Mulut Tetangga
“Ibukmu ke RT sebelah. Ngelabrak istrinya Haji Soimun,” kata bapak dalam nada yang terkesan dipanjang-panjangkan.
Aku terkejut sekaligus tertarik. Baru beberapa saat yang lalu tiba di rumah, sudah kudapati cerita yang aneh-aneh dari keluarga ini. Sadar bahwa bapakku tak akan bisa cerita banyak, kucari Mbak Yan yang rumahnya masih satu pekarangan dengan rumah orangtua kami. Hana senang dengan kedatanganku. Bocah itu menanyakan oleh-oleh.
“Ya begitulah Ibu. Mudah tersulut emosinya, mudah diprovokasi,” jawab Mbak Yan ketika aku bertanya kebenaran berita dari bapak.
“Jadi betul, Ibu ngelabrak istrinya Haji Soimun?”
“Kemungkinan besar sih, iya.”
Semua bermula karena aku membatalkan pernikahan dua bulan yang lalu. Sebagai lajang terakhir angkatan ’89 di kampungku, aku diburu-buru nikah oleh orangtua dan keluarga besar. Bahkan, tetangga dan teman-teman ibu juga banyak yang menanyakan.
“Jangan sampai kamu melajang seumur hidup, seperti Yu Tatik. Amit-amit jabang bayi…” Yu Tatik adalah sepupu ibu yang namanya sering dia catut untuk menakut-nakutiku.
Sebenarnya, bukan aku tak berusaha mencari jodoh. Aku tidak anti lelaki seperti yang orang-orang katakan di balik punggungku. Kalau anti lelaki kere dan mokondo, memang betul.
Sejak lulus SMA, yaitu usia ketika anak-anak dalam keluargaku dipercaya buat punya pacar, aku sering gonta-ganti gandengan. Bahkan, aku seperti terobsesi mengoleksi mantan. Mantan-mantanku tersebar dari Sabang hingga Merauke. Aku pernah pacaran dengan mahasiswa asal Bireun, Tapanuli, Solok, Kerinci, Prabumulih hingga Tulang Bawang. Aku juga pernah memacari kakak tingkat asal Sukabumi dan Kendal. Bahkan, pernah juga aku diapeli mahasiswa asal Poso dan Timika. Pokoknya lengkap. Segala suku aku pasti pernah dekat. Dari mereka aku biasanya belajar bahasa-bahasa daerah.
Tetapi, justru saat aku sudah lulus dan punya pekerjaan mapan, yaitu usia ketika orang-orang biasanya sudah menemukan tambatan hati yang tepat, aku malah tak punya pacar. Entah bagaimana sulit sekali buatku pedekate. Mungkin karena sibuk dengan pekerjaan atau aku sudah bosan dengan tipe laki-laki yang itu-itu saja. Tidak ada kebaruan dalam dunia percintaan.
“Kau itu sudah terlalu sering ketemu laki-laki, jadi seperti sudah tak ada tantangan lagi. Atau, bisa saja standarmu yang terlalu tinggi. Saranku sih, coba cari lingkaran pergaulan lain.” Kak Maria, seniorku di tempat kerja memberi saran.
“Seperti?”
“Ikut komunitas yoga, misalnya. Atau komunitas berkebun.”
“Ah, Kakak. Di mana pulak aku bisa menemukan komunitas yoga di dusun begini? kelompok tani ada, sih. Tapi, anggotanya bapak-bapak.”
“Hahaha. Kak Maria kalau kasih saran coba yang logis sedikit, dong,” Maya yang sedari tadi menyimak obrolan kami ikut bersuara. “Sudah, Fan, kau ikut saja komunitas pengajian ibu-ibu di kampung sini. Siapa tahu ada ibu-ibu yang punya anak bujang.”
Kak Maria balas tertawa sinis. “Halah, kayak kau nggak tahu selera si Fanny aja, May. Mana mau dia sama orang dusun sini.”
Meski setuju dengan Kak Maria, aku mengikuti saran Maya dalam rangka mencari jodoh. Dari komunitas pengajian itulah aku kenal seorang ibu. Kurang lebih usianya sama dengan ibuku. Ibu itu yang duluan menyapaku ketika aku duduk sendirian di sudut masjid selagi menunggu adzan Isya. Aku sungkan untuk menolak memberinya nomor WA ketika dia memintanya setelah kami mengobrol banyak.
Dua minggu setelah berkenalan, Bu Mar, begitu dia minta dipanggil, memaksaku untuk berkunjung ke rumahnya. Katanya, dia masak semur ayam dan setup sawi untukku. Padahal, aku hanya basa-basi belaka bilang bahwa sudah lama tak makan masakan kesukaanku itu.
Singkatnya, ibu itu mengenalkanku pada anak laki-lakinya yang masih lajang dan bermaksud untuk menjodohkan kami. Sekilas, tak ada yang salah dengan penampilan Kemal. Dia tidak ganteng, tetapi juga tak bisa dikatakan jelek. Dia sarjana yang bekerja sebagai satpam di pabrik sawit tak jauh dari pabrik karet tempatku bekerja.
Barangkali karena sudah mentok dengan usahaku mencari lelaki terbaik dan tak tahan dengan desakan-desakan orangtuaku, aku menyetujui perjodohan itu. Aku bersedia menjalani pendekatan dengan Kemal. Ta’aruf istilahnya. Bu Mar antusias sekali. Tiap Minggu dia tak lupa mengajakku mampir ke rumah setelah acara pengajian. Sering kami jalan-jalan ke Dharmasyraya untuk sekadar makan sate Etek Ipah yang terkenal itu. Etek adalah bibi dalam bahasa Minang.
