Dia yang Beranjak Pergi

Dia yang Beranjak Pergi

Facebook
Twitter
WhatsApp
Telegram
Email
Print
Facebook
Twitter
WhatsApp
Telegram
Email
Print

Dia yang Beranjak Pergi

Dia yang Beranjak Pergi

*Alif Rahman Hakim

Aku selalu menulis. Setiap hari. Aku ingin, tulisan ini terbaca. Menggugah. Menggetar. Tapi, mereka tak beranjak dari buku harianku. Aku selalu urung mengirimkannya. Membiarkannya tersimpan dalam lembar demi lembar.

Mungkin, aku hanya ingin bercerita. Bercerita pada diriku sendiri, pada pagi, pada burung-burung, pada ulat daun, pada kambing-kambing di kandang belakang sana, pada kumbang yang terjebak di jendela kaca, tentang dia.

Dia, yang kutemukan dalam titik pandang. Dia, yang lebih nyata dari sekedar rekaan dalam imajinasi. Dia, racun dan penawarnya sekaligus, yang membius bak anestesi, menghilangkan rasa nyeri pada satu titik, lalu meningkatkannya berkali lipat sampai bila-bila saat ia pergi.

Segala tentangnya adalah sebuah perjalanan yang semi-semu. Bagaimana dua pasang bola mata bergambar rekahan mawar itu pernah bersinar. Bagaimana mulut lentur itu bertutur, memproduksi getaran yang tanpa izin memasuki gendang telinga. Dan bagaimana hadirnya selalu mencipta degup-degup, yang kelu dan mencekat, yang membuatku pasrah terikat oleh ketidakmampuan jiwa untuk melangkah.

Kata dia, cinta sejati bukanlah yang datang pada mata, lalu turun ke hati seperti yang orang-orang selalu bilang. Katanya, cinta itu adalah proses ukiran panjang, oleh restu Tuhan, oleh kasih dari orang-orang yang juga mencinta, oleh hangatnya nasi goreng dan teh manis yang terhidang tiap pagi, oleh ciuman hangat pada punggung tangan kala akan berpisah, atau oleh ketukan pada daun pintu yang memanggil ketika akan bertemu.

Adakalanya cinta seperti teka-teki, jawabannya begitu sederhana namun sulit ditemukan. Dan dia, adalah teka-teki yang tersulit yang pernah ada. Aku merasa jawaban itu tercecer di suatu tempat tak jauh, tapi sku tak pernah aku menemukannya. Aku tak pernah benar-benar memecahkannya.

Dia, akhirnya menjadi pertanyaan dalam perasaan yang penasaran. Mencipta ragu dalam setengah keyakinan. Dia, menjadi paradoks yang tiada pangkal dan tiada akhir, selalu berputar di tempat yang sama dan kembali pada satu titik awal. Dia juga labirin pengembaraan jiwa yang menyesatkan, juga mengekang tanpa belas kasihan.

Kemarin, dia datang di mimpiku dan tiba-tiba duduk bersimpuh di sebuah dipan tepat dihadapku. Namun ia hanya diam, dan tersenyum. Senyum yang merubah arah angin. Lalu menerbangkan serbuk sari dari bunga-bunga, dan membiarkannya hinggap pada belasan tangkai bunga lain. Aku pun tersenyum menyambutnya.

Yang ia katakan hanyalah isyarat-isyarat. Tanda-tanda yang harus kubaca dan kuartikan sendiri. Seolah-olah, ia memberi tau, bahwa jawaban teka-teki itu dekat sekali dengan kami. Hanya beberapa langkah. Hanya belasan inchi. Beberapa langkah yang tak dapat kuraih karena terikat, dalam cekat, dalam degup, dalam ketidakberdayaan, dalam labirin yang membatas, dan dalam paradoks yang menipu.

Waktu terasa berhenti sejenak. Evolusi kehidupan diam sesaat. Kekuatan kosmik seakan tetap stagnan pada satu titik. Dan aku ingin tetap seperti itu. Aku ingin satu detik bersamanya itu, tetap seperti itu selama-lamanya. Cukup satu. Bahkan jika Tuhan memberiku waktu selama jutaan umur kehidupan, aku rela menggantinya dengan detik itu.

