Orang Idealis yang “Tak Paham” Idealisme – Refleksi Kehidupan dan Hikmah
Mungkin ini salah satu tulisan aneh atau tidak jelas. Kenapa begitu. Dari judul saja sudah membuat bingung. Sehingganya, boro-boro orang tertarik dan mau membaca. Apalagi sampai mau mengerti dari maksud penulis. Melihat saja sudah membhudet, bikin mumet begitu. Yah bagaimana tidak, semisal ada pembaca yang membhudet dan mumet, lah wong yang nulis saja mumet nulise.
Dalam hidup, ada banyak pelajaran, baik itu dari teks-teks berbentuk apapun atau dari pengalaman hidup orang lain dan pengalaman hidup pribadi atau dari ceramah-ceramah orang bijak.
Kesemuanya itu hendak memberikan kita pemahaman agar dapat mengerti hakikat-hakikat dari seluk beluk semuanya itu.
Ada maksud-maksud tertentu yang bisa kita pahami dengan cara sederhana, namun adakalanya pula maksud-maksud tertentu itu menarik kita pahami dengan cara yang ruwet dan tidak sederhana-sederhana amat.
Bak kata Kiyaiku, “bedanya Kiyai dan intelektual itu, kalau Kiyai suka menyampaikan hal yang rumit dengan cara yang mudah dan intelektual suka menyampaikan hal yang mudah dengan cara yang rumit”. Namun, bila dikembalikan pada motif kesehajaan para ‘alim itu tadi, kesemuanya itu adalah untaian hikmahnya tersendiri. Semuanya baik.
Termasukpun bila hendak dikaitkan dengan judul di atas; orang idealis yang “tidak paham” idealisme.
Ada beberapa, atau mungkin banyak hal yang membentuk cara pandang saya melihat sesuatu. Mulai dari memandang hidup, perkara kecil atau perkara yang mungkin tampak besar.
Ada dua tokoh agama yang tampak berdebat, kenapa ada bahasa “tampak”, karna mungkin saja mereka sendiri tak menganggap diri mereka sedang berdebat. Topik debatnya tentang Poligami, beristri lebih dari satu. Karna mereka berdua, terdapatlah dua kutub pemikiran atau pendapat yang berseberangan. Yang satu menolak poligami dengan alasan-alasan etiks, seperti menjaga perasaan perempuan (istri), dan beberapa alasan lain. Dilain pihak, membolehkan poligami karna merujuk pada dalil-dalil agama, dengan tentu mampu memenuhi syarat untuk berpoligami, harus adil, dll. Diakhir debat, mereka berdua tetap kukuh dengan pendapat masing-masing, dan debat pun berakhir dengan cara yang baik pula.
Namun, setelah itu, waktu berjalan, semesta bernafas, perjalanan waktu memberikan keterangan. Kedua tokoh tadi telah sama-sama kembali kepangkuan sang Pencipta. Setelah dirujuk, ditelusuri riwayat hidup kedua tokoh tadi. Ada hal yang kontras dari pendapat mereka berdua. Tokoh yang berpendapat menolak poligami dalam debatnya itu, dalam praktiknya, ia beristri lebih dari satu, ia berpoligami. Sedangkan tokoh yang satu, yang membolehkan poligami, tercatat bahwa ia setia dengan istrinya sampai akhir hayatnya. Kenapa bisa ada peristiwa seperti ini.
Perkara diatas, sedikit banyak membentuk cara pandang saya melihat sesuatu.
Dalam peristiwa-peristiwa lain pun terdapat hal yang mengironikan dan menyentuh. Ada orang-orang tua kita, khususnya di kampung-kampung, di dusun-dusun, mereka sepanjang hidupnya tidak lah pernah mendapat pengajaran materi-materi intelektual keagamaan yang dahsyat-dahsyat itu. Mereka tak pula mendapat materi Syariat yang berat-berat, idealisme beragama – berkemanusiaan. Mereka tidak hafal peristiwa tahkim, arbitrase, peralihan kekuasaan antara Saidina Ali bin Abi Thalib ke Muawiyah. Mereka tak pula mengenal Khawarij, Mu’tazilah atau Jabariyah. Apalagi mereka juga tak pula hafal dengan pemikir-pemikir Islam moderat yang muncul di dua abad belakangan ini.
Namun dalam praktik hidupnya, mereka kokoh menjaga keistiqomahan ibadah. Mereka jarang lalai dari jama’ah sembahyang subuh, laku sehari-hari merekapun sama, tak banyak bicara bila tak penting-penting amat, kesenangannya dalam bersedekah dan berbagi, serta laku-laku kemanusiaannya yang sangat menghormati manusia. Apa mereka ini bisa disebut orang idealis yang “tak paham” idealisme. Mereka mengerjakan hal baik yang kerap di khutbahkan oleh para cendikiawan muslim.
Pun dalam peristiwa-peristiwa kecil, namun tidak semata juga bisa dianggap kecil, dalam praktik sistem demokrasi di Indonesia tercinta. Laku-laku masyarakat tertentu, yang tidak mau mengambil dan menerima “ampau politik” dari kandidat. Mereka butuh uang, mereka juga bukan orang kaya, namun mereka tak mau mencari uang dengan hal-hal yang tak sesuai dengan nurani mereka.
Dan kadang mereka-mereka ini, bukanlah tokoh-tokoh masyarakat yang diprioritaskan untuk di pegang oleh pemerintah dalam menjaga masyarakat. Mereka bukan juga orang-orang yang mendapat pelatihan dari penyelenggara pemilu tentang tidak bolehnya “money politik” itu, lalu mendapat honor kegiatan. Bukan. Mereka orang-orang biasa yang kadang tidak lah selalu mendapat perhatian khusus di masyarakat. Adakah yang begitu atau begini ini?
Sebagaimana mestinya semua itu hadir memberikan pelajaran, pun juga tentu kepada mereka yang mau belajar, dan bila mau pun harus disertai dengan kesanggupan membuka dan merendah diri, memandang dan mengambil pelajaran dengan hikmah. Bila dengan hikmah, mempelajari apapun bisa jadi lebih mudah.
Tulisan ini besar kemungkinan tidak ada sambungannya. Bila dirasa perlu disambung, silahkan sambung sendiri.
Salam Kalam Literasi