*Fajri Al Mughni
Semakin hari kondisi adiknya semakin melemah, semua usaha yang beriringan dengan do’a telah maksimal diberikan. Guru Hasan tampak sangat lemah, sesekali matanya terpejam, tapi tidak bisa tidur. Melihat bibirnya, Guru Nadjmi tahu bahwa adiknya sedang berdzikir dalam hati.
Tiga bulan Guru Nadjmi menemani adiknya di rumah sakit, semua pekerjaan ia tinggalkan. Kasih sayangnya tak dapat dibilang, perhatiannya sebagai abang membuat semua orang yang ada di rumah sakit iri dan cemburu.
Ibu Badriah tak kuasa menahan haru, ia benar-benar bersyukur bisa menjadi bagian dari keluarga ini. Oleh karena itu semua, ia kuat menjalani hari-harinya menemani sang suami yang juga ditemani oleh keluarga. Apalagi abangnya, Guru Nadjmi, yang standby setiap hari. Tak salah jauh-jauh dari Solo mendapatkan suami orang Jambi yang memiliki keluarga hebat.
Bukan itu saja, selama tiga bulan menemani suami dirawat, anak-anaknya dijaga dengan baik oleh “Mak Ngah Chodijah”. Tiga orang anaknya, Abdul Qadir Jailani, Fathiyatur Rohmah dan Tohirotu Diniyyah sangat dekat dengan Mak Ngah. Bagi mereka, Mak Ngah sudah seperti ibu kandungnya.
⃰ ⃰ ⃰
Guru Nadjmi hari ini seharian bersama adiknya. Bercerita, saling memotivasi, terkadang tersenyum mengingat dulu mereka sering ke pasar mengayuh perahu. Sambil menahan sakit kanker usus stadium empat, guru Hasan masih tersenyum. Semenjak pertama kali diuji oleh sakit, ia ikhlas. Sekalipun tak pernah mengeluh.
Keesokan harinya guru Nadjmi tak enak hati, ia melihat keluar jendela rumah sakit tampak beberapa pohon seolah melihat ke arahnya dengan pandangan sayu. Bunga-bunga dalam pot, layu. Langit mendung, angin bingung tak tau mau bertiup kemana. Di Jambi, kabarnya turun hujan, di Solo, hujan baru saja berhenti. Beberapa perawat yang datang mengecek kondisi guru Hasan, wajahnya pucat. Ibu Badriah mengaji, suaranya bergetar, kadang tak sampai. Sesekali guru Nadjmi menatap wajah adiknya, tak tahan, ia palingkan wajah lagi keluar jendela. Air mata menggenang di dalam, belum keluar sudah diusapnya.
Guru Hasan yang melihat abangnya resah, lalu mengangkat tangannya sebagai isyarat meminta abangnya untuk mendekat. Guru Nadjmi memahami isyarat itu, ia mendekat, sangat dekat. Guru Hasan berkata pelan;
“Bang Cik, guru Nadjmi..” ucapnya lirih.
“Iyo, sayo”, jawab guru Nadjmi
“Sayo sudah cukup lamo menjadi ketua Yayasan, kalu nengok kondisi ini, sayo mungkin dak biso lagi memimpin As’ad. Untuk itu, sayo minta kepado guru Nadjmi untuk menggantikan sayo memimpin dan melanjutkan perjuangan ini”. Mendengar itu, Guru Nadjmi menangis. Tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Ia hanya mengangguk.
Berawal dari amanah itulah, Guru Nadjmi yang sebelumnya hanya dilibatkan untuk membantu pada bagian pengelolaan pembangunan berganti posisi menjadi pimpinan atau ketua Yayasan Pondok Pesantren As’ad.
⃰ ⃰ ⃰
Sekira waktu dhuha, kondisi adiknya semakin melemah. Bu Badriah berada disebelah kirinya, Guru Nadjmi tepat disebelah kanan adiknya tersayang. Dengan mengucap kalimah tahlil, “La ilaha Illallah, Muhammad Rasulullah”, Tuan Guru, K.H. Muhammad Hasan meninggal dunia diumur 40 tahun. Meninggalkan seorang istri yang cantik, santun, ramah, cerdas, dan juga seorang guru. Juga meninggalkan tiga orang anak yang sangat istimewa, ceria, penurut dan tentunya juga pintar. Ketiganya waktu itu masih kecil.
Entah apa yang dirasakan oleh Guru Nadjmi ketika itu. Tulang-tulangnya lemas, tubuhnya lunglai, jari-jarinya gemetar, air matanya tak mampu lagi ditahan. Bajunya basah. Ia memeluk erat adiknya dan mencium keningnya.
Bu Badriah tak henti-hentinya menangis. Ia paham, tak seharusnya begitu. Tapi sungguh ia tak sanggup. Mulutnya terus beristighfar meminta ampun kepada Allah. Matanya bukan lagi sembab, tapi bengkak. Ia tak sadar dirinya sedang berada dimana, tidak tahu harus berbuat apa. Guru Nadjmi dan keluarga terus memberinya nasehat agar bersabar, Allah menyayangi suaminya.
Kabar duka ini dengan cepat sampai ke Jambi dan Solo. Di Jambi, semua penduduknya berduka. Ucapan-ucapan kalimat duka keluar dari segala penjuru. Seorang ulama telah berpulang, membawa kesedihan yang sangat mendalam bagi para generasi penerus Islam. Para keluarga menyiapkan segala hal ihwalnya menyambut jenazah yang akan dikebumikan di Jambi. Tanah kelahiran sang guru.
Hari itu juga, jenazah guru Hasan diterbangkan ke Jambi. Di bandara telah menunggu sanak keluarga, masyarakat, dan dua mobil ambulans. Satu ambulans tak tahu siapa yang koordinir, tiba-tiba sudah ada dua mobil. Tapi ternyata, Allah Maha Tahu. Setibanya jenazah dan keluarga di Bandara Jambi, jenazah dimasukkan ke dalam mobil ambulans, sedangkan satu ambulans lagi membawa ibu Badriah. Karena ketika hendak turun dari pesawat dan melihat anak-anaknya, ia pingsan. Keesokan harinya, jenazah guru Hasan di makamkan. Innalillahi wa inna ilaihi roojiun. Guru Hasan meninggal husnul khotimah dalam kalimah talqin dan dipelukan abang serta istrinya.
Salam. Kalam literasi
Tulisan ini diambil dari buku, “Nadjmi; Guru Sejati dan Politikus Hakiki”