Maradona, Sang Sufi Sepak Bola

Maradona, Sang Sufi Sepak Bola

Facebook
Twitter
WhatsApp
Telegram
Email
Print
Facebook
Twitter
WhatsApp
Telegram
Email
Print

Maradona, Sang Sufi Sepak Bola

Maradona, Sang Sufi Sepak Bola

*Fajri Al Mughni

Tidak tanggung-tanggung, sepak bola menjadi agama baru di Eropa. Semua orang memujinya, memujanya bahkan menyembahnya. Para tokoh dalam sepak bola dilebih-lebihkan, meski ada juga yang mengurang-ngurangkannya, namun tidak merubah keyakinan mereka bahwa sepak bola di atas segalanya.

Tuhan pasti tau ulah dan kelakuan manusia. Tuhan tau taktik Super Franky, strategi manis Pep Guardiola, racikan licik Mourinho, kejeniusan bulus Jurgen Klop, bahkan debar jantung Shin Tae-yong pun Tuhan tau secara detail. Filosof Barat mungkin banyak yang tidak sepakat dengan pendapat itu, karena mereka berkeyakinan bahwa Tuhan hanya mengetahui yang umum-umum saja. Mereka memang cerdas intelektual, logikanya membuat kaum sufi dan para ahli agama memutar otak. Tapi spiritualitas dan tradisi iman mereka sama sekali tak bergeming. Maka, jangan heran melihat perdebatan tidak kunjung usai.

Kaum sufi tidak peduli. Bagi mereka, Tuhan bukan hanya mengetahui secara detail, tapi lebih dari itu, adakalanya Tuhan menyatu dalam diri manusia, baik dengan cara “menyatu” secara langsung (hulul), ataupun “menyatu” dengan cara melebur terlebih dahulu (fana). Bisa begitu? Bagi Tuhan, apa yang tidak bisa?

Maradona tidak pernah mendeklarasikan bahwa dirinya seorang sufi, namun “umat”nya mengkultuskan bahwa Tuhan telah memberinya keistimewaan yang berbeda, “Si Tangan Tuhan”.

Siapa yang menjadikan bola? Jika dirunut, jawabannya adalah Tuhan. Siapa yang menciptakan bahwa jika bola masuk ke gawang akan menjadi Goal? Jawabannya sama, Tuhan. Siapa yang melarang bahwa tangan tidak dibolehkan menyentuh bola dalam sepak bola (kecuali kipper)? Jawabannya juga sama, Tuhan.

Lantas bagaimana bisa goal Maradona yang menggunakan tangan dianggap sah? Sekali lagi, disana ada keterlibatan Tuhan. Ada yang “ngajak” debat, katanya itu karena wasit tidak melihat. Oke, siapa yang menjadikan wasit tidak melihat kondisi itu? Bukankah Tuhan?

Apakah ketika Maradona menciptakan goal dengan tangan dalam kondisi sedang “hulul” atau “fana”? besar kemungkinan orang-orang akan menjawab, “tidak mungkin”. Alasannya sederhana, hulul atau fana hanya “mungkin” terjadi kepada seorang sufi yang bersih dari segala hiruk pikuk dosa dunia. Sementara Maradona? Minum tuak, masang togel, tatoan, antingan, dan manusia pendosa (menurut pandangan mata).

Tapi jangan lupa, dulu Abu Nuwas juga begitu. Bahkan ia terang-terangan mengatakan bahwa dirinya seorang “pemabuk” sejati. Di depan orang ia mabuk, di belakang orang, ia mabuk-mabukkan. Tapi “nanti”, Abu Nuwas mengakhiri hidupnya sebagai seorang sufi. Kini, Maradona telah pergi. Ia meninggalkan kenangan yang unik, yang sulit untuk ditiru kecuali oleh para sufi sepak bola. “Gol ini sedikit karena kepala saya, dan sebagian karena tangan Tuhan”. Tuturnya seusai laga.

Selamat jalan Datuk Dona, engkau telah menginspirasi para “pecandu sepak bola”.

Salam Kalam Literasi

0 Responses

  1. Untung zaman nyo kuliah dulu tidak ada tokoh sufi Maradona, kalau ada mungkin bisa menjadi pembahasan yang paling asyik dan pertarungan kata kata yang bisa melampaui huruf A hingga Z. Pokoknya tulisan ini luar biasa.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

InstagramKLI

BacaanTerkini

“Ijazah: Antara Tuhan, Toga, dan Tipu Daya”
“Ijazah: Antara Tuhan, Toga, dan Tipu Daya”
Socrates Naik Dompeng: Logika Liar di Negeri Izin Fiktif
Socrates Naik Dompeng: Logika Liar di Negeri Izin Fiktif
Dosen, Gelar, dan Makalah Copas: Komedi Tragis di Kampus Ilmu
Dosen, Gelar, dan Makalah Copas: Komedi Tragis di Kampus Ilmu
"Wisudawan, Toga, Like, dan Cinta yang Tertinggal di Ruang Dosen"
"Wisudawan, Toga, Like, dan Cinta yang Tertinggal di Ruang Dosen"

KategoriBacaan

ProgramTerbaik

BacaanLainnya

“Ijazah: Antara Tuhan, Toga, dan Tipu Daya”
Socrates Naik Dompeng: Logika Liar di Negeri Izin Fiktif
Dosen, Gelar, dan Makalah Copas: Komedi Tragis di Kampus Ilmu
"Wisudawan, Toga, Like, dan Cinta yang Tertinggal di Ruang Dosen"
Guratan Tak Terlihat di Balik Nilai
Proyek Historiografi DAHA
Pelatihan Literasi Digital di Desa Pematang Pauh 2024
Dari Jambi dan Kendari Menuju Kairo 2024