Corona Membuka Kenangan Lama
Oleh: Ahmad Farid Wajdi
Semenjak wabah Corona merebak dan menelan banyak korban, Pemerintah kita telah banyak memberlakukan kebijakan guna menekan penyebaran wabah yang ganas nan lincah tak terdeteksi ini. Ya, minimal menekan saja dulu, jika sudah tertekan tentu si wabah bakal lemah dan kalah. Sebut saja pembatasan sosial, menggalakkan kembali pola hidup bersih dan sehat, memberikan bantuan dengan beragam modelnya, ada yang uang tunai, sembako, penyuluhan kesehatan, potongan tagihan listrik, tagihan air, dan lain-lain. Yang intinya demi kesejahteraan bersama.
Namun dalam tulisan “corona membuka kenangan lama” saya tidak mengkritik kebijakan-kebijakan tersebut, karena saya bukan tukang kritik. Dan tidak pula memaparkan kebijakan-kebijakan tersebut dengan beragam teori dan analisa dari data-data. Kesimpulannya, tulisan di atas hanya sekedar pendahuluan saja. Ya, tujuannya agar terlihat kekinian, update, dan menghabiskan kuota minimal karakter yang diminta oleh redaksi Kalam Literasi. Saya berharap ini tidak diedit oleh tim redaksi. Hehe.
Lalu apa hubungan tulisan saya kali ini dengan Corona membuka kenangan lama?
Sebenarnya ini dihubung-hubungkan saja.
Saat saya menulis ketikan singkat ini, saya sedang duduk di pos ronda komplek perumahan. Saat saya menuliskan tulisan ini saya sedang mendapat giliran ronda. Ini adalah ronda kali kedua, selama saya tinggal di perumahan ini. Bukan karena saya warga baru, tapi rumah ini baru saya tempati setelah sekian tahun saya beli. Kenapa baru saya tempati? Itu urusan saya.
Lalu apa hubungan Corona dengan ronda?
Sesuai arahan dari atasan, Ketua RT kami mengaktifkan kembali Siskamling yang sempat nonaktif. Demi menjaga keamanan lingkungan, baik mengamankan dari tindak kejahatan di wilayah RT dan Perumahan kami, sekaligus membatasi keluar masuknya orang luar ke wilayah kami. Ya, itu tadi meminimalisir penyebaran wabah corona juga.
Seperti yang saya sampaikan sebelumnya, tulisan ini hanya dihubung-hubungkan dengan corona saja. Kenapa begitu? Sebenarnya seperti tulisan-tulisan saya di Kalam Literasi sebelumnya, ada kenangan, ada nostalgia di bagian yang saya tulis, ada sesuatu yang menarik dalam ingatan saya. Ini sesuai dengan pesan redaktur, tulisan yang dikirim minimal menarik bagi diri si penulis sendiri. Karena ini menarik, jadi saya tulis. Kalau sudah saya tulis, tentu saya ingin orang-orang juga mengetahui dan merasakan ketertarikan saya.
Jadi begini, setiap kali saya bergadang di malam hari, pikiran saya selalu memunculkan kenangan-kenangan lama saat bersama para sahabat semasa ngaji di Madrasah As’ad dulu. Kenapa begitu? Dulu, kami sangat gemar meronda. Mungkin bahasa dulunya bukan ronda dan bukan siskamling, tapi bulis. Ya, kami dulu begitu gemar bulis malam. Bahkan saking gemarnya, hampir tiap malam bulis, hampir tiap malam ronda. Seakan ada rasa kecewa jika tidak dapat jadwal bulis. Ketika Qismul Amni akan mengumunkan, kita sudah lobi terlebih dahulu.
Lalu apa istimewanya bulis kala itu?
Secara rasional tingkat tinggi kalangan akademisi perguruan tinggi yang memiliki titel panjang, mungkin ini tidak ada istimewanya. Namun bagi kami, ada sesuatu yang menyenangkan saat bulis.
Apa itu?
Pertama: dapat kopi dan teh dari kantor asrama. Bahkan terkadang ada yang begitu semangat menjemput kopi dan teh di kantor. Apa tujuannya? Ya, benar. Santri putri pasti ada di kantor. Namun saya klarifikasi di sini, seingat saya, saya tidak mengambil kopi dan teh di kantor. Saya hanya menikmatinya berama teman-teman saja. Terkhusus teh, saya dulu sangat suka minum teh ketika bulis. Saking sukanya saya dengan teh, saya tuliskan beberapa puisi dengan judul dan tema teh yang termuat dalam kumpulan puisi saya “Mutiara Di Gelap Malam”. Lalu siapa yang biasa mengambil kopi dan teh di kantor? Biarkan dia tersenyum sendiri saat membaca tulisan saya ini, dan jika berkenan dia akan menunjukkan diri di kolom komentar.
Kedua: kesempatan terbaik untuk ngumpul bersama kawan-kawan. Lah, bukannya di pondok kita selalu berkumpul? Benar, kita memang selalu bertemu, namun tidak ada waktu yang lebih asyik dan nikmat berkumpul bersama kawan-kawan dengan bebas bercerita, ngota lah kato orang Jambi tu. Tak terasa subuh pun menjelang.
Ketiga: Begadang secara legal. Jika di pondok ada jam malam, semua santri mesti tidur atau minimal berdiam diri di kamar masing-masing, maka kita-kita yang bulis merdeka untuk bergadang. Kok senang bergadang? Kalau menurut saya pribadi, kami bukan senang bergadang, tetapi mata sudah terlanjur merajuk. Saat Isya itu waktu terngantuk menurut saya, namun selesai shalat Isya kita mesti ngaji kitab kuning dulu. Paling cepat selesai ngaji jam 21.30, rata-rata 22.00 atau sepuluh malam. Pulang ngaji, lapar. Masak, terus makan tak terasa jam sebelas malam. Sah, kantuk pun merajuk. Daripada begadang sendiri di kamar lebih asyik bulis bersama teman-teman.
Keempat: menyalurkan hobi terpendam. Kita belajar dari bangun tidur sampai bangun tidur. Bahkan saat tidur pun kita belajar. Kita tidur saat belajar. Tentu ada hobi-hobi yang terbendung yang hanya bisa dilepaskan saat bulis. Di antara hobi-hobi tersebut, kita sebutkan sedikit: memancing ikan di sungai Batang Hari dengan umpan lipas atau kecoa, yang suka memasak dapat bagian memasak ikan hasil pancingan, yang suka menulis tentu tengah malam adalah waktu terbaik karena begitu banyak inspirasi bermunculan untuk dituliskan di buku diary, apalagi jika itu diary dari santri putri.
Kelima: saya rasa yang ini kita rahasiakan saja. Saya tahu, teman-teman juga sudah tahu. Ada yang jadi pelaku, ada yang jadi saksi di sini, minimal dapat otanyo be. Yang jelas bagian ini hanya dilakukan oleh mereka yang memiliki jiwa petualang dan suka memancing adrenalin.
Baiklah saya rasa cukup nostalgia kita kali ini, sampai jumpa di tulisan berikutnya. Jika tidak sabar, kita berjumpa di rumah saja. Saya mohon maaf jika ada kesamaan peristiwa, sebab sejarah pasti berulang dengan waktu, tempat dan tokoh yang berbeda. Corona membuka kenangan lama.
Salam Kalam Literasi
Pos Ronda RT 11 Sungai Duren.
7 Juni 2020 / 15 Syawal 1441 03:45