Dosen, Gelar, dan Makalah Copas: Komedi Tragis di Kampus Ilmu
Sebuah satire tentang birokrasi akademik, intelektualitas yang sekarat, dan mahasiswa yang kehilangan nalar
Saya tidak menyinggung, tidak pula membandingkan, apalagi merasa paling hebat dan benar. Hanya saja, saya pernah bertemu dan melihat ada sosok dosen yang sibuk berjuang, bukan di ruang kelas, tapi di forum kenaikan pangkat dan grup WhatsApp kenaikan tunjangan.
Dia hafal semua peraturan SK, tapi lupa makna SKS. Ia bersuara lantang tentang haknya, namun hening ketika mahasiswanya meng-copy makalah tanpa malu.
Kata Plato, dosen seharusnya menjadi philosopher-king, membimbing menuju kebenaran. Tapi yang ini lebih mirip philosopher-claimant, rajin klaim sertifikat, absen membentuk intelektual.
Socrates mati demi kebenaran diskusi, tapi di kelasnya, diskusi mati karena tak pernah hidup. Dan ketika mahasiswa bertanya “kenapa ini salah?”, ia jawab: “karena saya bilang begitu.” Ini jelas doktrin gaya baru. Menyadur dari Gus Ulil, ini adalah wahabi versi akademis.
Mungkin benar kata Nietzsche, sebagian dosen tak mencari kebenaran, hanya kenyamanan dalam birokrasi. Ilmu pun jadi formalitas; gelar di dada lebih penting dari makna di kepala.
Kepada yang mulia, para pejuang SK kenaikan pangkat, pengemban tugas mulia perhitungan Tunjangan Kinerja, dan penggugat abadi sistem remunerasi. Sungguh, mereka adalah manusia langka, bergelar panjang melebihi daftar pustaka skripsi mahasiswa pasca-sarjana, namun waktu untuk berdiskusi dengan mahasiswa sependek senyum formalitas pejabat bertemu rakyat.
“Mengapa saya belum naik Lektor Kepala?” tanya seorang dosen sambil menyeruput kopi campur beras di ruang dosen yang penuh berkas, tapi kosong diskusi.
“Sudah saya input 13 artikel, 3 seminar internasional, dan ikut pelatihan daring, yang penting upload, bukan paham,” sahutnya dengan bangga. Lalu ia menengok layar, memastikan akun SISTER dan BKD-nya up to date, walau ia tak ingat kapan terakhir kali membaca jurnal secara utuh, apalagi mendiskusikannya di kelas.
Sementara itu, di pinggir lorong fakultas, di watung kopi ibu kantin, ada mahasiswa sedang menyalin makalah dari internet. Tak sekadar menyalin, tapi copas with pride, tanpa kutipan, tanpa rasa bersalah. Mengapa? Karena tak ada yang mengecek. Toh, dosennya lebih tertarik membuka dashboard SINTA daripada membaca makalah satu per satu.
Kocaknya, ketika ditanya soal plagiarisme, sang dosen menjawab santai, “Ah, itu tanggung jawab pembimbing. Saya sibuk ngurus jabatan fungsional.”
Lalu Socrates pun menangis di alam barzah ditemani Aristoteles. Bukan karena ia dibunuh dengan racun, tapi karena intelektualitas sekarang dibunuh oleh template.
Di kampus itu, diskusi filsafat digantikan oleh presentasi PowerPoint murahan. Mahasiswa membaca karena takut kuis dan pertanyaan yang juga template, bukan karena lapar dan haus akan pengetahuan. Dan para dosen, alih-alih menjadi pembimbing arwah ilmu, lebih sibuk menjadi “admin kepegawaian” untuk dirinya sendiri.
Padahal dulu, Plato mendidik di Akademi Platonis dengan api cinta kebenaran. Tapi hari ini, beberapa dosen kita lebih seperti manajer data pribadi: memastikan angka kredit naik, meski kualitas diskusi tenggelam.
Apakah mereka jahat? Bisa iya, bisa tidak. Namun yang pasti, mereka hanya terlalu asik mengejar bayang-bayang birokrasi, sampai lupa bahwa di hadapannya ada manusia-manusia muda yang mencari makna. Tapi makna tak bisa ditemukan jika dosennya hanya hadir secara administratif, bukan intelektual.
Bayangkan, seorang dosen memprotes keras tidak naik golongan, tapi ketika mahasiswanya tak bisa membedakan antara opini dan argumen, ia diam saja. Seolah akal mahasiswa tak sepenting angka kredit di aplikasi.
Inilah zaman ketika gelar akademik bertambah, tapi isi kepala yang dibagikan ke mahasiswa justru menyusut. Zaman di mana dosen yang paling keras menuntut kenaikan jabatan, adalah yang paling malas memeriksa plagiarisme. Jangan tersinggung jika bukan anda pelakunya.
Nietzsche pernah berkata, “Ia yang punya mengapa dalam hidup, akan tahan dengan segala bagaimana.” Tapi mungkin sebagian dosen hari ini kehilangan mengapa, mereka hanya menjalani bagaimana, sesuai format BKD dan urusan administratif lainnya.
Dan sementara itu, mahasiswa terus copas makalah dari blogspot dan forum Quora, tanpa ada yang menggugah mereka bertanya: “Apakah kamu benar-benar berpikir?”
Kampus yang mestinya menjadi tempat tumbuhnya logos, kini jadi tempat lahirnya file PDF palsu. Dan dosen-dosen yang mestinya menjadi pelita pikiran, lebih sibuk memastikan SK mereka tidak tersesat di meja kepegawaian. Jika tersesat, mereka menduga, si tuan meja minta jatah kopi. Sayangnya, dugaan mereka tepat.
Begitulah. Dunia akademik hari ini, kadang seperti komedi birokrasi yang dikemas dalam toga. Di mana mahasiswa lebih menganggap toga lebih sakral disbanding isi kepala. Kita menertawakannya karena lucu, tapi lebih sering menangis karena nyatanya benar.
Fajri Al Mughni