Amanah dan Kasih Sayang Seorang Abang
*Fajri Al Mughni
Sebagai informasi untuk mengingat kembali, bahwa Hj. Zainab melahirkan enam orang anak, Muhammad Manshur, Muhammad Nadjmi Qadir, Muhammad Hasan, Chodijah, Nafisah dan satu lagi kembarannya Nafisah yang meninggal ketika masih dalam kandungan. Manshur meninggal sejak masih kecil, sekira diumur tiga tahun. Sedangkan Nafisah meninggal diumur yang baru satu minggu.
Sebenarnya Muhammad Manshur merupakan anak tertua, yang kelak akan diharapkan menggantikan abahnya untuk menjaga adik-adiknya. Tapi Allah berkehendak lain, Manshur tak sempat menggantikan posisi abah karena beliau lebih dulu meninggal diusia yang masih sangat muda. Maka melihat kondisi ini, otomatis membuat guru Nadjmi menjadi anak tertua. Amanah dalam menjaga keluarga berada ditangannya.
Dalam ketegasan seorang Muhammad Nadjmi Qadir, tersimpan sebuah sifat yang sangat penyayang kepada keluarga. Bertanggung jawab dan lembut hatinya.
⃰ ⃰ ⃰
Adzan magrib terdengar lantang di setiap rumah-rumah orang Seberang. Guru Nadjmi belum pulang, beliau masih di madrasah. Hari itu beliau banyak menerima tamu dari beberapa tokoh politik yang hendak meminta fatwa. Bu Ulya gelisah tak tentu, cuaca mendung sejak pagi, tapi air hujan belum turun. Dari dalam kamar terdengar bunyi telpon rumahnya. Segera diangkatnya dan langsung mengenali bahwa itu suara Ibu Badriah Munawaroh, istrinya guru Hasan.
“assalamualaikum..”
“walaikumsalam.. mekdo, guru Hasan sakit, dari siang tadi lemah badannyo”.
“Mekdo” panggilan untuk bu Ulya oleh adik-adiknya, oleh cucunya, “Nyai Do”. Sederhana, karena bu Ulya anak paling mudo (muda).
“yolah Badriah, gek Do bagi tau samo bang cik”.
Setelah shalat maghrib di Madrasah, guru Nadjmi pulang. Setibanya dirumah beliau langsung disambut bu Ulya;
“bah, tadi Badriah nelpon, abahnyo Qadir sakit, lemah dari siang tadi”.
“innalillah.. yolah gek abah kesano, nak mandi sebentar”.
Seletelah shalat Isya, guru Nadjmi melihat kondisi adiknya sangat lemah. Ia berbincang sebentar dengan bu Badriah. Hasilnya, mereka sepakat besok sore akan membawa guru Hasan berobat ke Jakarta.
Malam itu guru Nadjmi tak tenang, tidurnya gelisah. Bu Ulya berusaha menenangkan,
“Abah tiduklah, besokkan kito nak ke Jakarta. Kalu dak tiduk, gek abah pulak yang sakit. Siapo yang nak ngurus guru Hasan kalau abah sakit”.
Pagi hari, beliau menyempatkan hadir ke Madrasah sebentar untuk mengabarkan perihal beliau akan berangkat ke Jakarta mengantar guru Hasan berobat. “Belum tau sampai kapan, mudah-mudahan guru Hasan cepat sembuh”. Ucap guru Nadjmi kepada para Pimpinan dan Pengelola Madrasah.
Dari Madrasah, beliau tidak langsung pulang. Tapi pergi ke pasar untuk menemui seorang dokter dan berkonsultasi. Saran dari dokter itu, Guru Hasan harus segera dibawa ke Jakarta, jangan ditunda lagi. “Tapi, sebelum berangkat, guru harus mencari orang yang dianggap penting di Jakarta agar prosesnya disana nanti cepat”. Ucap dokter tersebut.
Keluar dari rumah dokter, Guru Nadjmi naik angkot dan turun di terminal Rawasari. Dari sana, ia berjalan kaki melewati Jalan Peteran mengarah ke terminal perahu. Dalam perjalanan, ia tidak merasakan kakinya berpijak, pikirannya entah kemana, detak jantungnya lebih cepat dari biasanya. Air matanya ditahan, lalu tumpah ke dalam. Saat adiknya sedang sakit dan membutuhkan dana banyak, duit yang ada hanya seratus lima puluh ribu.
Pada masa itu, seratus lima puluh ribu memang banyak, tapi tentu tak cukup jika harus membawa adiknya berobat ke Jakarta. Harga tiket pesawat lima belas ribu, sedangkan yang berangkat menemani adiknya tidak mungkin dia se-orang. Namun agak tenang jiwanya karena setiap langkah diiringin dengan dzikir.
Beberapa orang pemilik toko melihat Guru Nadjmi sambil heran, lalu memanggilnya;
“Pak Haji…” panggil salah seorang pemilik toko, namanya “Pen Am”.
“Pak Haji nak kemano? Aku liat agak goyang langkahnyo, gontai dan pucat muko”.
“sayo rencana nak berangkat ke Jakarta bawak adik berobat”.
Mendengar itu, Koh Pen Am langsung mengeluarkan duit dari kantongnya, dua juta lima ratus ribu.
“ini pak Haji, ado duit dikit. Bawaklah adik dan berangkatlah ke Jakarta, mudah-mudahan membantu”
Karena memang sedang membutuhkan dana itu, Guru Nadjmi tak menolak.
“Baiklah, terimo kasih banyak koh, ini sudah lebih dari cukup”. Tutup Guru Nadjmi dan berjalan meninggalkannya.
