BERGESER-GESER

BERGESER-GESER

Judul ini otomatis akan menimbulkan pertanyaan. Apanya yang bergeser-geser?

Saya tidak sempat meneliti apa yang bergeser pada setiap periode pergantian abad. Tapi paling tidak, saya akan kemukakan yang ingat-ingat saja.

#Demokrasi telah bergeser.

Pada permulaannya, semua orang akan berucap, “I love you democracy”. Kata Cak Nun, pidato Pak Lurah dan ketua RT pun menyebut itu. Entahlah dengan Pak Camat. Belum pernah ku dengar ia berucap begitu. Bahkan kemarin ada video pak Camat yang menodai kesucian demokrasi.

Sebenarnya Demokrasi itu suci, maka sungguh tak pantas jika manusia kotor seperti saya membicarakannya. Tapi paling tidak saya berusaha menjunjungnya. Kata Cak Nun lagi, ibarat iblis menjunjung Tuhan.

Demokrasi itu bak “perawan”, yang merdeka dan memerdekakan. Watak utamanya adalah “mempersilahkan”. Tidak punya konsep menolak, menyingkirkan atau membuang. Semua orang berhak hidup bersama si perawan, bahkan memperkosanya; yang melarang memperkosanya bukan si perawan itu sendiri, melainkan “sahabat”-nya yang bernama moral dan hukum.

Jangan manfaatkan si perawan untuk menggoda para bujang. Money politic tidak diawasi oleh si perawan, karena yang bertugas untuk itu adalah undang-undang.

Demokrasi mempersilahkan anda memakai narkoba, murid SMP nobar video porno, lelaki berpoligami atau bermonogami, suami-suami istri-istri bertukar teman tidur, warga ikut milih atau golput. Silahkan.

Karena yang mengurusi narkoba bukan demokrasi, tapi rekanan kerja peradabannya yang bernama ilmu kesehatan.

Menghindari penyebaran video dewasa adalah tindakan moral dan menjaga keselamatan hidup. Menanggapi dinamika hubungan suami istri adalah menjaga keseimbangan dalam masyarakat. Mengamati pemilihan umum dan tingkat golput adalah terlibat dalam pertarungan kekuasaan dan mendapatkan akses politik.

Demokrasi itu perawan suci yang yatim piatu. Tak jelas siapa bapak ibunya. Nasibnya juga samar. Begitu kata Cak Nun dalam buku “Demokrasi La Roiba Fih”.

#Etika yang bergeser

Dulu, guru itu dipandang dua sekaligus. Dihormati dan ditakuti. Tapi kini? Jangankan takut, hormat pun tidak.

Ada seorang guru yang bercerita; katanya, dia pernah dipanggil oleh muridnya pas mau naik tangga eskalator atau apa itu namanya, tangga yang berjalan otomatis. Canggih. Hebatnya, setelah dia dipanggil oleh murid itu, sang murid langsung berkata, “ciee.. bapak jalan-jalan ke mall juga ya”?

Pliss deh.. guru juga pingin jalan-jalan ke mall. Meski ketika mau naik eskalator baca bismillah lalu bertakbir. Antara cemas dan tawakal.

Ini salah satu contoh kasus. Sebenarnya masih banyak. Tapi silahkan kawan-kawan cari contoh lain.

#Kreativitas yang bergeser

Dulu, alam mengajarkan kepada anak-anak untuk kreatif. Tapi kini, alam di setting mengajak orang untuk “manja”. Ada sih yang kreatif, misalnya mencari sinyal sampai ke puncak pohon cempedak. Tak sadar dia bahwa ranting cempedak mudah patah. Atau nyungsep alias nyungkur di bawah ranjang. Entah apa maksudnya. Bisa jadi sinyal sedang numpuk disana.

Jika ia cerdas, sinyal bagus akan memunculkan kreativitas mahal. Tapi jika tidak, alamat kapal akan tenggelam.

Tapikan pola settingan yang begini lumayan merepotkan bagi orang tua yang jangankan untuk membeli hape, kadang arang dapur pun jadi pengganti kopi. Ah.. pokoknya susahlah.

#Pola belajar beragama yang bergeser.

Sebenarnya ini belum akhir dari banyaknya yang bergeser. Ini hanya akhir dari artikel ini. Dulu, orang tua berlomba-lomba mengirimkan anaknya sekolah di pesantren, biar dia mondok. Di sanksi kalau ia melanggar, dinasihati, diberi tunjuk ajar, dan sesekali ditampar tidak masalah. Tapi kini, orang tua tak perlu lagi seperti itu. Karena sudah banyak guru di media sosial. Sudah ada lembaga yang menawarkan berbagai ke-instanannya. Belajar Bahasa arab instan, Bahasa inggris instan, fiqh instan, tauhid instan, dan instan-instan lainnya. ini kan sejalan dengan keinginan manusia abad ini, maunya yang cepat-cepat. Cepat jadi, meski tak jadi-jadi amat.

Apa mungkin harus ada gerakan kembali ke model lama?

Takutnya nanti dibilang katrok pulak. Gak mengikuti zaman katanya. Tidak milenial. Padahal ia juga tak paham-paham amat apa itu milenial. Ini saja dulu, semoga terhibur. Mengapa terhibur? Karena orang-orang sekarang suka mencari hiburan. Bahkan membaca pun tidak mau kalau dianggap tidak menghibur.

Salam Kalam Literasi

Fajri Al Mughni

Jambi, 10 Juni 2020

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

BacaanTerkini

Pen Besi di Kaki Ibu Siti, dan Besi Tumpul di Kepala Pejabat Negeri
Siti Maswa, Sang Perempuan dengan Pen ...
“Ijazah: Antara Tuhan, Toga, dan Tipu Daya”
“Ijazah: Antara Tuhan, Toga, dan Tipu ...
Socrates Naik Dompeng: Logika Liar di Negeri Izin Fiktif
Di tanah Merangin dan Sarolangun yang ...

KategoriBacaan

ProgramTerbaik

BacaanLainnya

“Ijazah: Antara Tuhan, Toga, dan Tipu Daya”
Dosen, Gelar, dan Makalah Copas: Komedi Tragis di Kampus Ilmu
"Wisudawan, Toga, Like, dan Cinta yang Tertinggal di Ruang Dosen"
Guratan Tak Terlihat di Balik Nilai
Proyek Historiografi DAHA
Pelatihan Literasi Digital di Desa Pematang Pauh 2024
Dari Jambi dan Kendari Menuju Kairo 2024
Persiapan Menuju Negeri Piramida 2025
Dari Jambi Menuju Kairo 2024