Namun waktu kembali seperti semula. Kehidupan kembali cair. Mengalir. Detik berikutnya berlalu, dan begitu seterusnya. Detik-detik itu mulai menyapu senyum pada bibirnya. Merampasnya. Dan entah detik keberapa pula yang mencuri sinar di matanya. Mungkin ia lelah. Lelah menunggu aku dalam jebakan kelemahanku. Aku yang tak kunjung mampu berdiri dan menggerakkan kaki untuk benar-benar menjemputnya.

Lalu ia kembali mengirim isyarat-isyarat, yang kali ini samasekali tak dapat kubaca. Aku pun membalas dengan isyarat yang sama, yang menunjukkan bahwa kakiku kaku, ada rantai tak terlihat yang membelenggu.

Lalu ia yang melangkah. Bukan untuk memungut jawaban teka-teki itu dan mengulurkannya padaku. Tapi untuk membiarkan aku tetap terjebak dalam ketidakberdayaanku. Ia melangkah pergi, membawa angin-angin kembali ke arah semula. Bayangannya menghilang di balik pintu itu. Dia, tak pernah menoleh kembali. Dalam dudukku, aku tersadar bahwa itu adalah sebuah perpisahan.

Aku meronta, sekuat-kuatnya. Ingin kupecah rantai di kakiku, tapi aku begitu rapuh. Betapa sepi perpisahan tanpa kata-kata. Tanpa ada doa dan keinginan untuk berjumpa kembali. Aku terhenyak. Ini adalah perpisahan paling sepi yang pernah kurasakan.

Saparuh diriku masih duduk bertahan. Dan bagian kecil dalam tubuhku, ingin mengadu, berdiskusi, bercerita, berbagi pada pagi yang dilindas oleh siang, pada burung-burung yang pasrah saat rumahnya digusur kebun-kebun sawit, pada ulat daun yang tumbang oleh racun pestisida, pada kambing-kambing yang tiada daya terkurung dalam kandang, pada kumbang di balik jendela kaca itu yang tak menemukan jalan keluar, dan terus meronta saat bunga-bunga di halaman itu dihinggapi puluhan kumbang lain.

Kutulis semua kekacauan ini. Kusimpan. Tapi bukan untuk kukirim padanya. Dia sudah pergi. Dan mungkin, jawaban teka-teki yang ia simpan sendiri itu sudah ditemukan orang lain. Dan tulisanku ini takkan pernah terbaca olehnya.

Hingga ujung penaku telah sampai pada lembar akhir dan tak ada lagi yang dapat kutulis lagi. Kubiarkan ini tertutup saja. Kutinggalkan di atas kursi itu. Dan berharap, saat aku sudah lupa tentang hari ini, esok, kau akan membukanya.

Kau akan baca tulisan itu lembar demi lembar, kisah demi kisah. Dan saat kau temukan lembar terakhir itu, kau akan datang, kesini, menemuiku. Salam Kalam Literasi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

InstagramKLI

BacaanTerkini

"Wisudawan, Toga, Like, dan Cinta yang Tertinggal di Ruang Dosen"
"Wisudawan, Toga, Like, dan Cinta yang Tertinggal di Ruang Dosen"
Guratan Tak Terlihat di Balik Nilai
Guratan Tak Terlihat di Balik Nilai
Daha
Proyek Historiografi DAHA
Literasi Digital
Pelatihan Literasi Digital di Desa Pematang Pauh 2024

KategoriBacaan

ProgramTerbaik

BacaanLainnya

"Wisudawan, Toga, Like, dan Cinta yang Tertinggal di Ruang Dosen"
Guratan Tak Terlihat di Balik Nilai
Proyek Historiografi DAHA
Pelatihan Literasi Digital di Desa Pematang Pauh 2024
Dari Jambi dan Kendari Menuju Kairo 2024
Persiapan Menuju Negeri Piramida 2025
Dari Jambi Menuju Kairo 2024
Manusia & Agama di Tahun Politik