Tak jauh dari toko kokoh Pen Am, Guru Nadjmi melewati toko Harapan Jaya. Pemiliknya bernama Huanran, kokoh Huan. Koh Huan telah berdiri di depan tokonya, ternyata ia ditelpon oleh Koh Pen Am.
Ketika Guru Nadjmi lewat di depannya, Koh Huan memanggilnya dan datang mengampiri;
“Pak Haji besok berangkat ke Jakarta ya, jangan sampai tidak jadi”. Sambil ia memberikan uang, dua juta rupiah.
Setelah memberikan uang tunai dua juta, Koh Huan juga mengeluarkan lima lembar cek.
“Ini ado jugo limo lembar Cek, sudah sayo tando tangani, cuma belum ditulis jumlahnyo pak haji. Nanti sampai Jakarta, pak Haji bisa cairkan duit. Tinggal pak Haji tulis berapo jumlah yang dibutuhkan”.
Karena harus segera pulang, Guru Nadjmi meninggalkan Koh Huan. Ia melanjutkan perjalanan. Sekarang ia melewati toko Damar. Hampir sama ketika ia melewati toko Harapan Jaya, pemilik toko Damar, Kokoh Yuwen, kembali memanggilnya;
“Pak Haji..” sambil berjalan mendekati Guru Nadjmi.
“Pak Haji, ini ado dikit duit, pak Haji bawaklah.. jangan pikirkan yang lain-lain lagi. Konsentrasilah mengurusi adik”.
Guru Nadjmi melihat tiga ikat duit, sekira jumlahnya tiga juta rupiah.
“Terimo kasih banyak Koh Yu”.
Kokoh Yuwen tersenyum, “samo-samo pak Haji, mudah-mudahan biso membantu”.
Guru Nadjmi terharu dengan kepedulian mereka, padahal tak seberapa kenal. Bahkan mungkin hanya berkomunikasi dua kali dalam setahun dengan mereka.
Sore harinya, setelah semuanya disiapkan. Guru Nadjmi dan beberapa orang keluarga berangkat ke Jakarta.
Tiba di Jakarta sebelum maghrib, ia beristirahat sebentar sambil menunggu adzan isya. Setelah Isya, beliau pergi ke salah satu tempat praktik dokter THT, namanya dokter Nasrun Munir. Guru Nadjmi tak tahu kalau dr. Nasrun merupakan ketua ahli THT se Indonesia.
“kapan Kiyai datang dari Jambi?” tanya sang dokter, tenang.
“tadi sore pak dokter”
“ohh.. baru sampai ya. Jadi, gimana pak Haji? Apa yang bisa saya bantu?”
“begini pak, adik saya mau dibawa berobat ke salah satu rumah sakit di sini, mohon dibantu, dok”. Pinta Guru Nadjmi.
Dr. Nasrun tidak menjawab itu, ia langsung mengambil sebuah kertas dan menuliskan memo. Tertulis disana, “permohonan tempat dan segera diproses pengobatan adik kandung saya bernama Muhammad Hasan”.
Guru Nadjmi sedikit terharu, ia baru sekali ini bertemu dengan dr. Nasrun, tapi dalam memo itu, ia menulis keterangan bahwa Muhammad Hasan adalah adik kandungnya, adik kadung dr. Nasrun Munir. Padahal tak besanak.
Begitu menerima memo itu, Guru Hasan langsung dibawa kerumah sakit terkenal di Jakarta, langsung diterima dan dapat tempat di Paviliun Erna. Namun kendala tak sudah sampai disitu. Guru Nadjmi dan keluarga dipandang sinis, dari kepala perawat hingga para perawatnya cuek setengah mati. Entah apa sebabnya mereka begitu, mungkin karena kucing rumahnya mati bertarung dengan kucing jalanan. Atau mungkin karena hewan ternaknya banyak yang mati sakit.
Guru Nadjmi geram. Ia turun ke lantai enam, ia mengambil telpon genggamnya dan menelpon dr. Fahmi Ja’far Saifuddin, anak dari Kiyai Saifuddin Zuhri. Waktu itu, dr. Fahmi merupakan Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat sekaligus menjabat sebagai pelaksana tugas rektor Universitas Indonesia.
“assalamualaikum..”
“walaikum salam..” Terdengar suara perempuan yang mengangkat telpon. Ia adalah Ibu Maryam, istri dari dr. Fahmi.
“mohon maaf, ini dengan siapa? Tanya bu Maryam, lembut.
“saya, Nadjmi Qadir dari Jambi”.
“oh.. iya Kiyai, ada apa gerangan menelpon?
“dik Maryam, Fahminya ada?”
“mas Fahmi sedang ada praktik umum, Kiyai”
“oh iya ndak apa-apa, nanti tolong sampaikan ke Fahmi, saya sekarang sedang berada di Rumah sakit di Jakarta, adik saya, Muhammad Hasan dirawat”.
Malam itu, setelah memastikan ruangan untuk Guru Hasan, ia pulang ke penginapan. Pagi-pagi sekali beliau sudah berangkat ke Rumah Sakit. Setibanya disana ada pemandangan yang berbeda dari hari pertama, ruangan tempat Guru Hasan di rawat telah dipenuhi oleh para perawat yang sedang bekerja, bahkan kepala perawat terlihat membersihkan badan Guru Hasan.
Setelah mereka selesai memeriksa dan memberikan obat, Guru Nadjmi masuk ke ruangan. Guru Hasan dengan suara berat dan pelan berkata kepada abangnya;
“tadi pagi sekitar pukul tujuh, dr. Fahmi datang kemari”
Guru Nadjmi bergumam; “hmm.. pantas bae suasana mendadak berubah”.
Salam. Kalam literasi
Tulisan ini diambil dari buku, “Nadjmi; Guru Sejati dan Politikus Hakiki”