BOM DI LEHER YUJIN

BOM DI LEHER YUJIN

Facebook
Twitter
WhatsApp
Telegram
Email
Print
Facebook
Twitter
WhatsApp
Telegram
Email
Print

BOM DI LEHER YUJIN

Sirene mobil pasukan Brimob Gegana berbunyi kencang membelah keramaian kota di sore itu. Mobil-mobil itu berhenti di sebuah bank pusat, lalu belasan tim Gegana itu turun dan sibuk dengan tugas masing-masing. Mereka bersiap dengan peralatan lengkap di posisi mereka. Senapan laras panjang lengkap dengan binokularnya disiagakan dan membidik pada satu arah. Beberapa orang pasukan khusus penjinak bom bersiap dengan alat khusus pula. Suasana lebih dari sekedar tegang. Warga kota bukannya menghindar dari operasi itu, malah berkumpul ceria menyaksikan. Woi! Ini bukan layar tancap!

Sementara itu di tengah lahan parkir di bank pusat itu, sedang duduk seorang pemuda, bersandar pada salah satu mobil yang terparkir anggun. Barangkali umurnya sekitar tiga puluh tahunan. Duduknya begitu pasrah, seakan-akan langit segera runtuh dan mengantam semuanya. Baginya, tak ada tempat sembunyi sama sekali. Bahkan jika ia masuk ke dalam sumur yang paling dalam sekalipun, langit itu akan tetap runtuh menimpanya. Baginya, ia sudah tamat, tinggal menunggu waktu yang hanya beberapa menit.

Ia pandangi langit itu dengan pasrah. ”Langit, kalau kau mau runtuh, runtuhlah! Telanlah aku dan segala yang kubawa ini.” Benaknya dalam hati.

Di leher pemuda itu terlingkar kalung besi. Dan di ujung kalung itu ada liontin yang kira-kira sebesar ponsel. Liontin itu memiliki layar kecil yang memunculkan angka yang terus berkurang. Bersamaan dengan angka yang berkurang itu ada pula bunyi tiit-tiit yang mengiringinya detik demi detik. Ya, tidak lain dan tidak bukan itu adalah sebuah bom dengan hitungan mundur. Lima menit dua puluh tujuh detik lagi ia akan meledak sendiri. Otomatis. Itulah yang dimaksud dengan langit yang akan runtuh itu. Berarti langit akan runtuh lima menit dua puluh tujuh detik lagi baginya. 

Kepala tim Gegana berdiri tegap bersiap memberikan aba-aba. Ia mengangkat tangannya dan mengacungkan dua jari, lalu menggoyang-goyangkan jari tersebut, memberi tanda untuk dua orang maju. Dua tim penjinak bom maju hendak meninabobo-kan bom itu.

          “Jangan mendekat!” pekik pemuda itu, yang baru diketahui bernama Yujin. “Bom ini akan diledakkan jika ada yang mencoba mengusik!”

Seakan ada orang lain yang mengendalikan bom tersebut yang kapan saja bisa memantik detonatornya.

Sontak dua orang penjinak bom yang hendak maju itu pun berhenti, ragu bercampur takut muncul menyeruak di wajah mereka. Kepala Gegana yang memerintahkan untuk maju juga tak bisa berbuat apa-apa. Ia pun memasang wajah setengah bengis setengah ragu, jangan sampai kedua anak buahnya itu malah mati konyol meledak berhamburan bersama pemuda yang berkalung bom itu.

          “Apa maumu?” Tanya kepala Gegana menggunakan pelantang.

          “Pulang.” Jawabnya.

Tidak ada yang bisa diperbuat. Yujin sendiri barangtentu tidak tau bagaimana mematikan bom di lehernya. Mereka semua hanya pasrah menunggu sampai angka di liontin itu jadi nol. Menunggu sampai langit runtuh menimpa Yujin, dan yang lain hanya memandangi. Apalagi orang-orang yang berkumpul itu, hanya seperti menonton pertunjukan layar tancap zaman 80-an dulu.

