluarga dan teman.

“Sarah?” Demikian nama Gadis Teduh.

“Ya?”

“Aku..” Salim diam beberapa puluh detik. Menggaruk kepala yang tidak gatal.

“Apa Lim?”

“Aku ingin bicara suatu hal.”

“Kita sudah bicara lebih dari setengah jam, Lim.”

“Ya. Aku..” Salim diam lagi beberapa puluh detik.

Saat itulah dengan terpaksa karena takut kehilangan Gadis Teduh seperti sebulan belakangan, ia ungkapkan perasaannya itu untuk pertama kali. Sejarah. Sejarah besar buat hidup Salim. Kapan ia berani katakan. Kapan ia belajar berkata. Sejarah tercipta.

Sarah sontak terkejut mendengar ucapan Salim itu. Ternyata ini juga kali pertama ia berurusan dengan makhluk abstrak bernama cinta. Merona pula wajahnya tapi ia tahan.

“Selama ini aku selalu perhatikan kau. Selalu pikirkan kau. Sedih rasanya kau pergi sebulan ini. Kucari kau kemana-mana. Karena itu aku putuskan untuk mengatakannya sekarang. Agar aku tak menyesal nanti.” Kata Salim melanjutkan.

“Aku tak pergi kemana-mana, Lim. Maaf. Bukan aku tak suka kau. Kau orang baik dan saleh, mandiri pula. Tapi sudah prinsipku sejak sekolah dulu, tak mau aku mengenal yang namanya cinta pura-pura. Aku mau cinta sejati yang diikat dengan pernikahan. Bukan hubungan tanpa ikatan seperti muda-mudi sekarang. Kita masih belum halal, Lim. Dosa pada Tuhan yang menciptakan cinta.”

“Aku tak pura-pura. Belahlah dadaku kalau tak percaya.”

“Ah. Itu kalimat yang dapat diucap semua lelaki. Belajar dimana kau? Menghinaku kalau kau merayu dengan kata itu, Lim.” Mereka diam dan saling tertunduk. Lama. Lengang.

“Maafkan aku, Sarah. Tak seharusnya ku katakan.”

“Tak apa, Lim. Semua cinta itu suci kalau sesuai waktunya.” Mereka pun diam lagi berpuluh-puluh detik.

“Kalau begitu aku pulang, Sarah. Salam ke orang tuamu.” Kata salim sambil tersenyum yang agak dipaksakan. Sarah pun tahu itu senyum palsu, dan tak heran ia karena itulah senyum orang-orang yang hatinya remuk.

Salim beranjak dari rumah Sarah. Membawa hatinya yang mengeriput bak disiram dengan air asam. Nafasnya buntu dan matanya mencair. Ibu, inikah yang dinamakan patah hati? Mengapa begitu menyakitkan rasanya? Mengapa tidak selalu bisa mendapatkan yang kita cintai? Pelajaran sekolah kehidupan bab cinta mulai dipelajarinya sekarang. Lemah gemulai melangkah. Tersenyum tipis pada Sarah lalu membelakanginya dan pergi. Sampai beberapa meter tiba-tiba jalannya terhenti. Sarah memanggil.

“Salim. Tunggu. Mungkin waktunya saja yang belum tepat. Nanti semua akan indah pada waktunya. Begitu kata Tuhan dalam kitab suci.”

“Terima kasih sudah menghiburku, Sarah. Tapi apalah aku..”

“Janganlah berkata putus asa seperti itu. Itu membuktikan memang kau pantas ditolak semua wanita. Nanti, kalau waktunya sudah tiba, bisa saja tak aku abaikan niat baikmu itu.” Potong Sarah.

“Benarkah?” Mata Salim berbinar penuh harap. Ia melihat setitik cahaya di ruang yang gelap pekat.

Sarah mengangguk. Tersenyum tipis. Alamak, tambah cantik pula gadis teduh ini.

“Tapi ada syaratnya, Lim.”

“Setahuku cinta itu tak bersyarat, Sarah.”

“Kecuali cintaku, Lim. Cintaku hanya untuk orang yang mau berusaha memenuhi syaratnya. Kalau tak bisa, tidak akan kuterima. Karena kalau tak bersyarat, semua lelaki mudah mendapatkannya. Kalau kau mampu artinya kau memang lelaki yang dipilihkan Tuhan. Kalau tidak berarti bukan.”

Salim terdiam tertunduk melihat tanah yang ditumbuhi rumput. Menimbang-nimbang ketegasan Sarah yang mengancam dengan argumen pertarungan cinta. “Baik Sarah. Tak masalah buatku apapun itu. Katakan!” Telah ia terima tantangan itu.

Sarah menarik nafas panjang. “Pertama. Aku tak mau memiliki hubungan cinta kecuali di pelaminan. Jadi kita tak akan pacaran. Kalau kau mau, datanglah melamar. Tak ada pacaran. Tak ada bertunangan. Hanya ada pernikahan.”

Salim berfikir sejenak. “Kurasa itu tak masalah, kapan kau siap aku juga siap.” Ia menjawab.

“Tunggu, tantangan kedua, Aku takkan mau menikah sampai lima tahun lagi. Dan aku tak mau kita bertemu. Kau silahkan jalani hidup seperti biasa, akupun juga. Lima tahun lagi kalau tiba saatnya baru temui aku dan bawa mahar pernikahan.”

“Tapi Sarah..”

“Kalau kau tak mampu, boleh kau menyerah dari sekarang.”

“Baik. Baik. Aku tidak bilang ingin menyerah, bukan? Hanya itu?” Tanya Salim.

