Oktober 1964 sudah mulai turun beberapa rintik hujan, tapi tak lebat. Malam itu, entah apa yang telah merasuki matanya, kemana saja ia memandang, pasti ada pelangi. Guru Nadjmi memandangi susunan papan yang menjadi dinding, setiap papan warnanya berbeda-beda, persis pola pelangi.
Ia coba menengok lantai, seolah-olah dinding yang tadi pindah ke lantai. Melihat kearah rak buku, pelanginya makin menjadi-jadi. Coba mengalihkan pandangan ke jari-jari tangannya, tidak beda dengan dinding dan lantai, jari-jaripun berwarna warni.
Sekarang ia bangkit dari kasur, berjalan keluar kamar menuju tempat biasanya ia merenung, balkon rumah. Ia melihat rintik hujan, air yang turun dari langit memang tidak berwarna, tapi jatuhan rintiknya yang singgah di tanah memunculkan warna-warna cerah yang mengeluarkan kesan indah. Ia kembali ke kamar, berusaha memejamkan mata. Bismikallahumma ahya wa bismika amut. Bukannya hilang, malah sekarang warna bersatu, melebur menjadi satu warna, merah jambu. Tanpa sebab musabab yang jelas, guru Nadjmi tak dapat tidur.
Memang terdapat keanehan yang terjadi kepada para anak muda bila bertemu hujan, terutama bagi yang sedang kasmaran. Secara ilmiah saya tidak paham apa hubungannya. Tapi faktanya, hujan terkadang menginspirasi munculnya banyak puisi dan syair-syair cinta. Guru Nadjmi bingung, apakah ia sedang kasmaran atau hanya sekedar kaget mendengar cerita abah dan emak. Yang jelas, ia merasa ada yang aneh. Dalam hatinya berkata, “apa mungkin saya sedang jatuh cinta”. Pertanyaan ini sangat wajar, sebab ia tak pernah merasakan hal aneh itu sebelumnya.
Ditempat berbeda, Ulya juga merasakan hal yang sama, jantungnya berdetak lebih kencang. Sebelumnya, mendengar nama Nadjmi biasa saja, tapi kali ini nama itu terasa berbeda. Suara rintik hujan tidak mampu mengalihkan pikirannya, malah setiap rintiknya seolah menimbulkan bunyi seperti menyebut nama Nadjmi.
Sambil berbaring, sesekali Ulya bertanya pada atap kamar, apa benar Bangcik jodohku? Lelaki yang selama ini saya anggap sebagai abang. Ingin dirinya menolak, berusaha tidak memikirkan tentang hal itu, tapi tidak bisa. Hujan membuat jantungnya semakin berdebar dan angin malam yang terkadang masuk lewat ventilasi mendukung suasana hati, bahkan hampir membuat Ulya menulis puisi. Hujan mempengaruhinya.
Salam Kalam Literasi
Tulisan ini diambil dari buku “Nadjmi; Guru Sejati dan Politikus Hakiki”