Silahkan Pilih, Mau Ngehujat Ayus atau Nisa Sabyan?
Berbicara tentang cinta, suka atau tidak, filsafat pasti terlibat di dalamnya. Paling tidak, filsafat itu merupakan bagian dari cinta. Hal ini bisa ditengok dari definisi filsafat, “cinta kebijaksanaan” (philo dan sophia). Ini kajian lama, saya rasa, semua orang pernah mendengar ini.
Merujuk kepada kisah cinta Ayus Sabyan, jelas bahwa dia memadukan unsur filsafat dan cinta di dalamnya. Cinta dengan segala bentuknya bisa termasuk ke dalam wilayah ontologis. Yaitu suatu dimensi yang sungguh ada dan nyata. Seperti dunia ini ada, dan memang benar-benar ada. Kata lain, bisa juga disebut, hakikat dari sebuah yang ada. Dalam mendukung itu semua, Ayus menggabungkannya ke dalam wilayah estetik. Keindahan.
Dari gabungan inilah muncul sebuah rasa yang ada dalam diri individu yang bersifat subjektif, di mana tumbuhnya rasa cinta itu bermula dari ketertarikan akan keindahan yang ada (di depan mata) dalam objek cinta.
Secara sederhana, penyebab cinta memang ada dua. Pertama: tertarik atau cinta disebabkan oleh keindahan lahir maupun batin. Kedua: tidak indah, namun mampu memunculkan rasa aman dan nyaman, lalu bermuara pada cinta. Tampaknya, Ayus menerapkan model yang pertama, sedangkan Nisa, memilih teori yang kedua.
Kata Fahruddin Faiz, ketika berhadapan dengan sesuatu yang ‘indah’ dalam persepsinya, individu memancarkan perasaannya kepada sesuatu yang indah tersebut. Hal ini diistilahkan dengan einfuhlung, emphaty, introjection, symbolic sympathy atau auto-projection. Mohon maaf saya tak sempat menjelaskan Istilah-istilah ini. Nantilah pada kesempatan yang lain. Yang pasti, salah satu istilah itu dikembangkan oleh Friedrich T Vischer. Seorang novelis dan pakar filsafat seni asal Jerman.
Bagaimana? Sudah bisa memilih mau menghujat siapa?
Pengalaman estetisnya dalam cinta (baik Ayus atau Nisa) merupakan suatu pengalaman yang tidak memiliki kepentingan atas sesuatu apapun. Termasuk juga, tidak ada kaitannya dengan grup Sabyan Gambus yang mempopulerkan lagu-lagu bernuansa Islami. Bahkan lagu-lagu mereka tidak hanya populer, tapi juga menumbangkan lagu-lagu galau yang identik dengan keresahan, yang mendakwahkan pesimistik. Dalam hal itu, sepenuhnya saya sepakat dengan Ayus dan Nisa. Bahkan, salah satu cita-cita saya ingin jadi artis yang menyanyikan lagu-lagu Islami. Hanya saja, banyak orang yang tidak menyadari bahwa saya memiliki suara yang bagus.
Dengan kasus cinta Ayus dan Nisa, banyak warga netizen mendadak jadi detektif. Hal itu merupakan buah dari kehebatan estetik yang diterapkan oleh Ayus dan Nisa Sabyan. Kata William James dan William Mc Dougal, “mereka (Ayus dan Nisa) memunculkan dan menyatakan bahwa eksistensi cinta adalah suatu emosi atau perasaan atau kecendrungan yang sifatnya instingtif dan memunculkan ekspresi-ekspresi yang dapat dipelajari. Tak heran banyak netizen giat mempelajarinya.
Terbukti, para netizen mampu mendeteksi dan mempelajari alur serta perjalanan cinta mereka berdua. Satu persatu mulai bermunculan ragam-macam teori tentang cinta mereka. Teori-teori itu besertaan dengan cacian dan makian. Rasa suka, ngefans, dan asik menjadi luntur dalam sekejap. Jangan-jangan, memang itu yang mereka harapkan. Jahat.
Cinta itu sifatnya pribadi, individual, orang lain tak bisa mengerti. Maka, boleh jadi memang langkah individual Ayus dan Nisa dalam cinta dinilai salah, atau bahasa agamanya “khilaf”. Pun Ayus mengamini dugaan itu. Namun mesti diingat dan dicatat ulang, bahwa “manusia memang tempatnya salah dan khilaf”. Untuk itu, tidak ada manusia yang luput darinya. Tapi alhamdulillahnya, Tuhan Maha Baik. Manusia terbaik adalah manusia yang bertaubat. Jika sudah begitu? Apakah kita masih berkeinginan melanjutkan hujatan, cacian dan makian itu? Cepatlah sadar kawan, “aibmu sedang dalam posisi diamankan Tuhan”.
Ayus dan Sabyan memang tidak bisa menghindar dari hujatan para penduduk bumi. Jadi, nikmati saja dulu. Perbanyaklah baca buku-buku filsafat, tapi untuk sementara waktu hindari dulu membaca buku tentang filsafat cinta. Takut baper. Apalagi si Nisa, umurnya masih 21 kalau tak salah. Kalau dia kuliah, mungkin sedang menyusun skripsi. Menyusun skripsi itu kan susah, mumet, nah mungkin Nisa sesekali butuh curhat. Lalu curhatnya ke abang seniornya di grup Sabyan. Tolong, stop caci makimu.
Saran saya, kalau memang masih ingin menghujat, coba sambil mendengarkan lagu-lagu Sabyan Gambus. Bila perlu, sambil karaokean.
Untuk Bang Ayus, coba dengarkan lagunya Trio Ambisi, yang judulnya “Jangan sampai tiga kali”. Sekalian dicover juga gak apa-apa. Dibikin Islami.
Kepada dek Nisa, evaluasi diri sambil mendengarkan lagunya Jung In, “Those Obvious Words”. Sesekali sambil dinyanyiin dengan nada Islami.
Salam. Kalam literasi
*Fajri Al Mughni
Saya tidak ikutan, tetap enak kok lagu-lagunya Sabyan Gambus.