***

Cerita Yujin bermula beberapa jam yang lalu. Ketika dua jarum jam sama-sama tepat menunjuk ke angka dua belas, sebuah alat kasir kecil berbunyi nyaring “cling” menangkap pesanan delivery baru saja masuk ke warung pizza tempat Yujin bekerja. Tidak lama kemudian, dua kotak pizza hangat mesti segera diantarkan ke daerah pinggir kota, dan betapa tidak beruntungnya Yujin, karena giliran dialah yang harus berangkat mengantar.

Sesampainya di tempat pemesanan itu, sebuah gedung tua empat lantai yang nampak luntur warnanya, beberapa bagian ditumbuhi lumut, Yujin, tanpa sedikitpun ada rasa curiga atau takut, masuk nyelonong saja ke dalam gedung itu.

Dalam gedung itu ada ruangan semacam meeting room, dengan meja panjang setengah melingkar. Ada sekitar tujuh orang di ruangan itu, dua diantaranya wanita. Dari suasana asap yang berterbangan di dalam ruangan, nampaknya semua dari mereka perokok. Pakaian mereka didominasi warna hitam, beberapa memakai jas, hanya seorang memakai kemeja putih panjang. Nampaknya mereka akan merencanakan sesuatu, lalu mereka merembukkannya di ruangan itu dan datanglah Yujin membawa pizza. Mereka pun menyangka bahwa Yujin mendengar apa yang mereka kompromikan, meski sekilas atau dua.

          “Pesanan, Pizza!”

Yujin masuk ruangan tanpa izin sambil setengah nyengir, membawa dua kotak pizza. Sekelompok orang itu setengah terkejut.

          “Kau, mendengar percakapan kami?” Tanya salah satu wanita, berambut ikal panjang agak pirang, gaya pakaiannya modis, menampakkan separuh paha.

          “Tidak samasekali, Nona!”

          “Mana mungkin, kau pasti mendengarnya. Tidak boleh ada saksi di ruangan ini.” Sambut perempuan lainnya.

          “Benar, aku tidak bohong!”

          “Baiklah. Baiklah.” Seorang lelaki menengahi. “Kalau begitu kita adakan permainan. Kemari kau pengantar pizza!”

Lelaki itu mengambil dua kotak pizza dari tangan Yujin, meletakkannya diatas meja, lalu menyeret Yujin ke sudut ruangan. Tak lama kemudian ia mengalungkan sesuatu ke leher Yujin. Ia tak bisa menolak, lalu tangan lelaki itu menekan beberapa tombol di kalung itu dan waktu mulai berhitung mundur.

“Waktumu lima jam! Sebelum bom di lehermu meledak.”

          “Apa-apan ini?!” berontak Yujin, tapi percuma karena kalung itu tidak bisa dilepas sekali diaktifkan.

“Tidak perlu cemas, kalau kau berhasil menjalankan apa yang kami perintahkan, bom itu akan kulepas.”

          “Tidak! Aku tidak mau jadi budak kalian!” pekik Yujin.

          “Ya sudah, kalau begitu aku tekan pemantiknya dan ‘boom’!”

Yujin meronta-ronta sambil menarik-narik kalung itu sekuat tenaga, tapi bom itu memang kalung besi yang tak bisa rusak hanya dengan ditarik. Ia memukul-mukulkannya ke dinding, tetap tak bisa lepas. Ia berteriak-teriak meminta lepaskan bom itu tapi tak satupun dari orang-orang itu mengasihinya. Mereka sebaliknya tertawa cekikikan dapat mainan baru.

          “Apa mau kalian?”

          “Jadi kau sudah mau menurut?”

          “Asal kalian lepaskan bom ini. Cepat katakan!”

          “Baiklah. Pergi ke bank pusat, bawa pistol ini, dan dapatkan sebanyak mungkin uang. Bagaimana?” Lelaki dengan jas hitam berdasi merah mengeluarkan pistol dari saku jas dalamnya.

          “Tidak mungkin!”

          “Kalau begitu tunggu saja empat jam empat puluh menit lagi.”

          “Aaaaargh. Kalian sialan!”

          “Begitu juga kau yang masuk tanpa permisi!

          “Aku tidak mau merampok!”