“Ada yang selanjutnya. Teruskan cita-citamu. Wujudkan! Kalau kau tak mau berusaha menggapai mimpi-mimpimu itu, maka sisa hidupmu akan kau habiskan dengan melihat orang lain mendapatkan mimpi-mimpinya. Aku mau lelaki yang mampu mewujudkan mimpinya. Bukan yang terlalu pasrah pada nasib. Lanjutkan kuliah, Lim.”

Gadis Teduh menunduk. Menarik nafas dan melanjutkan perkataannya.

“Keempat. Peliharalah dua angsa. Sepasang. Kawinkan mereka. Lalu bawalah jalan-jalan di Sungai Batanghari. Kalau yang betina bertelur, ingatlah tempat ia bertelur pertama kali. Kalau mati peliharalah angsa lain sampai bertelur. Dan syarat yang terakhir, boleh  diwujudkan setelah pernikahan ataupun sebelumnya kalau mampu. Syarat terakhir adalah susah sekali. Jadi, tempat dimana angsa betina itu bertelur pertama kali, dirikanlah rumah disitu, penginapan atau apapun yang indah. Meskipun angsa bertelur di tengah Batanghari sekalipun. Bangunlah bangunan indah di tengah sungai itu.”

Itulah kelima syarat yang diajukan Sarah. Salim tak menjawab. Hanya memandang wajah Gadis Teduh yang menunduk melihat tanah. Beberapa menit berselang. Tanpa jawaban dari Salim, Sarah meninggalkannya di halaman rumah. Salim masih gundah. Namun ada harapan besar di matanya. Apa ini? Janji? Seperti Orang Kayo Hitam memperjuangkan cinta Mayang Mangurai? Salim kini–entah dari mana ia memulai dan bagaimana mengakhiri–harus memperjuangkan sebuah cinta diluar batas kemampuannya. Namun sudah sampai padanya kabar dari Tuhannya dalam kitab suci bahwa Dia takkan memberi perkara diluar kemampuan hamba-Nya. Dengan menyebut nama Tuhan, ia bertekad mewujudkan janji itu.

**

Tujuh tahun kemudian.

Salim masih gundah sendiri. Tak bersama Sarah sebagai istri kekasih hati. Apa gerangan yang terjadi? Apakah ia tak mampu memenuhi syarat-syaratnya? Atau ia tak berhasil memelihara sepasang angsa? Ataukah angsanya tak mau bertelur? Atau ia tak cinta lagi dengan Gadis Teduh? Atau syarat terakhir tak mampu dipenuhinya? Bukankah syarat terakhir dapat dipenuhinya setelah pernikahan? Atau ia tak mau melanjutkan sekolahnya di perguruan tinggi?

Tidak. Sejak Sarah mengatakan syarat-syarat itu, Salim merantau melanjutkan kuliahnya di pulau Jawa. Ia tetap berjualan ikan. Bedanya ia berjualan tidak di pasar Angso Duo lagi, melainkan di pasar di Jawa sana. Ia bangun kolam ikan kecil-kecilan. Lama-lama ia bangun yang besar. Pengusaha kaya memberinya modal. Lalu ia bangun pula peternakan ayam petelur. Banyak pula kandangnya. Lalu peternakan sapi, itik, dan pabrik pupuk ia bangun juga. Sukses ia dalam beberapa tahun saja.

Sepasang angsa? Setelah Sarah tak mau lagi menemuinya. Dua angsa lah yang menjadi kawan hidupnya. Si betina bertelur ketika ia ajak berperahu di sungai Batanghari. Celaka. Telur pertama pula. Syaratnya ia harus membangun tempat tinggal yang indah atau penginapan yang cantik disitu. Berat dilakukannya. Namun beberapa tahun berselang ia sudah kaya. Mudahlah baginya membangun tempat indah disana.

Tapi mengapa ia tak kunjung meminang Sarah? Bukan. Bukan ia tak pernah datang. Ia berkali-kali datang ke rumah Sarah. Rindunya kini memuncak, bagai air mendidih yang siap tumpah atau gunung merapi yang siap meletus. Ingin ia bertemu ucapkan terima kasih sekaligus berkata: “Sarah, aku datang. Aku sudah penuhi semua syaratnya.”

Tapi, sekarang kau dimana, Sarah?

Alive D. Rahman

Alif Rahman Hakim. Seorang anak muda hebat yang sedang berjuang melawan penyakit. Selalu kuat dan semangat bung Alif. Doa-doa kami selalu untuk kesembuhanmu.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

InstagramKLI

BacaanTerkini

Dosen, Gelar, dan Makalah Copas: Komedi Tragis di Kampus Ilmu
Dosen, Gelar, dan Makalah Copas: Komedi Tragis di Kampus Ilmu
"Wisudawan, Toga, Like, dan Cinta yang Tertinggal di Ruang Dosen"
"Wisudawan, Toga, Like, dan Cinta yang Tertinggal di Ruang Dosen"
Guratan Tak Terlihat di Balik Nilai
Guratan Tak Terlihat di Balik Nilai
Daha
Proyek Historiografi DAHA

KategoriBacaan

ProgramTerbaik

BacaanLainnya

"Wisudawan, Toga, Like, dan Cinta yang Tertinggal di Ruang Dosen"
Guratan Tak Terlihat di Balik Nilai
Proyek Historiografi DAHA
Pelatihan Literasi Digital di Desa Pematang Pauh 2024
Dari Jambi dan Kendari Menuju Kairo 2024
Persiapan Menuju Negeri Piramida 2025
Dari Jambi Menuju Kairo 2024
Manusia & Agama di Tahun Politik
Pilpres dan Mahasiswa
Menapaki Mimpi di Mesir dan Turki