Debat Dalam WC

Debat Dalam WC

Saya akan mengantarkan tulisan ini kepada kawan-kawan pembaca agar sedikit mengetahui kemana tujuannya.

Demikianlah, di salah satu warung kopi langganan kami ada satu WC yang sering didatangi oleh para pengunjung. Tapi pengunjungnya tidak hanya pelanggan warung, para musafir juga sering mampir.

Selain itu, sekian banyak WC yang telah saya singgahi, WC itulah yang paling terfavorit. Jika ada waktu bolehlah kawan-kawan singgah disana. Sediakan saja uang dua ribu.

Tak baik sering-sering membuat orang penasaran. Maka, saya akan langsung kemukakan mengapa wc itu menjadi favorit.

Jika biasanya debat bisa kita lihat di televisi, baik itu di kampus, warung kopi, kantin bude, kantin pakde, lapak judi, lapak sabung ayam, kamar pengantin, ruang sidang, atau sidang apa pun kecuali sidang Jumat, dalam bus Trans Siginjay, bahkan keberadaan bus kadang sering didebatkan. Di dalam angkot atau bahkan dalam mimpi, juga sering terjadi perdebatan.

Nah kali ini berbeda, debat bisa kita saksikan dalam WC.  Iya, wc. Water closet.

Ternyata, WC bukan hanya tempat merenungi persoalan hidup saja, atau tempat menyesali mengapa telah selingkuh, atau mungkin tempat menumpahkan segala dendam. Tapi juga tempat ajang debat. Debat dalam WC.

Apa meteri debatnya?

Pemilik WC meminta kepada petugas agar memasang tulisan peringatan. Petugas langsung membuatnya; “Ibu-ibu, bapak-bapak, jangan buang sampah di kloset maupun di saluran air, terima kasih”. Begitu isi tulisannya.

Disinilah sumber segala petaka itu.

Peringatan itu langsung dikomentari entah oleh siapa, “selain ibu-ibu dan bapak-bapak, boleh dong”. Lalu ia tersenyum dengan maksud memancing di air keruh.

Komentar itu mendapat respon pedas, yang juga entah oleh siapa, “kalau gitu, ajak datukmu sekalian melanggar aturan”.

Beberapa hari berikutnya, saya kembali mampir ke wc itu. Dan debat mereka berlanjut. “besok, ku ajak datukmu juga”. Kali ini ia bukan hanya tersenyum, tapi juga menjulurkan lidah. Saya kurang paham maksudnya apa.

Keesokannya lagi, debat semakin panas. Karena datuknya diajak melanggar aturan oleh si pemulai debat, orang itu naik pitam. “datukku adalah orang yang taat pada aturan, tidak seperti kamu. Ada aturan saja tapi tidak patuh”. Mungkin maksudnya begini, sedangkan diatur, atau ada aturan saja kamu masih tidak mengikutinya, apalagi jika dibebaskan.

Setelah beberapa kali saya mampir lagi ke wc itu, debat tidak dilanjutkan. Mungkin karena medianya terbatas. Semenjak itu, saya berharap pemilik wc peka dengan ini. tolong fasilitasi mereka untuk berdebat. Tempelkan lagi beberapa lembaran kertas kosong dan kalau bisa sediakan alat-alat tulis lainnya.

Semenjak covid 19 melanda, saya sudah tidak lagi mampir kesana. Selain itu, saya juga mendapat informasi bahwa di warung kopi itu wifinya sudah diputus. Maka otomatis, kalau saya kesana pasti tidak akan betah.

Entah ada atau tidak manfaatnya, paling tidak saya telah menawarkan kepada pembaca bahwa disana ada tempat berdebat yang baru. Selamat berkunjung di debat dalam WC.

Salam Kalam Literasi

Fajri Al Mughni

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

BacaanTerkini

Pen Besi di Kaki Ibu Siti, dan Besi Tumpul di Kepala Pejabat Negeri
Siti Maswa, Sang Perempuan dengan Pen ...
“Ijazah: Antara Tuhan, Toga, dan Tipu Daya”
“Ijazah: Antara Tuhan, Toga, dan Tipu ...
Socrates Naik Dompeng: Logika Liar di Negeri Izin Fiktif
Di tanah Merangin dan Sarolangun yang ...

KategoriBacaan

ProgramTerbaik

BacaanLainnya

Siti Maswa, Sang Perempuan dengan Pen Besi yang Masih Menancap di Kaki
Dosen, Gelar, dan Makalah Copas: Komedi Tragis di Kampus Ilmu
"Wisudawan, Toga, Like, dan Cinta yang Tertinggal di Ruang Dosen"
Guratan Tak Terlihat di Balik Nilai
Pelatihan Literasi Digital di Desa Pematang Pauh 2024
Dari Jambi dan Kendari Menuju Kairo 2024
Persiapan Menuju Negeri Piramida 2025
Dari Jambi Menuju Kairo 2024
Manusia & Agama di Tahun Politik
Pilpres dan Mahasiswa