Gibran Menangis Sambil Guling-Guling

Gibran Menangis Sambil Guling-Guling

Facebook
Twitter
WhatsApp
Telegram
Email
Print
Facebook
Twitter
WhatsApp
Telegram
Email
Print

Gibran Menangis Sambil Guling-Guling

Gibran Menangis Sambil Guling-Guling

*Fajri Al Mughni

Saya kira, saya saja yang sulit mendefinisikan cinta. Ternyata Gibran juga. Malah dia sampe berderai air mata dalam menyelami dan menghayati cinta. Saya gak sampai segitunya. Malu, takut ketahuan kawan-kawan.

Kata Gibran:

Ku sucikan bibirku dengan api suci untuk berbicara tentang cinta

Tapi saat bibir kubuka untuk bicara, kudapati diriku diam membisu

Aku biasa mendendang lagu cinta, sebelum aku memahaminya

Tapi ketika aku mengerti, segala kata dari mulutku jadi tak bernilai dan nada-nada cinta dalam dada jatuh ke dalam

Keheningan yang dalam.

Wahai manusia, di masa lalu padaku kalian bertanya tentang rahasia dan misteri cinta

Lalu aku jawab, dan puaslah engkau

Tetapi kini, cinta itu menghiasiku dengan baju kebesarannya

Maka giliranku padamu bertanya tentang jalan-jalan cinta dan keajaibannya

Adakah diantara kamu yang dapat menjawabku?

Melihat untaian Gibran ini, nampak sekali bahwa ia kesusahan dalam mendefinisikan cinta. Saran Gibran, tak usah mencari jawaban atas keresahan-keresahan cintamu kepada siapapun. Karena cinta hanya mampu dirasakan sendiri olehmu. Kecuali konsultasimu itu merupakan bentuk modus untuk PDKT kepada objek yang sedang kamu tanyai.

Lagi, kata Gibran cinta itu tak boleh bercampur dengan rasa ego. Karena egoisme dalam cinta merupakan hal yang ‘terlarang’. Namun bukan berarti emosi atau rasa itu tidak perlu, karena tanpanya, cinta hanya sekedar aktivitas formal yang hampa dan tidak indah.

Muhammad Iqbal dalam Asrar-I Khudi berucap;

Melalui cinta akal mengenal realitas

Dan akal memberi ketenangan pada cinta yang bekerja

Bangkitlah dan letakkan dasar-dasar dunia baru

Dengan mengawinkan akal dan cinta.

Gibran tersenyum membaca itu, ia bahagia dan sepenuhnya setuju. Bahkan ia ikut menambahi. Ujarnya; “tanpa akal, fungsi dan kegunaan cinta menjadi terbatas. Karena akal dan perasaan itu ibarat saudara kandung”.

Kemudian Gibran lanjut dengan bait seperti syair:

Akal pertimbangan dan perasaan hati,

adalah laksana kemudi dan layar dalam mengarungi bahtera jiwa

Jika satu dari layar atau kemudi itu patah,

kau hanya bisa mengambang, terombang-ambing gelombang

atau lumpuh tanpa daya di tengah samudera

sebab akal yang sendiri mengemudi, laksana tenaga yang menjebak diri

sedang perasaan yang tidak terkendali, bagai api yang menghanguskan diri

Nampaknya Gibran semakin galau mendefenisikan cinta. Akhirnya menyerah juga. Katanya, “cinta itu subjektif dan sukar”. Lantas ia memberikan contoh bahwa cinta adalah subjektif.

… Kemudian melintas seorang anak muda memainkan lira dan bernyanyi,

“Cinta adalah cahaya ajaib yang memancar dari kedalaman batin yang menerangi sekitarnya, hingga engkau bisa melihat dunia bagai satu prosesi yang mengitari padang-padang rumput hijau, dan kehidupan seperti sebuah mimpi indah di antara jaga dan jaga”

Lalu lewat seorang tua renta dengan punggung bungkuk dan kaki gemetaran seakan hendak berpisah dari tubuhnya. Ia berkata, “cinta adalah istirahatnya jasmani dalam kubur yang sunyi, dan jiwa yang jaya dalam lautan keabadian”.

Kemudian datang seorang bocah lima tahunan yang tertawa berlarian sambil berkata, “cinta adalah ayahku dan cinta adalah ibuku. Tak seorangpun memahami cinta selain ibu dan ayahku”.

Dalam keadaan menyerah untuk mendefinisikan cinta, Gibran berasumsi:

  • Orang tidak dapat memberikan apa yang tidak dimilikinya. Untuk memberikan cinta, seseorang harus memiliki cinta
  • Orang tidak bisa mengajarkan apa yang tidak dipahaminya. Untuk mengajarkan cinta, seseorang harus hidup dalam cinta
  • Orang tidak bisa memahami apa yang tidak dipelajarinya. Untuk mempelajari cinta, seseorang harus hidup dalam cinta.
  • Orang tidak bisa menghargai apa yang tidak dikenalnya. Untuk mengenal cinta, seseorang harus bisa menerima cinta.
  • Orang tidak bisa meragukan apa yang ingin dipercayainya. Untuk mempercayai cinta, seseorang harus merasa yakin akan cinta.
  • Orang tidak bisa mengakui apa yang tidak dipatuhinya. Untuk patuh kepada cinta, seseorang harus rawan terhadap cinta.
  • Orang tidak bisa menghayati apa yang tidak diterima terhadap pengabdiannya. Untuk mengabdi kepada cinta, seseorang harus tumbuh dan berkembang dalam cinta.

Saya sudah tamat lebih dari 4 kali membaca teori Kahlil Gibran tentang cinta. Kesimpulannya, Gibran tetap saja kesusahan dalam mendefinisikan cinta. Dan bahkan, ia pernah sampai menangis karenanya.

Salam Kalam Literasi

Tulisan ini disarikan dari buku “Dunia Cinta Filosofis Kahlil Gibran”. – Fahruddin Faiz

Kalamliterasi.id telah mendapat izin dari Fahruddin Faiz untuk mensarikan tulisannya ke dalam website.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

InstagramKLI

BacaanTerkini

Dosen, Gelar, dan Makalah Copas: Komedi Tragis di Kampus Ilmu
Dosen, Gelar, dan Makalah Copas: Komedi Tragis di Kampus Ilmu
"Wisudawan, Toga, Like, dan Cinta yang Tertinggal di Ruang Dosen"
"Wisudawan, Toga, Like, dan Cinta yang Tertinggal di Ruang Dosen"
Guratan Tak Terlihat di Balik Nilai
Guratan Tak Terlihat di Balik Nilai
Daha
Proyek Historiografi DAHA

KategoriBacaan

ProgramTerbaik

BacaanLainnya

"Wisudawan, Toga, Like, dan Cinta yang Tertinggal di Ruang Dosen"
Guratan Tak Terlihat di Balik Nilai
Proyek Historiografi DAHA
Pelatihan Literasi Digital di Desa Pematang Pauh 2024
Dari Jambi dan Kendari Menuju Kairo 2024
Persiapan Menuju Negeri Piramida 2025
Dari Jambi Menuju Kairo 2024
Manusia & Agama di Tahun Politik