Antonio Saleh Blanco Lahir di Pulau Temiang
Tarhim subuh menggema dengan suara khas bersumber dari toa usang mushola Darul Muttaqin, waktu menunjukkan jam 4 pagi, pak Saleh sedang bersiap berangkat shalat subuh, sementara istrinya, Bu Ima mempersiapkan segala hal ihwal perlengkapan “ngantor” suaminya.
Persiapan ngantor memang harus dilakukan lebih dini, mulai persiapan bekal makanan, seragam anti peluru, dan sepatu segala medan. Persiapan itu hukumnya wajib, pertama karena tidak ada sarapan ditempat kerja, kedua; jarak tempuh tempat kerja memakan waktu kurang lebih 35 menit, melewati gedung-gedung yang beranting lapuk, trotoar-trotoar belukar tajam, dan sirine jangkrik kawin lari. Kantor pak Saleh di alam lepas. Interiornya semak-semak dan pohon karet.
Sepulangnya dari Mushola, pak Saleh bersiap berangkat kerja, dan tak sengaja mendengar berita di radio bahwa ada seorang pelukis terkenal yang meninggal di Indonesia-Bali. Pak Saleh tak begitu detail mendengar berita itu, yang paling ia ingat adalah nama seorang pelukis tersebut, “Antonio Blanco”.
Sementara bu Ima menyiapkan bekal makanan untuk pak Saleh, ia menahan keram diperutnya, seolah Toni yang masih dalam kandungan juga ikut mendengar berita kematian Antonio Blanco kemudian menggeliat yang menyebabkan perut Emaknya keram tak biasa.
Pak Saleh dan bu Ima tidak pernah check up kehamilan, selain karena memang alasan uang, masyarakat waktu itu telah memiliki cara tersendiri dalam membaca kode-kode alam melalui bimbingan Siti Halijah (Mak Lija), seorang dukun beranak terkemuka di Pulau Temiang. Tapi kali ini prediksi mak Lija kurang tepat, bahkan meleset jauh dari prediksi. Bu Ima mulai kontraksi dari sebelum maghrib, tapi tidak ia rasakan, maklum saja, karena Toni merupakan anak ke 9. Pengalaman melahirkan 8 anak membuatnya santai dalam menghadapi kelahiran anak yang ke 9.
Mengetahui kondisi itu, pak Saleh tak jadi “ngantor”, sepeda ontel dipacu sekencang-kencangnya menjemput mak Lija, khawatir sang dukun sudah berangkat kerja. Karena profesi dukun beranak bukan merupakan pekerjaan tetapnya, namun apapun dan bagaimanpun kondisinya, ketika ada yang mau beranak, mak Lija tetap mengerjakan pekerjaan yang tidak tetap tersebut. Hanya Tuhan dan bapak Bupatilah dan yang mampu membalas jasa-jasanya.
Setibanya dirumah mak Lija, pak Saleh sujud sukur dan tak henti-hentinya memuji Tuhan, karena sang dukun masih dirumah. Dengan perlengkapan dan mental yang selalu ready, mak Lija tak panik sedikitpun, mantap diboceng pak Saleh, mak Lija sangat menikmati perjalanan menjemput berkah dari pekerjaan yang sangat mulia, sambil sesekali memegang pinggang pak Saleh karena kecepatan kayuhan sepeda diatas rata-rata. Meski begitu, ia tetap yakin. Karena pak Saleh bukan pengemudi amatir. Alampun mengamini keyakinan mak Lija.
Setelah beberapa lama, sepeda pak Saleh memasuki pekarangan rumahnya, posisi sepeda belum sepenuhnya mendarat dengan aman, dengan sigap mak Lija melenting tepat diposisi depan pintu rumah pak Saleh. Pintu rumah memang sudah terbuka semenjak pak Saleh berangkat tadi, sehingga mak Lija langsung masuk dan menuju kamar bu Ima. Dengan berjuta-juta pengalamannya, mak Lija dengan cepat memulai proses persalinan, dan alhamdulilah… Toni lahir dengan normal, sehat dan selamat.
Mak Lija menyelesaikan tugasnya dengan professional dan penuh kehati-hatian. Tidak ada hal aneh pada bayi ke 9 bu Ima, menangis, menjerit, dan sesekali menggeliat. Hanya saja, ada semacam bintik putih di dahi atas kepala bayi. Pak Saleh dan Bu Ima tidak bisa membaca tanda apakah itu, tapi Mak Lija dapat merasakan aura berbeda, aura bahwa bayi ini akan tumbuh besar dan kelak menjadi pribadi yang hebat serta tangguh.
Alat medis Mak Lija merupakan alat yang alamiah, mulai dari pisau terbuat dari bambu dan obat-obatan dari bahan alam. Tapi benang jahit, jarum dan biusnya sudah modern. Bantuan sukarela dari pemerintah setempat. Mak Lija memang tidak terdaftar di dinas kesehatan, tapi dengan keahlian dan pengalamannya yang sudah menangani ratusan bayi lintas generasi, semua petugas kesehatan di Pulau Temiang memberi hormat dan istirahat di tempat apabila bertemu dengan Mak Lija, termasuk Pak Dokter muda yang memang mimiliki segudang teori namun minim pengalaman, yang terkadang teorinya tersebut membuat ia tak sanggup mempraktikkannya.
Setelah semuanya dipastikan aman, seminggu setelah kelahiran sang bayi, diadakanlah Acara mandi kayek (mandi ke air) yang dilakukan dengan khidmat. Mandi kayek merupakan upacara ritual adat untuk mensyukuri nikmat Tuhan berupa bayi yang baru lahir dan memperkenalkan kepada masyarakat bahwa telah lahir keturunan baru. Bayi itu diberi nama “Antonio Saleh Blanco”. Toni merupakan panggilan Antonio kecil.
Kisah bersambung.. akan berlanjut pada edisi berikutnya.
Salam Kalam Literasi