          “Kalau begitu pasrah saja sampai bom itu membawamu ke neraka.”

Tiit-tiit, suara hitung mundur bom itu seakan membuat kepala Yujin ingin pecah. Bagaimana bisa ia terjebak dalam situasi seperti itu gara-gara sekelompok orang yang tak dikenalnya itu. Gila! Ia tidak punya pilihan selain mengambil pistol itu dan merampok bank. Tapi tentu itu perbuatan terkutuk, sejak awal hidupnya tak pernah terpikirkan olehnya untuk merampok. Tapi bagaimana lagi? Buah simalakama sudah terlanjur di kerongkongan! Dia harus menjalani salah satu. Tuhan, maafkan, Engkau maha pengampun.

Sore itu ia menerobos pintu bank pusat. Satpam yang menyambut ramah ia balas dengan todongan pistol langsung di leher. Langsung ia giring satpam itu ke meja teller, meminta semua uang yang ada di laci pelayan bank itu. Semua panik. Tiba-tiba dengan gesit satpam itu menangkap tangan Yujin yang memegang pistol dan membalik badan lalu menangkap kedua tangan Yujin. Pistol terlepas dan Yujin tertangkap. Yujin menunjukkan bom di lehernya, sontak satpam itu terkejut dan melepaskan cengkeramannya. Semua orang di dalam bank sudah berhamburan entah kemana, menyelamatkan diri masing-masing. Termasuk satpam itu akhirnya ikut menghambur.

Yujin mengambil uang beberapa ikat di laci dan menghambur keluar pula. Sampai di halaman parkir, puluhan tentara dengan senapan panjang mengarahkan moncongnya padanya. Ia menggenggam bom di lehernya sambil berjalan pelan, dan akhirnya duduk bersandar di sebuah mobil. Sudah tamat. Kemanapun ia akan tetap tamat. Lari sudah tidak mungkin, diam pun mati dibuyarkan bom. Tidak ada pilihan apapun. Jadilah ia pasrah duduk termenung menatapi langit sore itu. Sialan!

Saat-saat terakhir ia gunakan untuk menikmati langit yang semakin menyemburat jingga pertanda sang senja datang. Ah, indahnya dunia yang akan ia tinggalkan segera itu. Suata tiit-tiit semakin lama semakim cepat, artinya waktu sebentar lagi. Suara itu terus-terusan berlomba dengan detak jantungnya. Semakin cepat lagi. Yujin pun memejamkan mata dan…

***

Orang-orang yang berkerumun itu benar-benar disajikan tontonan layar tancap yang mencengangkan. Semua mengeluarkan ponsel dan merekam, lalu saat kejadian nahas itu, semua berteriak dan tak berani melayangkan pandang.

Cerpen ini diambil dari naskah buku “Sini, Aku Rindu” (Kumpulan Cerpen Tentang Kehidupan) karya Alif Rahman Hakim.
nanti bukunya, segera terbit.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

InstagramKLI

BacaanTerkini

Dosen, Gelar, dan Makalah Copas: Komedi Tragis di Kampus Ilmu
Dosen, Gelar, dan Makalah Copas: Komedi Tragis di Kampus Ilmu
"Wisudawan, Toga, Like, dan Cinta yang Tertinggal di Ruang Dosen"
"Wisudawan, Toga, Like, dan Cinta yang Tertinggal di Ruang Dosen"
Guratan Tak Terlihat di Balik Nilai
Guratan Tak Terlihat di Balik Nilai
Daha
Proyek Historiografi DAHA

KategoriBacaan

ProgramTerbaik

BacaanLainnya

"Wisudawan, Toga, Like, dan Cinta yang Tertinggal di Ruang Dosen"
Guratan Tak Terlihat di Balik Nilai
Proyek Historiografi DAHA
Pelatihan Literasi Digital di Desa Pematang Pauh 2024
Dari Jambi dan Kendari Menuju Kairo 2024
Persiapan Menuju Negeri Piramida 2025
Dari Jambi Menuju Kairo 2024
Manusia & Agama di Tahun Politik
Pilpres dan Mahasiswa
Menapaki Mimpi di Mesir dan Turki