Menyingkap Nostalgia Bersama Burung Punai
Puluhan merpati beterbangan di sekelilingku yang sedang duduk menunggui Elma sejak seperempat jam lalu. Mereka mendarat dekat, jinak seperti menyapa sekaligus menggoda. Mungkin mereka kira aku adalah malaikat yang akan melemparkan butir-butir jagung. Kupikir mereka akan akrab dan dengan senang hati dipegang orang, tapi sampai lari-lari kecil kukejar mereka tak mau merapat. Itulah yang disebut jinak-jinak merpati. Atau karena mereka sudah tahu bahwa aku tidak membawa jagung sebutir pun.
Elma berlari tergesa-gesa menghampiriku, membuat para merpati itu kabur ketakutan. Suara kepakkan sayap yang tidak asing mengalir ke pendengaran, menyalakan sebuah kenangan. Aku terhenyak. Ingatanku surut pada memori yang sudah samar dan hampir terhapus oleh waktu. Sejak kecil hidup dekat dengan hutan dan alam bersama ratusan burung itu kini kembali. Gambar-gambar lama tersusun membentuk garis waktu di sel-sel neuron lengkap dengan suara-suara samarnya. Rasanya seperti menonton video berwarna sophia di kepalaku. Mari, bertamasya ke tempat yang jauh dari riuh suara hiruk pikuk kota London.
Di desa kecilku, desa transmigrasi di daerah Kumpeh Ulu, secara turun-temurun anak melayu diajarkan secara tidak formal untuk memikat Punai. Ini cara orang Melayu Jambi, tidak dipakai oleh pemburu dari tempat lain di seluruh dunia. Dibilang sederhana tidak juga, dibilang susah pun tidak juga, tapi cukup membuat hati penuh dengan keriangan dan kegembiraan saat belasan Punai hinggap lalu berjatuhan.
Kalau musim cerah tiba, akan ada ratusan bahkan sampai ribuan yang melintas di kawasan udara kebun Bapak saban pagi dan sore. Itulah saat yang paling tepat untuk memikat mereka. Setiap ahad kami berangkat ke kebun sebelum matahari keluar, membawa pohon mengkire yang kami tebang kemarin sore. Di dahan-dahan pohon itu kami lumuri pulut perekat guna menjerat punai-punai yang hinggap. Satu dahan khusus dilucuti daunnya hingga bersih, lalu seekor betina diletakkan bertinggir dengan kaki terikat sehingga tak bakal kabur.
Punai betina itu bisa disebut pikatan atau pekatik, agar yang lain tertarik mampir. Seutas benang diikatkan ke dahan yang ada pekatiknya agar jika ditarik-tarik kecil, pikatan itu akan mengepak-ngepakkan sayapnya, yang jadi pertanda panggilan terhadap punai-punai lain. Pohon mengkire itu akan ditegakkan bersama pohon-pohon rendah lainnya, lalu aku menunggui di bawahnya dan bakal menarik tali pikatan. Bapak menunggu diatas pohon agak jauh.
“Tarik, tarik!” suara Bapak memberikan perintah, sekawanan binatang bersayap itu sedang melintas.
Kutarik-tarik kecil tali pikatan itu sambil mendongak mengintip ke atas, melihat apakah ada yang hinggap di dahan mengkire-ku. Kepakkan sayap bertalu-talu di atas kepalaku mendendangkan lagu khas Punai. Lalu mereka ramai-ramai hinggap di pohon mengkire dan duduk nyaman di dahan penuh pulut. Mereka tak sadar, ketika akan terbang kembali, sayap mereka akan lengket tak bisa dikepakkan. Saat itu mereka harus pasrah jatuh, dan aku sigap menangkapi sebelum mereka menyusup ke semak-semak. Maaf, kau tak punya surat izin terbang lagi.
Pagi itu aku dan Bapak memanen sekarung Punai. Setelah melucuti pulut dari pohon mengkire kami duduk bersantai memandang langit cerah. Matahari tersenyum semakin tinggi.
“Apakah mereka itu bisa terbang sampai ke awan sana, Pak?”
“Barangkali.”
“Kalau begitu suatu hari aku ingin menjadi seperti Punai.”
“Barangkali tidak. Mereka adalah burung yang terbang rendah, tidak berpindah-pindah dan tak biasa terbang ke awan.”
“Mereka tidak merantau?”
Bapak menggeleng, tertawa kecil, lalu memetik sehelai ilalang.
