Maroko – Mekkah – Gunung Dempo
Perjalanan langsung dimulai ke Kepahiang-Bengkulu. Sepulangnya dari sana, mampir di Pagar Alam.
Tokoh utama dalam gambar di atas adalah Bung Mukhlis Syarifuddin. Salah satu putra terbaik Aceh yang bekerja di Kedutaan RI di Maroko, alumni Universitas Al-Azhar Asyarif dan magister di Malaysia, lupa di Univ apa. Istri beliau adalah putri terbaik milik Provinsi Jambi yang juga alumni Universitas Al-Azhar Syarif.
Tokoh central dalam gambar adalah Buya Piter Al-Makki. Seorang Kyai asal Sumatera Selatan yang menyelesaikan pendidikan Dasar, Menengah, Menengah Atas di Arab Saudi. Lalu ditutup dengan menyelesaikan jenjang Universitas di Umul Quro-Mekkah.
Adapun dua orang yang dibelakangnya merupakan asli lokal, Ustadz Ahmad Fauzi Idrus dan saya sendiri. Meski sama-sama lokal, tapi Ustadz Fauzi adalah produk lokal yang men-internasional. Se-lokal-lokalnya Ustadz Fauzi, beliau menamatkan sekolah di Tanah Jawa-Ngabar. Sedangkan saya, murni lokal nianlah, “As’ad-Olak Kemang”.
Di sini, saya hanya numpang mendompleng saja. Bung Mukhlis bicara Maroko saya mengangguk, Buya Piter ngomongin Mekkah, saya pura-pura paham, Ustadz Fauzi bernarasi panjang tentang ziarah internasionalnya, Eropa-Afrika, Amerika dan hampir seluruh Jazirah Arab telah dikelilingi. Jangan tanya Asia. Mendengar itu, saya menelan ludah, kedinginan, lalu mengangguk sejadi-jadinya.
Mengapa “orang” Maroko ke Gunung Dempo?
Dari sekian banyak alasannya, terdapat satu argument logis yang mengena, yaitu ingin berselfie di kaki Gunug Dempo sambil mengunyah daun teh yang dipetik langsung.
Kemudian, mengapa pula “orang” Mekkah ke Gunung Dempo?
Alasannya tak kalah menarik, yaitu ingin mentadabburi makna yang terkandung dalam filosofi kata dempo. Kalau gunung-gunung lain yang ada di Arab Saudi, beliau sudah khatam.
Setelah merasakan nikmatnya hembusan angin di puncak Gunung, Bung Mukhlis “membeli” oleh-oleh yang insya Allah akan dibawa ke Maroko. Tentu oleh-olehnya bukan souvenir, tapi ide dan rencana yang mahal. Saya bersemangat menemani.
Lalu, apa poin pentingnya tulisan ini?
Mohon maaf, anda selalu remeh dengan hal yang tidak penting. Padahal sebenarnya padat dengan hikmah. Hikmah pertama, saya bersyukur bisa berkenalan dengan orang-orang yang penuh dengan motivasi hidup dan cita-cita mulia. Kata bang Muhklis, “ini peluang syekh, kita harus terus berjuang meski berat”. Kalimat itu muncul ketika kami sedang mendiskusikan tentang bagaimana caranya mengubah biji kopi asalan menjadi rostingan yang siap digiling lalu diseduh.
Disela-sela itu, Buya Piter bercerita tentang bisnis sampingannya yang sederhana. Nasi uduk pecel lele. Kata Buya Piter, “alhamdulilah dapatlah 15 juta perbulan”.
Saya tambahkan sedikit informasi, Buya Piter adalah Dosen di UIN Raden Fatah Palembang. Pegawai Negeri. Tahun 2019 kemarin, Buya Piter berhenti menjadi dosen, pensiun dini. “pengajuan pensiun aku serempak dengan Somad (UAS)”.
Saya tanya mengapa berhenti dari pegawai negeri mang?
Buya Piter menjawab singkat sambil senyum sinis, “capek aku, enak mak inilah, bebas”. Mendengar kisah Buya Piter, bang Fauzi menoleh ke saya, memang tidak berkata apa-apa tapi penuh makna, dan saya paham.
Setelah 3 hari 2 malam di Bengkulu, kami bergerak pulang ke Jambi. Buya Piter langsung ke Palembang. Sesampainya di Jambi, Bang Mukhlis melanjutkan perjalanan ke Merlung, ia tak sabar bertemu dengan murid-murid di Surau dekat rumahnya. Jika duduk mengajar ngaji di Surau itu, tak nampak bahwa ia merupakan seorang ahli Bahasa (Arab, Inggris, Prancis, Tunis), diplomat, kiyai, dan sosialis.
Bagaimana dengan Bang Fauzi? Sepertinya tak perlu saya jelaskan panjang lebar. Siapa yang tidak kenal dengan Ustadz Ahmad Fauzi Idrus? Semua kenal kecuali yang tidak.
Tapi mungkin ada sedikit informasi tambahan, selain bang Fauzi merupakan Direktur utama PT. Al Mabrur Nadia Insani, komisaris di beberapa perusahaan, pengusaha ikan, pebisnis kopi, dan sekarang beliau sibuk ke kebun duren yang telah lama tidak beliau kunjungi. Kebun duren bang Fauzi tak main-main, terdapat puluhan bahkan ratusan batang yang hampir semuanya berbuah. Saya sudah beberapa kali main ke sana, banyak duren yang “bedebuk” memunculkan suara-suara horror yang mendebarkan. Semua jenis duren nyaris ada, mulai dari tembago-Sumatra Selatan, montong, pelangi-Manokwari, mimang-Banjarnegara, dan duren Selat.
Akhirnya, perjalanan silaturahmi jauh melangkah, dari Maroko, Mekah langsung ke Selat Batanghari.
Salam Kalam literasi
Fajri Al Mughni
Jambi, 27 Juli 2021 (kondisi di mana jaringan internet sedang stabil karena baru sudah dibayar)