Di tanah Merangin dan Sarolangun yang kaya, bukan hanya oleh ilmu, tapi juga oleh lumpur emas. Aktivitas PETI (Pertambangan Tanpa Izin) tampaknya bukan lagi pelanggaran, tapi semacam filsafat hidup: Cogito ergo gali. “aku berpikir maka aku menambang.”
Para penambang bak murid Socrates, bertanya tanpa henti: “Apa itu izin?” Sebab di Merangin, izin seolah mitos seperti Atlantis, banyak dibicarakan, tapi tak pernah terlihat. Anehnya, yang paling peka terhadap suara mesin dompeng justru bukan aparat, tapi penduduk yang tak kebagian setoran.
Pemerintah? Hmm mereka menjalankan doktrin Zen: diam adalah pencerahan. Bahkan mungkin sedang menulis tesis atau mungkin desertasi tentang eksistensialisme tambang liar, bahwa eksistensi alat berat mendahului esensi hukum.
Lucunya, ketika rakyat mengeluh banjir, longsor, Sungainya keruh, airnya butek, ikan-ikan mati, belut nian dak berani keluar lubang. Lalu, pemerintah menjawab dengan kalimat yang penuh kebijaksanaan: “Kami akan bentuk tim.” Entahlah tim yang mana. Mungkin tim sepak bola, tim rebana, atau tim pengalihan isu.
Sebuah narasi sarkas dan satire mungkin memang tak cukup efektif untuk kondisi yang terjadi. Bahkan besar kemungkinan hanya menjadi lelucon dan hiburan bagi para pemangku kepentingan. Mereka berucap, “Biarkan orang-orang sibuk melempar batu, kita sedang membangun istana.”
Maka, di Merangin dan Sarolangun, hukum bukan untuk ditaati, tapi untuk ditertawakan. Karena di sini, logika tambang liar lebih kuat dari logika negara.
Fajri Al Mughni