“Tapi kau bisa terbang melebihinya.” Bapak menyobek dua sisi daun ilalang itu dan menariknya, lalu melempar seakan itu pesawat kertas. Ilalang melayang berayun di depan wajahku. “Tapi kau tidak perlu menjadi Punai.” terusnya. Aku menggaruk kepala yang tidak gatal.
“Tapi Bapak pernah bilang, kalau burung tersebut adalah lambang kebebasan dan kebahagiaan?”
“Kebebasan? Bisa kau katakan itu, sebelum masuk ke karung dan jadi santapan. Kebahagiaan? Ya. Selama ini Punai selalu memberikan kebahagiaan untuk kita, bukan?”
“Aku bahagia saat menyantap daging Punai. Tapi kadang sedih kehilangan mereka.”
“Begitukah menurutmu? Itukah kebahagiaan yang diberikan mereka?”
Aku mengangguk.
“Perhatikan! saat kau melihat mereka melintas diatas pikatan, apa yang kau rasakan?” Bapak memainkan biji para yang jatuh dari kelopak. “Lalu saat punai itu hinggap dan berjatuhan?” lanjutnya.
“Maksud Bapak?”
“Jadi kau belum sadar juga? Kebahagiaan itu bukanlah berapa banyak dagingnya yang kau makan. Kalau kau mau, hasil kebun ini bisa membeli puluhan punai setiap hari.” Bapak melempar biji para ke batang pisang.
“Jadi?” tanyaku.
“Kebahagiaan itu ada saat kau bahkan belum mendapatkan satu ekor pun.”
Aku kembali menggaruk kepala yang tidak gatal. Semakin tidak mengerti.
Bapak beranjak dari duduknya, meraih kaleng pulut, tas bututnya lalu melemparkan dagunya menunjuk karung yang penuh dengan punai. Aku meraih karung itu, lalu mengikuti langkah Bapak.
“Kau tidak perlu menjadi punai. Biarlah Bapak saja.”
“Aku tidak mengerti maksud Bapak.”
“Mereka tidak bisa terbang jauh.”
“Lalu tentang kebahagiaan tadi?”
Bapak terkekeh. Memegang rambutku dengan tangan kasarnya. “Kau akan temukan sendiri minggu depan. Ajaklah Amin mikat di kebun. Tapi Bapak tidak akan ikut. Nanti kau akan tahu sendiri dimana kebahagiaan yang diberikan punai itu.”
Seminggu kemudian aku dan Amin berangkat ke kebun menyeret pohon mengkire di belakang sepeda kami. Pukul lima tepat kami menelusuri kebun-kebun pisang dan cabai. Alam belum bangun dari tidurnya. Bahkan jangkrik pun senyap, masih lelap. Tapi kami sudah mulai melumuri dahan mengkire dengan pulut. Pekatik betina kami tinggirkan di dahan tengah yang telah bersih dari daun. Benang nilon putih diikat ke ujung dahan, dan dibiarkan menjulur ke tanah. Mengkire sudah ditegakkan bersanding dengan pohon-pohon lain. Semua siap. Aku yang bertugas memberi aba-aba dari jauh jika ada sekawanan punai melintas. Amin menjagai dibawah, bertugas menarik tali dari dahan yang ada pekatiknya. Kalau ada punai hinggap dan jatuh, ia pula yang bertugas menangkap.
Tapi gelap tidak mau mangkat. Biasanya kalau dari rumah jam lima, semua siap tepat saat matahari mengintip dari timur, dan tepat saat punai-punai berangkat dari sarangnya. Ini sudah sampai kesemutan kaki kami menunggu, tapi gelap belum juga berganti. Apakah malam mengambil jatah lebih lama? Mungkin saja.
Seekor kambing terdengar mengembik dari kejauhan. Apa? Bagaimana mungkin ada kambing di hutan? Kambing siapa pula yang lepas? Kemudian terdengar pula suara kambing lain dari arah yang berbeda. Berarti ada dua kambinng yang lepas kemarin sore. Embekk! Suara kambing itu mendekat, seperti berjarak belasan meter di depanku. Bagaimana bisa kambing yang tadinya jauh bisa secepat itu menjadi dekat? Apakah ada kambing yang ketiga? Embekk! Suara itu pindah lagi dari arah belakangku. Yang keempat? Embekk!! Suara itu lebih dekat, mungkin sekitar lima meter, tapi terdengar dari samping. Gelap masih menyelimuti, tidak bisa pandanganku menangkap wujud kambing itu.
