Solusi Melewati Penyekatan Tanpa Kartu Vaksin: Apa yang Harus Dilakukan?
Melihat Kerumuman Vaksin Masal, Saya Tidak Jadi Ikut Antri, Karena Takut Melanggar Aturan
Pemerintah mungkin saja marah dengan bentuk-bentuk narasi semacam ini, tapi gimana lagi, fakta di lapangan memang begitu. Kawanku belum jadi kawin karena larangan berkerumun. Guru-guruku belum bisa tabligh akbar, karena akan mengundang kerumunan massa. Pondok Pesantrenku juga batal mengadakan acara harlah.
Muncul dialog:
“kegiatan vaksin tidak sama dengan kegiatan-kegiatan kerumunan lainnya. Ini darurat, vaksin wajib diselenggarakan, meskipun berkerumun”.
“Tapi, kawin juga hukumnya wajib om. Apalagi bagi kawanku itu. Dia sudah tak tahan”.
“Nah kan bisa mengadakan acara di rumah saja, undangan terbatas, cukup internal keluarga, tak perlu mengundang massa”.
“Lalu, apakah kegiatan vaksin tidak bisa diatur agar tidak berkerumun?” maksudnya, apakah memang wajib terpusat?”
“Bisa, tapi repot, dana yang dikeluarkan juga tidak sedikit. Anda gak usah sok proteslah, sudah sukur dikasih vaksin gratis”.
Baiklah, kami kalah kalau bab gratis. Cuma mohon maaf nih om, saya mau nanya sedikit, kabarnya vaksin itu banyak macam, jenis dan ragamnya, ada yang mahal, sedang, dan mungkin murah. Nah, yang digratiskan itu yang jenis apa ya? Karena jika sudah di tempat vaksin, besar kemungkinan tidak bisa berdialog dan tanya jawab seperti ini. Begitu sampai, duduk, sing-singkan lengan baju, lalu ditusuk. Adawww.
Belum lagi ada informasi bahwa vaksin itu “cocok-cocokkan”. Yang cocok, aman. Yang tak cocok, demam 2 minggu. Bagi kami yang tak punya gaji bulanan, tidak bekerja 2 minggu bisa kacau keuangan. Mau jual asset, tak punya. Minjam sama sanak saudara, mereka sama susahnya. Ngutang sama kawan, malu. Mereka juga tak kalah susah. Ada sih bantuan dari pemerintah, tapi tak cukup untuk 2 minggu.
Saya sudah coba searching diinternet terkait informasi-informasi semacam itu, tapi masih tak puas. Khawatir terpapar virus hoaks. Katanya, virus hoaks lebih bahaya dari covid. Konsultasi ke dokter, mahal.
Kami-kami yang belum vaksin ini takut keluar rumah. Takut virus, takut penyekatan, takut dirazia, ditanya-tanya dan lain-lain. Mahasiswa malas keluar rumah, takut ditanya sudah sampai mana progress penyelesaian skripsi. Anak bujang, gadis yang sudah tak sabar kawin tapi belum laku, berat mau pergi-pergi, takut ditanya sudah kawin belum?. Yang sudah kawin tapi belum punya anak, khwatir ditanya sudah punya anak berapa. Yang punya banyak cicilan kredit cemas setiap hari, takut ditagih.
Ada satu opsi jika melewati penyekatan dan ditanya kartu vaksin, jawab saja “saya sedang mau pergi ke tempat vaksin”. Tapi masalahnya apakah pak Polisi dan TNI percaya begitu saja?
Berat, berat. Meskipun berat, kita wajib tetap bersyukur. Di Afganistan sana, tentara Taliban bertanya sambil menodongkan senjata. Salah bicara, anda tewas. Salah kostum, anda tamat. Salah putar lagu, siap-siap kena rudal. Di Afganistan, virus covid putar kepala dan tidak bisa lewat jalan tikus.
Lalu, bagaimana nih baiknya?
Tenang, tenangkan hati, pikiran dan jiwa. Lalu duduk, minum kopi, jika tidak ada kopi, arang pun jadi. Tidak usah pakai gula, biar sehat. Setelah itu, cari rawa-rawa dekat rumah, telusuri pinggiran rawa sampai ketemu lobang belut, lalu masukkan kail, jangan lupa pakai umpan, bisa dengan umpan cacing, umpan jangrik, umpan lipas, atau umpan kerupuk, tapi jangan umpan lambung, karena bek lawan sangat Tangguh.
Insya Allah kalau lobang baru, ada belutnya.
Salam Kalam Literasi
Fajri Al Mughni
27 Agustus 2021