Pak Karal, Beasiswa dan Sepatu Mulut Buaya

Pak Karal dan Beasiswa: Kisah Inspirasi Sepatu Mulut Buaya

Duhai dunia, hari ini akan ku ceritakan secara terbuka tentang sosok baik yang kisahnya selalu ku ceritakan berulang-ulang dengan siapapun.

Masa sekolah ku begitu sulit, ketika SD, aku harus berjualan kerupuk ikan di sekolah yang dibuat ibuku yang sebagian penghasilannya nanti boleh bagiku membeli jajanan yang ku inginkan. Hanya sebagian, bukan untuk berfoya-foya, agar tidak ada rasa sedih karena tak ada uang jajan seperti anak-anak lainnya. Kaos kaki lusuh, melar, ku eratkan dengan pintalan karet gelang, tak melunturkan semangatku bersekolah.

MTs, masa ini, sekali sajalah membeli seragam sekolah, cukup untuk 3 tahun. Walau lengan baju semakin menyingsing, rok semakin meninggi, entah menguning ataukah memutih dan bagaimana sudah lusuhnya. Jilbab warisan dari Ayuk sepupuku setia menemaniku sekolah selama 3 tahun itu, tepiannya sudah begitu rapuh, luruh dengan sendirinya. Lagi-lagi, anak miskin ini tetap bisa mengukir prestasi. Juara 2 selalu terpampang di dalam raport, membanggakan orangtua.

Juara 1? Itu milik sahabatku, yang nilainya selalu menggemaskan disetiap semester, hanya berbeda koma denganku.

Berlanjut saja pada kisahku di SMA, begitu banyak kisah disetiap perjalanan. Tak berkesudahan untuk mengambil sebanyak-banyaknya pelajaran.

Setiap guru, punya cerita bagi siswa-siswanya. Berkesan dan mendalam di relung jiwa. Hari ini, terkhusus akan ku ceritakan kisahku bersama Kepala Sekolahku. Kala itu,

“Mel, dipanggil Pak Karal, langsung ke kantor Bapak”

Dipanggil Kepala Sekolah? Apa salahku? Ada kekhawatiran berkecamuk dalam dada. Diruangan yang sangat jarang aku kunjungi itu, begitu kaku aku melangkahkan kaki sembari melihat kepala sekolahku yang begitu berwibawa itu.

Duduklah aku dihadapannya, beliau tersenyum melihatku, disodorkannya beberapa lembar kertas, memintaku untuk menandatanganinya. Sigap ku baca judul dibagian atas kertas itu, telingaku memasang kefokusan mendengar ucapannya. Ku tandatangani satu per satu kertas dihadapanku itu. Lalu, ia menyerahkan sejumlah uang dengan sebuah catatan yang ia sampaikan secara langsung kepadaku.

“Bapak dak mau lagi nengok sepatu macem mulut buayo tuh dipake ke sekolah, sepatu olah raga dilaenin. Ini siku baju lah tipis koyak-koyak nih, beli baru atau nempah. Rok tuh lah kuning, tipis tuh ganti jugo. Beli banyak-banyak buku tulis samo alat belajar laennyo, tas jugo belilah. Abisi duit nih untuk keperluan sekolah. Senin depan Bapak nak nengok yang sudah dibeli, Bapak tunggu di gerbang sekolah”

Rasaku bercampur aduk, tak bisa ku berkata, hanya terus mengangguk.

Sepulang sekolah, mobil angkutan berhenti di seputaran Pasar Singkut. Bergegas ku membeli peralatan sekolah, buku tulis, tas juga sepatu. Untuk seragam sekolah, sengaja ku tunda.

Langkahku begitu cepat menyusuri jalanan menuju rumah, tak sabar ingin ku beri tahu kepada orangtua ceritaku hari itu. Langsung saja Ibu meninggalkan adonan pempek jualannya, bersegera membawaku ke tukang jahit, menempah baju seragam untukku.

Seminggu kemudian, aku pergi ke sekolah dengan suasana baru, ada perasaan malu, tapi ini bukti ketaatanku pada kepala sekolah.

Benar saja, tubuhnya yang tinggi besar, penuh dengan aura apa itu namanya yang membuatku terlalu segan bertemu dengannya. Dari kejauhan aku sudah tahu itu Bapak Kepala Sekolah. Tak kan bisa menghindar, satu-satunya jalan masuk hanyalah melalui gerbang itu. Aku berjalan menunduk, sesekali melirik ke arahnya. Beliau pun menegurku, tidak berucap apa-apa, hanya tersenyum. Aku pun menyalami tangannya, dalam hatiku berucap, “terimakasih Bapak, dalam diammu ternyata engkau begitu peduli pada muridmu.

Bukan aku tak ingin seperti teman-teman yang lain, hanya saja aku mengerti kondisi orang tua. Engkau beri aku kesempatan untuk menikmati sekolah dengan kelayakan atribut, walau sedikit malu dengan kesemua yang baru ini, hatiku bahagia”

Hari ini, aku mendapatkan kabar dari seorang teman, engkau telah pergi mendahului kami. Hanya do’a-do’a terindah yang bisa aku hadiahkan untukmu. Semoga kelak Allah mempertemukan kita kembali di surga-Nya, aku ingin bercerita mengingat kembali tentang hari itu kepadamu dalam gelak tawa bersama.

Selamat jalan Bapak, jasamu akan selalu ku kenang.

Salam Kalam literasi
Kamis, 17 Juni 2021

Amalia Kusyanti

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

BacaanTerkini

Pen Besi di Kaki Ibu Siti, dan Besi Tumpul di Kepala Pejabat Negeri
Siti Maswa, Sang Perempuan dengan Pen ...
“Ijazah: Antara Tuhan, Toga, dan Tipu Daya”
“Ijazah: Antara Tuhan, Toga, dan Tipu ...
Socrates Naik Dompeng: Logika Liar di Negeri Izin Fiktif
Di tanah Merangin dan Sarolangun yang ...

KategoriBacaan

ProgramTerbaik

BacaanLainnya

Socrates Naik Dompeng: Logika Liar di Negeri Izin Fiktif
"Wisudawan, Toga, Like, dan Cinta yang Tertinggal di Ruang Dosen"
Pelatihan Literasi Digital di Desa Pematang Pauh 2024
Manusia & Agama di Tahun Politik
Menapaki Mimpi di Mesir dan Turki
Pelepasan Calon Mahasiswa 2023
Bahas Kerjasama Studi Luar Negeri
Wisata Danau Sipin
Surat untuk Timnas Indonesia