Pikiranku mulai diganggu oleh suara kambing. Apakah kambing itu bisa menghilang lalu muncul ke tempat yang berbeda? Atau jangan-jangan itu bukan kambing. Seperti yang diceritakan Wak Rudi tentang kambing jadi-jadian yang gentayangan di hutan saat tengah malam. Tapi itu tidak mungkin karena hari sudah subuh. Embekk!! Suara itu tepat keluar di belakangku. Aku tidak menoleh, buru-buru naik ke pohon. Embekk!! Ia tepat dibawah pohon yang aku panjat. Aku menelan ludah, memegang dahan pohon sangat erat. Fajar pun belum nampak.
“Wahyu!! Wahyu!” panggil Amin dari bawah mengkire. “Mengapa masih gelap?”
“A-aku tidak tahu! Kita tadi berangkat jam lima! Amin, ada kambing liar disini.” jawabku sedikit gemetar.
“Kambing liar? Aku juga dengar. Tapi sudahlah, kita tunggu saja sampai pagi.”
Baru setelah sejam kemudian fajar mulai menyingsing. Hingga matahari muncul beserta seluruh kicauan macam-macam burung. Aku terbangun, melihat ke bawah pohon. Ternyata kambing itu sudah hengkang. Beberapa ekor punai nampak terbang melintas pohon mengkire pikatan kami. Darahku bergejolak, seakan semua kambing tadi tidak pernah muncul menakutiku. Punai-punai itu mengalihkan semua perhatianku.
“Tarik, tarik, tarik!!” pintaku pada Amin. Jantungku berdegup dan meletup-letup. Sensasinya seperti hampir mencapai puncak panjat pinang.
Tunggu! Ini dia. Aku langsung turun, lari menuju bawah pohon mengkire, membantu Amin menangkapi punai-punai yang terjatuh sambil riang tertawa dan bersorak. horay!! Sepuluh punai kami masukkan ke dalam karung.
“Ayo kita pulang!” pintaku.
“Apa?”
“Ya. Pulang.”
“Kita baru dapat sepuluh.”
“Tidak apa-apa.”
“Aku belum puas. Ini baru sedikit. Belum cukup untuk makan sehari.”
“Kita sudah dapat yang kita mau.”
“Lama kita menunggu, lalu kita harus pulang dengan sedikit punai?”
“Sudahlah!”
“Aku masih mau menangkap punai.”
“Kalau begitu aku pulang duluan. Kubawa lima.”
“Pulanglah.”
Sampai di rumah kulihat jam masih tetap menunjukkan pukul lima, sama seperti saat aku berangkat tadi. Ternyata jam itu sudah kehabisan battery sejak kemarin sore. Pantas saja. Mungkin saat aku berangkat tadi sekitar pukul tiga pagi.
“Cuma lima kau dapat punai?” Bapak bertanya.
“Sekarang aku sudah mengerti, Pak.”
“Apa?”
“Bukan banyak punai yang penting. Tapi, saat mendapatkannya.”
“Sekarang kau mulai mengerti. Kebahagiaan itu…”
“Sebenarnya saat punai-punai itu masih terbang. Saat melihat mereka saja sudah sangat menyenangkan. Tiap mereka hinggap ke dahan yang berpulut, terasa lebih menyenangkan lagi. Apalagi saat mereka bertjatuhan, tidak bisa digambarkan. Itulah kebahagiaan.”
Ayah mengangguk sambil mengacungkan jempol.
Elma tersenyum sambil tersengal setelah berlari-lari.
“Hei, masa bahagia kurang kecil, masih suka mengejar merpati?”
“Kau menakuti mereka, Elm.”
Ia mengacungkan telunjuk dan jari tengahnya, peace!
“Jadi liburan musim panas ini, pihak beasiswa memberimu bonus untuk jalan-jalan?”
“Nah, itu dia.”
“Kalau begitu kita ke New York. Nenek Nancy akan senang berjumpa denganmu.”
“Tapi aku berubah pikiran, Elm. Aku ingin sedikit bernostalgia”
Tebang penak tebang meranti
Tebang pulau condong ke jalan
Di mana semak di situ menanti
Bagai punai rindu sekawan
Salam Kalam Literasi
Selamat menikmati cerita yang “menggantung” ini kawan. Nantikan terbitan bukunya.