Nadjmi, Idola Gadis Seberang
Sesampainya di rumah Bibi Rahma, Hj. Zainab masuk melewati pintu samping, khusus tempat para ibu-ibu dan para gadis Seberang berkumpul. Kedatangan Hj. Zainab disambut hangat oleh ibu-ibu, mereka bertanya; “dengan siapo datang mbok?” sambil mencari tempat duduk, ia menjawab singkat, “dengan Nadjmi”.
Gadis-gadis yang duduk berkelompok di pojok dapur, girang mendengar itu. Tidak begitu pasti ada berapa orang para gadis yang duduk dibelakang, ketika nama guru disebut emaknya, mereka yang sedang duduk bersila memegang erat lutut dan menggerak-gerakkannya. Andai tidak sedang ada hajatan, pasti mereka meraung-raung.
Saya tak paham itu tanda apa, mungkin geram, gregetan, atau apalah namanya. Disela-sela itu terdengar ada suara ibu-ibu yang berusaha menghentikan kelakuan para gadis itu, “husstt.. kanji nian”.
Mereka berhenti bertingkah aneh, tapi lanjut saling berbisik, hanya mereka yang tahu isi bisikan itu. Para gadis yang berada di dapur luar tidak tahu menahu kehebohan itu, yang di dalam mungkin berkata “rugi budak tu duduk diluar”. Padahal mereka sendiri juga tak jelas dimana letak untungnya.
Sang guru masuk lewat pintu depan, sama dengan emaknya, ia juga disambut oleh tuan rumah dan para undangan yang sudah berada di dalam. Hanya saja, respon bapak-bapak tak sama dengan respon ibu-ibu, apalagi para gadis. Bapak-bapak cenderung santai, meski dalam hati juga berucap; “Nadjmi ko cocok nian kalu jadi menantu sayo”. Atau “cemanolah caronyo biak Nadjmi jadi menantu”.
Pukul empat sore acara selesai. Semua undangan mulai meninggalkan rumah Bibi Rahma. Guru masih menunggu di depan rumah, karena emaknya masih di dalam. Beberapa gadis keluar duluan berharap bertemu beliau. “minimal Nadjmi nengok kito”. Begitu kata mereka.
Sore itu, usaha para gadis tidak sia-sia. Guru Nadjmi yang masih berdiri menunggu emaknya, melemparkan senyum kepada setiap yang berjalan melewatinya. Satu persatu para gadis itu berjalan dan saling berbalas senyum dengan idolanya. Sekali lagi, senyuman sang guru memakan korban.
Salam Kalam Literasi
Kisah ini diambil dari Buku “Nadjmi; Guru Sejati dan Politikus Hakiki”
Fajri Al Mughni