Dua bulan setelah aku mengiyakan perjodohan, keluarga Kemal datang kepada orangtuaku di Kuamang Kuning. Mereka menempuh perjalanan dua jam dari Jujuhan. Mereka bermaksud melamar. Sungguh ini di luar perkiraanku. Kupikir, ini hanya acara perkenalan antara dua keluarga. Sialan. Aku merasa dijebak.
***
“Memangnya apa kata Hajjah Soimun?” aku mencecar ibu begitu dia sampai di rumah.
“Perempuan tua itu tak mau mengaku bahwa dia yang telah menebar gosip ke mana-mana.”
“Gosip tentang aku?”
“Ya. Siapa lagi?” kutangkap ada nada kesal dalam suara ibu. “Kan kamu jadi bintang kampung sekarang ini. Jadi pembicaraan di mana-mana. Semua orang tahu kamu batal nikah.”
Aku menghela napas. “Jadi, gosip tambahannya apa?”
“Mereka bilang, kamu nggak nikah-nikah karena terlalu pemilih, nggak tahu diri dan ah…pokoknya macam-macam.”
“Nggak usah diambil hati omongan tetangga. Itu kan pendapat mereka,” aku mencoba untuk bijak menenangkan ibuku.
Tetapi, raut wajah ibuku malah tampak emosional. “Nggak usah diambil hati bagaimana?! Mereka menuduhmu sudah tidak perawan, Fanny!”
Aku mematung seketika untuk beberapa jenak. Tidak tahu harus bersikap bagaimana. Apa aku tidak salah dengar?!
“Apa..maksud..Ibu?” aku terbata-bata.
“Mereka bilang, kamu membatalkan pernikahan karena takut ketahuan sudah tidak suci lagi. Kata mereka, kamu perempuan nggak bener karena sering gonta-ganti pacar sewaktu kuliah dulu.”
Baik ibu maupun aku langsung balik kanan, menuju kamar masing-masing. Meninggalkan bapak yang belum sempat berkata-kata.
Di kamar, airmataku luruh. Aku menangis sejadi-jadinya. Tega sekali tuduhan tetangga. Sebandel-bandelnya aku, tak pernah kulakukan hal sejauh itu. Aku tak pernah melanggar larangan agama yang satu itu. Lagipula, jika bukan karena takut Tuhan, tak akan semudah itu kuserahkan tubuhku pada sembarang lelaki.
Aku juga tidak sefrustrasi itu sampai-sampai menerima Kemal sebagai suami setelah tahu kebusukannya. Ya, ternyata dia tak sebaik yang ditampilkannya atau dicitrakan oleh ibunya, Bu Mar, perempuan picik itu.
“Kemal pernah dipenjara karena memperkosa anak gadis orang. Gadis malang itu masih SMP dan Kemal ketika itu baru lepas SMA. Gadis itu sampai stress dan akhirnya diungsikan keluarganya ke Padang. Bu Mar benar-benar tak terus terang sama Bu Fanny?”
Itu adalah sepotong informasi berharga yang kudapat dari Yuk Eli, cleaning service di kantor.
***
Aku masih sesenggukan ketika bapak masuk ke kamar. Aku langsung menyambar,
“Bapak ingat Gandari?”
“Gandari ibunya Kurawa?”
“Ya. Lihatlah, Gandari diperdaya nasib hingga menikahi pangeran buta. Dan lihatlah, apa yang lahir dari pernikahan itu?”
Bapak menghampiriku, duduk di tepi ranjang, di sebelahku. Diusapnya kepalaku dengan sayang.
“Maafkan Bapak ya, Ndhuk. Maafkan Bapak dan Ibu jika terlalu egois menuntutmu untuk segera menikah. Kami hanya khawatir akan masa depanmu kelak. Kami tidak bisa selamanya mendampingi dan menjagamu. Kami hanya ingin kebahagiaanmu terjamin.”
Aku menarik nafas, mencoba bersabar dengan situasi yang menekanku saat ini.
“Sekarang maunya Bapak dan Ibu apa? Apa harapan kalian terhadapku?”
Kini giliran bapak yang menarik napas panjang.
“Kejadian terakhir ini sangat membuat kami terpukul. Jujur, kami sangat malu tak jadi mantu. Tetapi, tentu saja jika pernikahan itu tetap terjadi, malah akan membuat nasibmu makin buruk. Orangtua manapun pasti juga tak rela jika harus menyerahkan anak perempuannya pada mantan kriminal. Apalagi dia seorang pemerkosa.”
Gerimis mulai menitik di balik jendela. Kesiur angin membawa hawa dingin ke dalam kamar. Tanpa kusadari, air mataku sudah meleleh lagi di pipi.
“Sekarang, terserah kau saja, Ndhuk. Kami semakin sadar bahwa tak bisa lagi mengekangmu atau mengontrol hidupmu. Kami tak bisa memaksakan kehendak kami lagi. Kau sudah dewasa.” Bapak mengelus kapalaku lagi dan bersiap beranjak untuk meninggalkan kamar. Tetapi, tepat pada saat itulah ibu dan Mbak Yan masuk.
“Istrinya Haji Soimun dilarikan ke UGD. Dia kena serangan stroke. Katanya mulutnya mencong ke kiri,” ujar ibu dalam nada panik.
Simpang Kawat, 12 September 2020
Linggar Rimbawati, terlahir di Jambi tetapi selalu merasa bahwa Solo adalah rumahnya. Sehari-hari mengajar bahasa Inggris. Cerpennya dapat dibaca di Difalitera, Taman Fiksi, Tribun Jabar, Kompas.id dan lain-lain. Kumcer terbarunya Ular di Balik Kepalaku terbit bulan Juli 2020.