Rumput Tetangga Belum Tentu Lebih Hijau: Nasihat Hidup Tentang Syukur dan Berkah
Seorang teman bercerita tentang keadaannya soal “merasa kurang”. Cerita ini hanya via telpon. Kami sedang berada di kota yang berbeda. Saya di Jogja, temanku itu di Jakarta. Kami sama-sama dari Jambi. Jadi kadang bahasa kami gado-gado, campur-campur, Jambi Jakarta. Udah seperti rute perjalanan Bus saja. Sebenarnya, kalau saya hanya untuk lucu-lucuan saja.
Ia seorang pemuda berusia 20an tahun, sudah sarjana dan bekerja di Jakarta. Sekilas, kalau diperhatikan, ia pemuda yang tak kurang apapun. Muda, ganteng, berpenghasilan, bekerja di kantor dan di Jakarta lagi. Pacar ada dan siap dipinang. Telak, itu menjadi keinginan banyak orang.
Namun. Seperti nasihat orang Jawa itu. “Hidup, kadang Sawang Sinawang”. Terlihatnya bagus, sempurna, enak. Padahal belum tentu. Rumput tetangga terlihat lebih hijau. Padahal belum tentu.
Singkatnya ia bercerita sedang ada dalam keadaan “tidak baik-baik saja”. Pasalnya ia sudah bekerja dengan sungguh-sungguh dan bergaji. Bila dibanding dengan sewaktu di Kampung, gajinya saat ini jelas tergolong lumayan. Namun, ia merasa kurang. Uangnya cepat habis. Baru gajian, tak sampai seminggu uangnya habis, tak tau kemana.
Sebelum jauh saya mengenal temanku ini, Ia bukan termasuk anak muda yang hobi “macam-macam”. Ia “bersih”.
Terbesit dan menjadi keinginan yang kuatlah ia ingin pulang ke kampung saja dan hidup seperti kemarin. Bekerja dengan mengabdikan ilmu, mengajar. Ia merasa lebih berkah. Sebagai Sahabat. Ketika dia meminta nasihat. Jelas berat bagi saya.
Teringat cerita mereka yang lebih berumur dan berpengalaman atau orang-orang tua kita itu. Katanya, “tak ada orang kaya bujangan”. Jelas ungkapan ini sangat bisa dibantah dengan bukti-bukti yang telah ada. Namun bukan itu poinnya, bukan bantah-membantah. Dalam keadaan tertentu, nasihat ini berharga dan mengena. Beberapa orang yang sudah pernah melewati masa ini bercerita. Dulu sewaktu mereka bekerja dan bergaji tapi kok rasanya kurang terus. Gali lobang tutup lobang. Pinjam uang bayar hutang. Akhirnya mereka menikah. Pengeluaran lebih terarah, jajan dan pengeluaran tidak jelas dikurangi. Dan kadang, walau gaji lebih sedikit dari yang pernah dirasai tapi lebih membekas dan terasa manfaat. Kalau bujangan, pengeluaran sering tak tentu arah.
“Berarti hal ini bisa jadi solusi”, kataku sambil tertawa.
Dalam kajian agama hal ini tentu ada. Agama oleh sebahagian orang menjadi muara, pedoman dan orientasi dalam hidup. Hal itu tentu tak jauh-jauh dari Konsep sabar dan syukur. Satu lagi Konsep Berkah. Temanku itu, tau sekali dengan perkara-perkara ini. Ia jebolan Pesantren. Namun, ia juga manusia biasa yang tentu saja bisa pula alfa, lalai. Bukankah itu sudah menjadi tabiat lumrahnya manusia?
Saya pun berbagi cerita, saat kemarin saya bekerja juga mengalami hal serupa. Dan orang-orang banyak pula merasai hal demikian. Ini hal yang lumrah. Namun, jelas, tak bagus pula berterus-terusan. Harus ada niat dan ikhtiar memerbaiki.
Ahmad Fikri Syarif
Yogyakarta, 23 Mei 2021